SEBUAH KEPUTUSAN

7 1 0
                                    

Amaya terbangun seorang diri di atas kasur besarnya. Ia menatap jam digital di atas nakas yang menunjukkan pukul enam dua puluh. Ia tak menemukan Adji di sebelahnya.

Ia memejamkan matanya kembali, menarik ingatannya pada kejadian tadi malam. Di mulai dari kejadian di ruang baca saat ia meluahkan perasaannya karena pertemuan dengan Bono. Dilanjutkan dengan ia yang membuka kotak pandoranya pada Adji, rahasia luka yang tak pernah ia buka pada siapapun. Hingga sampai pada pengakuan Adji yang berakhir membuat keduanya kehilangan kendali.

Beruntung, Adji masih bisa berpikir jernih dengan berhenti sebelum mereka sampai pada sesuatu yang belum pernah ia bayangkan. Amaya menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Wajahnya memerah padahal suhu pendingin ruangan di kamar mereka cukup rendah.

Setelah beberapa saat, Amaya melepaskan tangannya dan menatap lurus ke langit-langit kamar. Berbagai ingatan tumpang tindih di benaknya. Kilasan kenangan bersama ibunya menari di benaknya, lalu digantikan dengan kenangan yang diisi oleh ibunya dan Bono. Air mata meleleh di kedua sudut matanya. Hatinya terasa sesak.

Kemudian, ingatan menyedihkan itu perlahan digeser  oleh kenangan baru yang ia ukir bersama Adji semalam

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Kemudian, ingatan menyedihkan itu perlahan digeser  oleh kenangan baru yang ia ukir bersama Adji semalam. Amaya menghapus lelehan air mata di sudut matanya, ia tersenyum tipis saat ingatan manis itu mengisi pikirannya. Ia bahkan tak sadar jika Adji sudah berdiri di samping kasur, memperhatikan dirinya sejak beberapa menit yang lalu.

Melihat perubahan raut wajah Amaya yang cerah, Adji menyimpulkan bahwa Amaya saat ini baik-baik saja. Ia pun menyapa Amaya, seolah-olah ia baru saja memasuki ruangan itu.

"Sudah bangun, May," sapa Adji. Ia mendekati Amaya, sambil meletakkan baskom berisi air hangat dan handuk kecil di dalamnya.

"Eum ... iya, Mas," sahut Amaya. Ia melirik Adji yang sudah selesai mandi, Adji juga sudah memakai kaos putih dan celana bahan untuk bekerja. "Mas sudah mau berangkat kerja?" tanya Amaya memastikan.

"Iya, soalnya pasien yang tadi malam kondisinya semakin memburuk, jadi harus di pantau dengan intens," sahut Adji. Ia lalu duduk di samping Amaya yang masih dalam posisi rebahan. Adji menyentuh kening Amaya, masih terasa sedikit hangat. Adji kemudian beralih memeriksa kaki Amaya yang tadi malam terluka.

"Hari ini, kamu nggak ada jadwal mengajar atau, kan?"

"Nggak ada, Mas."

"Ok. Berarti hari ini, kamu bisa beristirahat di rumah saja. Sarapan sudah Mas siapkan di bawah." Adji berkata sambil membersihkan kaki Amaya. Ia mengoleskan salep di atas luka Amaya setelah selesai membersihkannya.

Amaya memperhatikan Adji dalam diam. Adji sangat serius saat membersihkan dan mengganti perban pada luka di kakinya. Amaya menyukai raut wajah serius Adji saat sedang fokus dengan pekerjaannya.

"Kalau jalan pelan-pelan, ya. Obat buat kamu sudah Mas siapkan juga di atas nakas." Adji mengucapkan sambil merekatkan plester di atas perban yang menutupi luka Amaya.

Amaya menoleh pada nakas, benar saja di atasnya sudah ada kotak obat berwarna hitam di sana

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Amaya menoleh pada nakas, benar saja di atasnya sudah ada kotak obat berwarna hitam di sana. Ia tersenyum, suaminya benar-benar seorang dokter yang berdedikasi. Saat Amaya kembali menoleh ke arah Adji, pria itu sudah selesai membalut luka Amaya kembali.

"Selesai,"ucap Adji. Ia memasukkan kembali peralatan yang sudah digunakan kedalam kotak P3K. "Kalau nanti kamu mandi, kaki yang luka itu jangan dibasahi dulu, ya biar lukanya cepat kering."

"Baik, Pak dokter," sahut Amaya. Ia lalu melanjutkan, "Pembayarannya tunai atau transfer, dok?" Amaya tersenyum setelah mengucapkannya.

Adji yang sedang mengeringkan tangannya dengan tisu tersenyum sebelum menjawab pertanyaan itu. Setelah membuang tisu bekas yang sudah ia gunakan, Adji kemudian mendekati Amaya yang sudah duduk bersandar.

" Bayarannya cukup dengan kamu segera sehat dan bisa tersenyum cerah, seperti dirimu belasan tahun yang lalu," bisik Adji di telinga Amaya.

Bulu tengkuk Amaya meremang. Merasakan hangat napas Adji yang menyapa kulitnya. Ia hanya bisa tersenyum malu, karena mendapatkan perlakuan baru seperti itu dari Adji. Sebab, selama hampir enam bulan lebih pernikahan, mereka tidak pernah terlibat kontak fisik yang begitu intim seperti belakangan ini.

Adji menarik tubuhnya dan membiarkan Amaya dalam keterkejutannya. Ia pun tersenyum seperti Amaya. Satu langkah lebih dekat menuju hati istrinya.
Adji memakai mantelnya, lalu ia mengambil tas kerjanya.

"Mas berangkat, May," Adji berpamitan.

"Hati-hati, Mas," sahut Amaya.

Adji keluar dengan membawa serta baskom yang sudah ia gunakan. Karena ia tidak ingin Amaya yang membereskannya, Bu Idah pun masih belum kembali untuk bisa membereskannya. Jadi, ia memutuskan membawanya sekalian.

Amaya menatap Adji sampai pria itu menutup pintu kamar. Ia tersenyum sebelum pintu benar-benar tertutup.

Amaya sudah memutuskan, ia akan mempercayai Adji. Ia juga akan berusaha mencintai Adji dengan bermodalkan rasa nyaman dan kepercayaannya pada Adji. Ia meyakinkan dirinya bahwa Adji tidak akan pernah menyakiti atau pun menghianatinya.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
JURANG HATI AMAYA #IWZPAMER2023 Where stories live. Discover now