Bab 15

6.9K 296 19
                                    

Tolong Maafkan Ayah 15

Tungkai kakiku serasa mau terlepas saja. Lemas menjalar ke seluruh tubuh, saat mendapati kenyataan yang tidak sesuai dengan ekspetasiku.

Benar yang Anaya bilang? Aku pernah mengeluarkan kalimat kejam seperti itu? Apa dulu aku sangat kejam kepada mereka? Waktu itu, mereka masih anak-anak bukan? Mengapa mereka hanya mengingat semua perlakuan burukku saja?

Tidakkah mereka mengingat sesuatu yang baik tentang diriku. Misalnya, aku yang memberi nafkah 400ribu untuk makan dan sekolah mereka?

Apakah tidak ada kenangan indah bersama denganku, yang bisa mereka ingat? Aku bersandar di mobil. Mencoba memutar memori jauh ke belakang.

Dulu ... Setelah Talita, cinta pertamaku itu kembali di hidupku, aku yang sudah menikahi Anaya, seakan-akan di tarik dari dimensi pernikahan kami. Aku bahkan menikahi Talita, tanpa sepengetahuan Anaya.

Anaya kujadikan tempat mengambil pakaian bersih, dan mengisi perut. Karena Talita tidak cakap dalam hal mengurus pakaian dan makananku.

Aku akan melampiaskan hasratku kepada Anaya, jika Talita berhalangan. Semua uang dan penghasilanku di kuasai Talita. Sampai akhirnya, dia juga keberatan dengan uang 400ribu, yang aku berikan kepada Anaya dan kedua anaknya.

Semakin hari, aku semakin jenuh dengan mereka. Aluna lahir bersamaan dengan Melisa. Hanya beda bulan saja. Melisa terlahir dari rahim Talita. Itu sebabnya tumpuan kasih sayangku, utuh untuknya.

Seingatku, aku lupa kapan menggendong Aluna. Mungkin tidak pernah. Apalagi Anatasya. Dia tersisihkan dari hatiku, karena Radit. Anak laki-laki kebanggaanku.

Aku seakan lupa jika ada mereka sebagai anak-anakku. Sering mereka berulah. Nakal di depanku. Kata parenting, anak nakal karena ingin perhatian dari orang tua.

Bagiku tidak seperti itu. Aku bahkan memukuli Aluna dan Anatasya, dengan membabi buta, jika mereka nakal. Sering juga, aku luapkan emosiku kepada mereka, jika aku bermasalah dengan pekerjaan atau dengan Talita.

Tatapan mengejek dari mata Anatasya tadi, seperti tali kekang yang dipasang di leherku. Aku tersedak dengan salivaku. Tanpa beban, dia mengatakkan aku sudah mati.

Mungkin, inilah yang dirasakan mereka, saat aku bilang, aku tidak menginginkan mereka. Pantas saja, Aluna dan Anatasya tidak mengenalku, atau pura-pura tidak mengenalku. Karena mereka sudah menganggap aku, sudah mati.

***

Wajah sumringah itu menyambut kepulanganku. Mata Melisa liar,  memindai sesuatu atau mungkin seseorang yang aku janjikan padanya tadi.

Aku mengusap rambutnya. Memandang sedih wajah anakku. Anak yang aku limpahi dengan materi juga cinta. Melihatnya sedih, aku seakan hilang nyawa. Bagaimana dengan Anaya, yang anaknya aku tindas selagi mereka masih kecil?

"Maafkan Papa Nak. Papa gak tau, kalo, Anatasya akan menghadiri fashion week. Dia berjanji pada ayah langsung, akan mengatur waktunya sebaik mungkin, untuk bertemu langsung denganmu. Dia juga bilang, lusa ada acara temu fans di aula gedung ArOne. Jika kamu mau, Papa bisa antar kesana. Kebetulan Direktur perusahaan itu adalah rekan kerja Papa."

Melisa mendengus sebal. Berbalik memunggungiku, menghentakkan kaki, lalu masuk ke kamarnya.

Aku menyeret langkah ke dapur. Sudah biasa, aku akan menyediakan sendiri minuman saat pulang ke rumah. Tidak ada istri yang menyambut. Nasib.

Aku terkesiap dengan kehadiran seorang gadis yang berdiri membelakangiku. Dress mini setengah paha, berwarna hitam, tanpa lengan, bermotif bunga broukat, melekat di tubuhnya yang ramping.

Tolong Maafkan AyahWhere stories live. Discover now