DUKUNGAN

14 2 0
                                    

"Baik, Yah. Ayah hati-hati di jalan, ya. Maya titip salam ke Om dan Tante." Amaya lalu menutup panggilan telepon di gawainya, lalu memasukan ponselnya kedalam kantong jas yang ia pakai.

Amaya kemudian menatap mahasiswa yang duduk di depannya. Ia adalah salah satu mahasiswa bimbingannya. Mahasiswa itu sedang melakukan bimbingan untuk pembuatan tugas akhir dengan Amaya. Beberapa orang teman seangkatannya sudah menyelesaikan tugas akhir mereka, sedangkan dirinya masih berkutat dengan revisi-revisi yang diminta oleh Amaya.

Amaya memang terkenal sebagai seorang dosen yang disiplin dan tegas. Ia tidak segan-segan membuat mahasiswa mahasiswi bimbingannya untuk melakukan revisi besaran-besaran pada skripsi yang mereka kerjakan. Amaya juga beberapa kali bertentangan dengan beberapa dosen pembimbing lain.

Jika seorang mahasiswa atau mahasiswi itu telah mendapatkan persetujuannya untuk melanjutkan sidang skripsi, sudah bisa dipastikan ia akan menerima nilai sempurna. Hasil yang sepadan dengan usaha yang mereka lakukan.

Namun, perjuangan para mahasiswa itu pun tidaklah mudah. Hampir semua mahasiswa yang menjadi bimbingan Amaya, sudah mengeluarkan ribuan umpatan dan air mata karenanya. Tapi, setiap kali mereka lulus dengan nilai sempurna, tidak ada kalimat selain ucapan terima kasih yang mereka berikan pada Amaya.

Amaya tidak pernah mau menerima hadiah-hadiah yang diberikan padanya. Mahasiswa bimbingannya hanya diperbolehkan memberikan ucapan terima kasih.

"Saya tidak memerlukan hadiah-hadiah ini. Saya bisa membeli semua itu dengan uang saya sendiri. Hal yang saya inginkan adalah, kalian tidak menjadi sampah masyarakat dengan gelar yang kalian dapat. Paham?"

Para mahasiswa itu hanya bisa menundukkan kepalanya saat mendengar ucapan Amaya itu." Dari pada kalian membuang uang orang tua kalian untuk membeli hadiah-hadiah itu. Lebih baik uang yang kalian terima itu dijadikan modal untuk usaha. Mungkin saja, tahun depan saya bisa minum kopi di coffee shop milikmu, Felice?" ucap Amaya sambil berlalu dari para mahasiswa itu.

Semua mahasiswa di jurusan Ilmu Komunikasi sudah tidak asing dengan kalimat-kalimat pedas milik Amaya. Sebagian besar dari mereka yang bisa memahami niat baik dari Amaya akan memujinya. Tapi, tak sedikit mahasiswa yang mengumpat dirinya sebagai dosen yang sombong karena ia lahir dari keluarga kaya.

"Rama, saya mau dengar alasan yang masuk akal. Kenapa kamu mau mengajukan cuti sekarang? Saya tidak mau, tahun depan membahas hal yang sama dengan kamu. Coba kamu jelaskan"

"Sakit ibu saya makin parah, Bu. Adik saya sudah kelas tiga SMP dan persiapan masuk SMA. Perlu banyak biaya untuk berobat ibu dan sekolah adik saya. Jadi, saya mau ambil jatah cuti dulu untuk bekerja dan memenuhi kebutuhan kami."

"Memangnya kamu mau bekerja dimana?"

"Ada tawaran lowongan pekerjaan di minimarket di daerah saya tinggal yang memerlukan pegawai untuk loading barang, Bu dan saya juga sudah memasukan berkas lamaran saya ke sana." sahut Rama sambil terus menunduk, sesekali ia mengangkat kepalanya menatap Amaya.

Amaya diam. Ia mengetuk-ngetuk kan telunjuknya di atas meja. Ia sedang berpikir.
Kemudian Amaya melontarkan pertanyaan lagi pada Rama," Nilai adik kamu bagaimana?"

Pertanyaan yang di luar prediksi Rama. Ia menjawab pertanyaan Amaya dengan jujur,"Alhamdulillah, nilai-nilai adik saya selalu berada di peringkat tiga besar rata-rata seluruh siswa di sekolahnya, Bu." ada sedikit tersirat rasa bangga dalam kata-kata Rama, saat menceritakan tentang prestasi adiknya.

"Saya tidak tega membiarkan adik saya terus membantu ibu berjualan, Bu. Jadi, saya memutuskan untuk cuti dan bekerja penuh agar adik saya bisa fokus belajar." tambah Rama.

Hening beberapa saat diantara keduanya. Beberapa dosen keluar masuk dari ruangan itu. Setelah beberapa saat diam, Amaya merobek surat permohonan cuti milik Rama. Ia lalu mengeluarkan sebuah kartu nama dari tas miliknya.

"Saya tidak bisa menerima permohonan kamu untuk cuti. Saya ingin kamu melanjutkan mengerjakan penelitian skripsi ini. Saya ingin kamu bisa wisuda di semester depan.

Besok pagi, sekitar jam sepuluh. Kamu pergi ke perusahaan Burs Kontraktor, lalu hubungi kontak ini. Kamu sebutkan saja nama mu, orang tersebut akan mengarahkan kamu untuk selanjutnya. Kamu magang di perusahan itu saja.

Jadi, kamu masih memiliki waktu untuk mengerjakan skripsi kamu.

Kamu masih kuat bekerja keras bukan? Jangan sia-siakan kemampuan kamu. Untuk adik kamu saya yakin, dia tidak keberatan berjuang sedikit lebih keras dari teman-teman sebayanya untuk meraih mimpinya. Sama seperti kamu.

Saya harap kamu tidak mempermalukan saya. Kamu harus bekerja dengan baik-baik di sana, mengerti, kan?

Sudah. Kamu boleh pergi. Selesaikan revisi seperti yang saya minta. Dan jangan lupa untuk menghubungi kontak yang saya berikan. Mengerti?" ucap Amaya panjang lebar.

Rama menggenggam erat kartu nama pemberian Amaya di tangannya. Ia terharu dengan perlakuan Amaya padanya. "Mengerti, Bu." hanya kalimat itu yang bisa ia ucapkan.

"Ya, sudah. Kamu bisa pergi sekarang. Untuk revisi, saya tunggu dua Minggu lagi. Saya mau usaha terbaik kamu, Ram." ucap Amaya dengan tegas seperti biasanya.

"Baik, Bu." Mahasiswa itu segera membereskan kertas-kertas miliknya yang penuh dengan coretan Amaya.

Sekali lagi, Amaya membantu mahasiswa bimbingannya. Rama bukanlah orang pertama yang ia bantu. Sudah banyak mahasiswa yang ia bantu seperti itu. Ia hanya menunjukkan dan memberi jalan. Untuk hasil, tergantung pada usaha maksimal yang dilakukan oleh individu tersebut.

Amaya membuang surat permohonan cuti milik Rama yang sebelumnya sudah ia robek. Ia melemparkan kertas itu ke dalam bak sampah di samping mejanya.

Nyeri di perutnya terasa menusuk. Ia mengambil sebuah botol di dalam tas, ia mengeluarkan dua butir pil dari dalamnya. Amaya meminum keduanya sekaligus. Ia menyandarkan tubuhnya, menunggu rasa sakit di perutnya reda.

Setelah beberapa saat, rasa sakit yang ia rasakan mulai berkurang. Ia menatap jam di tangannya. Masih ada waktu sekitar tiga puluh menit, sebelum mata kuliah Komunikasi Eksternal yang ia ampu dimulai.

Amaya menarik napas dalam, lalu mengembuskan nya perlahan. Ia memeriksa beberapa bahan perkuliahan di dalam laptopnya. Memastikan bahan ajar yang akan ia sampaikan sudah siap. Setelah ia yakin semua bahan sudah sesuai, Amaya bersiap untuk menuju ke dalam ruang perkuliahan.

Amaya selalu datang sepuluh menit sebelum perkuliahan di mulai, Ia akan memberi toleransi selama lima menit untuk keterlambatan. Setelah itu, tidak ada lagi mahasiswa yang boleh memasuki ruang perkuliahannya.

Bagi Amaya, jika ia sudah memutuskan menutup pintu maka tidak ada satu pun lagi orang yang bisa masuk ke dalamnya.

Amaya melangkah dengan pasti. Baginya, jika ia sudah memutuskan menutup pintu maka tidak ada satu pun lagi orang yang bisa masuk ke dalamnya.

----------------------

JURANG HATI AMAYA #IWZPAMER2023 Where stories live. Discover now