[8] Better than Him

72.4K 534 26
                                    

"Jadi kamu mau selamanya di sini?"

Vannesa Linggar Wiyasa mengamati rumah yang dulu pernah menjadi tempat tinggalnya, jauh lebih sederhana daripada rumah mewahnya di kota. Ia kembali menatap adik laki-laki yang kini menjadi saudara tunggalnya itu.

"Memang aku yang menyarankan tempat ini, tetapi untuk sementara." Dia masuk ke rumah itu tanpa diperintah. Tanu mengekor dari belakang, sebelumnya ia menyisir ke sekitar, melihat adakah orang yang melihat kedatangan Vannesa ke rumahnya.

Vannesa adalah aktris papan atas, semua berkat ketekunannya berlatih akting, talentanya yang memukau, wajah indah dan tentu saja relasi dari ibunya. Menyusahkan jika ada orang yang mengenalnya, lebih-lebih jika itu penggemar. Bisa gawat dan buat susah.

Sebelumnya sudah diceritakan bahwa baik Ayah dan ibunya adalah orang berada. Hanum Kartika Ningrum, seorang produser sekaligus pemilik rumah produksi dari banyak film-film layar lebar dibawah kendali perusahaan Ningsrumie picture, perusahaan yang bergerak di bidang hiburan milik keluarga Ningrum.

Vannesa lebih dekat dengan ibunya jadi ia memilih hidup di bidang yang sama.

"Ibu yang buat Kak Vannesa kemari?" tanya Tanu setelah mendapatkan kesimpulan.

"Kamu harus pulang. Mungkin enggak sekarang, tapi jangan lama-lama."

"Cih." Tanu tertawa sumbang, ia tidak punya rumah untuk pulang, pulang kemana maksudnya? "Kakak tahu aku udah bersumpah enggak akan kembali."

"Ibu dan ayah mau cerai."

Bagai petir di siang hari yang menyambar begitu kuat, mengguncang jiwa dan menghancurkannya hingga berkeping-keping. Tanu tercengang dengan informasi tersebut, kendati tahu hubungan orangtuanya memang sudah kacau, tetapi ini tetap mengejutkan.

"Kenapa tiba-tiba?" tanyanya berusaha tenang.

"Ayah ngehamilin anak orang." Vannesa kesulitan menjelaskan, meskipun sudah berumur dua puluh tujuh tahun hal ini juga sulit baginya. "Perempuan itu orang berada, bukan perek kayak biasanya. Keluarganya nuntut Ayah, Ayah nggak bisa mengelak."

"Shit, kenapa bajingan sialan itu tidak pernah menjaga burungnya. Asal celap-celup sana sini." Tanu mengacak rambutnya. "Tapi apa peduliku? Terserahlah."

"Teja! Kamu harus dewasa, kamu jangan pura-pura bodoh."

"Aku enggak peduli Kak. Bodo amat, sejak awal emang hancur, kita sedang membicarakan apa? Memangnya kita pernah punya keluarga?"

Perempuan itu memandangi adiknya lamat-lamat, hatinya nyeri, seburuk itukah keadaannya sekarang?

"Kamu pewaris kekayaan Papa, anak dari perek itu laki-laki. Ibu khawatir kalau hubunganmu dengan ayah masih belum akur, posisi kamu bisa tergantikan."

"Bukan urusanku, Kak."

"Mikir bodoh! Kamu pikir uang kamu selama ini dari mana? Sejak Ayi meninggal kamu berhenti kerja, berhenti melakukan apapun. Ini juga tentang kamu."

***

Suasana hati Tanu kacau seperti habis kehilangan balon hijau yang meledak, pikirannya kusut, kepalanya sakit.

Ia duduk di kamar, menatap ke luar, melihat jalanan di depan yang lenggang. Perumahan ini memang sepi, selain karena terletak di wilayah kabupaten, bisa di sebut desa. Juga karena mayoritas penghuninya adalah orang-orang introvert yang malas keluar rumah.

Kondisi yang sesuai dengan Tanu. Ia menjadi sedikit lebih tenang.

Matanya berat ingin tidur, semalam ia kesulitan tidur karena insomnianya Kambu. Selain itu, perbincangannya dengan Vannesa menyedot banyak energi.

Jennie dan Mas Tetangga Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang