[3] Sentuhan nikmat

153K 644 1
                                    

Seragam kebesaran, rok span yang biasanya hanya selutut tapi milik Jennie panjang sampai ke betis. Rambutnya digerai, kacamata bulat membingkai matanya. Sebenarnya jika tidak memakai kacamata ia masih bisa melihat normal hanya saja, sebagai pelengkap penampilan culun ia tetap memakainya walaupun minus matanya sangat kecil.

Ia sengaja pergi sekolah lebih awal, ia ingin melakukan sesuatu.

"Loh, kali ini lebih pagi dari kemarin? Kamu tuh sebenernya masuk jam berapa Jennie?" Lastri terkejut melihat putrinya keluar kamar sudah selesai bersiap.

"Enak pergi cepat biar enggak terjebak macet, Bu." Jennie menaruj tas di atas sofa. Kemudian ia membantu Lastri menyiapkan makanan yang matang di atas meja makan. Meskipun masih pagi, Lastri terbiasa masak cepat, jadi Jennie tetap sempat sarapan. "Nanti Jennie berangkat naik ojek online saja, ya Bu."

"Terserah kamu sajalah. Sana panggil Ayah kamu makan."

Tidak punya waktu bersama yang banyak, tetapi sarapan bersama tetap saja disempatkan. Satu hal itu yang berhasil membuat Jennie tidak bisa membenci orangtuanya. Meskipun terkesan tidak peduli dan sangat membebaskan Jennie.

Sarapan pagi itu hanya berisi obrolan Lastri dan Joko tentang pekerjaan, Jennie sebagai pendengar setia hanya fokus memakan makanannya. Ia sudah tidak sabar sampai ke sekolah ingin bertemu dengan Galih pujaan hatinya, yang ia sukai diam-diam.

"Eh, Jenn. Nanti sekalian kamu keluar bawakan ini dan berikan pada tetangga baru kita," ujar Lastri meletakkan kotak berisi kue basah yang masih hangat di samping piring Jennie.

"Kapan ibu masak ini?" Jennie terheran-heran, sebenarnya Lastri bangun jam berapa, mengapa bisa menyiapkan semua itu sepagi ini.

"Tadi. Jangan lupa ya."

Jennie mengangguk kemudian melanjutkan mengunyah nasi gorengnya dengan lahap, tetapi sedetik kemudian segera menggeleng. Ia teringat kejadian kemarin siang, saat si tetangga itu membicarakan tentang desahan dirinya. Jennie tidak berani.

"Nggak bisa Bu. Jennie buru-buru," katanya meralat, ia mendorong kotak kue itu menjauh. "Ibu aja, deh."

"Rumahnya hanya lima langkah. Kamu enggak bakalan terlambat, paling tiga menit doang, itupun kalau kamu mau basa-basi bentar."

"Ogah, Bu. Males, ibu aja deh."

"Ibu belum mandi, mau siap-siap ngantor."

"Malas Bu. Ngapain juga sih ngasih makanan, untuk apa coba?"

"Jennie!" Suara bariton menginterupsi kegaduhan, Jennie merapatkan bibirnya, kalau ayahnya sudah mengeluarkan suara keras seperti itu artinya Jennie bertindak salah.

"Kamu cuma disuruh nganter kue bukan buat kue di sana. Jangan melawan ibumu," kata Joko.

Ia paling tidak bisa menyanggah pendapat Joko, baginya yang tidak dekat dengan ayah, ia hanya bisa mendumel dalam hati. Perkataan Joko adalah mutlak, tidak ada yang bisa melawan jika sudah diperintahkan beliau.

"Nanti Ayah ibu kayaknya lembur. Kamu bisa kunci rumah dan tidur lebih dulu, nanti kami bawa kunci serepnya."

Jennie mengangguk, ia menghabiskan sisa makanannya dengan cepat lalu segera berpamitan pergi. Perasaannya sedang tidak baik, oleh permintaan Lastri untuk mengantarkan kue ke pada tetangga juga oleh teguran Joko.

Menyiapkan keberanian, membulatkan tekad. Ini masih pagi, ia akan berteriak jika Tanu berbuat apa-apa terhadap dirinya.

Jennie berjalan menuju rumah kosong delapan. Meskipun sudah lama kosong tetapi rumah itu terawat dan siap huni. Seminggu sekali ada tukang bersih-bersih datang untuk membereskan. Maklum saja pemiliknya orang berada, menyewa tukang bersih-bersih bukanlah seberapa.

Jennie sudah di depan pintu. Ia bisa melewati pagar karena tidak dikunci, tangannya melayang hendak mengetuk pintu kayu jati yang di pernis sehingga mengkilap mempertegas warna kayu cokelat yang mahal itu.

Benda itu bergerak terbuka membuat Jennie terkesiap, ia melebarkan mata mendapati Tanu berdiri di hadapannya denga bertelanjang dada. Memamerkan otot-otot dada yang mempesona juga enam kotak roti di perutnya yang sangat menggoda.

Jennie terpana, tampilan itu kian menghipnotis dengan rambut berantakan dan senyuman miring Tanu.

"Kamu suka?" tanya Tanu menyadarkan Jennie, ia langsung menyodorkan kotak kue ke hadapan Tanu.

"Dari ibu. Nanti tempatnya kamu kembalikan besok saja," ucap Jennie berusaha senormal mungkin.

Ia mengumpat dalam hati mengapa ia begitu lemah dengan pria berbadan seksi seperti Tanu ini. Gelora dalam tubuhnya meningkatkan gairah nakal yang selama ini hanya bangkit bila melihat artis juga Galih saja.

Tanu tertawa dengan reaksi Jennie yang sama seperti pertemuan mereka yang pertama, masih judes dan jutek. Ketika mengambil kotak kue itu ia sengaja menyentuh jari Jennie melakukannya dengan lambat.

Tindakan itu direspon tubuh Jennie dengan rasanya seperti tersengat listrik tetapi terasa ingin lagi dan ingin lebih jauh. Mungkin lebih menarik bila Tanu menariknya hingga menabrak dada bidang indah itu, dan Jennie mengalungkan tangannya ke leher Tanu. Kemudian mereka berciuman, saling beradu lidah, berbagi saliva dan membelit.

Sadar Jennie!

Ia menarik tangannya. Bisa gila jika berlama-lama di sana. Ia kemudian berbalik arah, bersiap pergi jika saja tidak Tanu menahannya dengan menarik lengannya.

"Terima kasih."

Kepala dan tubuh Jennie tidak bekerjasama. Kepalanya menyuruh untuk segera menarik tangan dan kabur dari sana sedangkan tubuhnya bergelora menyukai bagaimana kulit mereka bersentuhan. Ingin diperlakukan lebih lagi, ingin disentuh di tempat yang lebih sensitif.

Jennie menelan ludah susah payah. Gawat, ia bisa kehilangan kontrol jika berlama-lama berada di sana. "Sama-sama." Ia menarik tangan nya pada akhirnya, berhasil melawan nafsu bejat yang tadi sempat merasukinya. Ia lalu berlari, bodo amat jika Tanu melihatnya seperti orang gila.

Sembari berjalan keluar komplek, ia mengambil ponsel di saku rok mencari aplikasi ojek online. Ia sudah menghabiskan banyak waktu di sana, ia tak mau bila rencana yang sudah ia persiapkan jauh-jauh hari kacau karena tetangga baru itu.

***

Jennie dan Mas Tetangga Onde histórias criam vida. Descubra agora