RUMAH

29 3 0
                                    

Amaya menekan tombol kunci pada kunci mobilnya. Ia kemudian berjalan menyusul ayahnya yang sudah lebih dahulu masuk ke dalam rumah. Arman langsung masuk ke kamarnya untuk berganti pakaian.
Amaya menuju dapur, ia membuka lemari pendingin dan mengambil sebotol air mineral ukuran sedang. Setelah melepas segelnya ia langsung meminum isinya hingga seperempat botol.

Udara siang hari itu memang lebih panas seperti biasanya karena sedang berada di musim panas. Bu Idah masuk dari pintu belakang, ia membawa segenggam kangkung cabut yang baru saja ia ambil di kebun belakang. Beberapa sayuran tumbuh di kebun mini yang di rawat oleh Arman. Beberapa tanaman seperti kangkung, bayam, kacang panjang, buncis, sawi dan beberapa pohon cabe yang ditanam secara bertahap dengan selang waktu beberapa hari tumbuh subur di kebun itu. Arman dibantu Pak Taufik sering menghabiskan waktu untuk kegiatan berkebun, kegiatan yang ia sebut sebagai menikmati masa pensiunnya.

Arman memilih menghabiskan waktunya di rumah, ia menyerahkan urusan perusahaan kepada adiknya dan dewan direksi. Ia memiliki satu harapannya besar, yaitu bisa menghabiskan masa tuanya dengan bermain-main bersama cucunya, karena kini putrinya sudah menikah.

Amaya tersenyum melihat Bu Idah, "Wah, tumis udang kangkung buat makan malam nanti, ya kan Bu." Amaya menebak masakan yang akan diolah oleh Bu Idah.

"Iya, kangkungnya bagus-bagus banget ini, Nak. Oh, ya... malam ini, Nak Adji ikut makan malam di sini kan?" Bu Idah bertanya sambil meletakkan kangkungnya di tempat cuci. Membersihkan sisa-sisa tanah yang masih tersisa di akarnya.

"Belum tahu, Bu. Maya belum tanya Mas Adji. Tadi pagi sih, katanya hari ini ada operasi. Nggak tau selesainya kapan." Amaya menjelaskan.

"Maya ganti baju dulu, ya Bu. Baru setelah itu Maya bantu Ibu masak. Oke." ucap Amaya saat ia telah menghabiskan isi air mineralnya.

"Iya." sahut Bu Idah sambil terus membersihkan kangkung untuk memastikan tidak ada ulat kecil yang nakal menempel pada daun atau batang kangkung.

Bertepatan dengan Amaya yang berjalan menuju ke kamarnya, Arman keluar dari dari kamarnya dan menuju dapur. Ia berpapasan dengan putrinya.

"Maya mau ganti baju dulu, Yah."

"Iya, ganti baju dulu sana, baru lanjut kursus masak sama Bu Idah," Arman mengatakan hal itu dengan wajah kocak untuk mengolok-olok putrinya itu.

Amaya hanya tersenyum menanggapi candaan ayahnya itu. Baru beberapa anak tangga menuju kamarnya, Amaya kembali memanggil ayahnya menanyakan obat-obatan yang baru saja mereka tebus.

Ayahnya yang masih diambang pintu dapur menyahut bahwa obat-obatannya ada di meja kecil samping tempat tidurnya. Amaya berjanji akan menyusunnya dulu setelah berganti pakai baru lanjut memasak dengan Bu Idah.

"Sudah makan, Dah?" tanya Arman pada asisten rumah tangganya itu.

"Sudah, Pak. Makannya sebelum Mas Taufik keluar buat beli bibit tadi. Sayur-sayurnya sehat-sehat semua, Pak. Itu buncis dua hari lagi sepertinya sudah bisa di panen, Pak." Bu Idah menjelaskan keadaan beberapa sayuran pada Arman. Arman mengangguk-anggukkan kepalanya dan tersenyum mendengar penjelasan dari Bu Idah.

Arman duduk di salah satu kursi dapur, ia menuang air putih yang tersedia di atas meja dan meminumnya perlahan. Bu Idah sibuk menyiapkan beberapa bahan yang akan digunakan untuk memasak makan malam.

Arman lalu berbicara lagi setelah menghabiskan isi gelasnya, "Tinggal menunggu waktu, Dah. Rumah ini akan berisik dengan suara anak-anak kecil. Jejak-jejak kaki kecil berlumpur akan mengotori lantai ini," Arman terkekeh membayangkan imajinasinya tentang cucu-cucunya.

"Iya, Pak. Terus Bapak teriak-teriak, karena bibit semaian Bapak berhamburan semua, dibuat mainan sama cucu-cucunya." Sahut Bu Idah menanggapi ucapan ayah Amaya sambil tertawa ikut membayangkan hal itu menjadi kenyataan suatu hari nanti.

Pembicara mereka mengenai keseruan saat anak-anak Amaya mengisi hari-hari di rumah itu di masa depan terus berlanjut. Tanpa mereka sadari Amaya mendengarkan semua pembicaraan mereka di balik pintu.

Satu sisi hatinya ikut bahagia mendengar keceriaan dalam pembicaraan ayahnya dan Bu Idah. Namun, satu sisi hatinya terasa sakit karena kenyataan dari pernikahannya tidaklah sama seperti yang ia dan suaminya perlihatkan.

Setelah beberapa lama, akhirnya ia menampakkan dirinya. Ia merangkul punggung ayahnya, "Lagi ngomongin apa, nih? Kayaknya seru banget."

"Jangan kasih tahu, Dah. Biarin aja dia penasaran. Ee... apa itu bahasa anak sekarang..." Arman terdiam sejenak, "Aa... kepo, iya kepo. Maya kepo, ya...." Arman mengolok-olok Amaya lagi.

Amaya meninggalkan ayahnya mendekati Bu Idah yang sekarang sudah tertawa mendengar ucapan ayah Amaya. Mereka bertiga lalu tertawa bersama.

Hati Amaya menghangat menikmati kebersamaan mereka. Berada diantara orang-orang yang mencintai dan ia cintai. Baginya ini semua sudah cukup. Berada di rumah yang diisi oleh orang-orang yang ia sayangi sudah lebih dari cukup, rumah tempat ia kembali di keadaan apapun.

Sayangnya, lamunan Amaya harus berakhir dengan suara klakson mobil. Suara baru yang hampir sebulan ini sudah menjadi penghuni baru garasi rumah orang tua Amaya.

"Maya bukain gerbang buat, Mas Adji dulu, ya Yah. Pak Taufik kan belum pulang." ucap Amaya.

Namun, sebelum Amaya beranjak. Pintu depan sudah terbuka. Pria yang sekarang menjadi suaminya sudah masuk dengan menenteng tas kerjanya. Senyumnya tak bisa menutupi raut lelah diwajahnya.

Amaya menyongsong pria itu, meraih tangan kanan suaminya dan menciumnya. Ia juga mengambil tas kerja Adji. Mereka menuju ke dapur, Adji mencium tangan ayah Amaya. Ia juga menyapa Bu Idah. Amaya menyuguhkan segelas air putih untuk Adji.

Sungguh pemandangan pengantin baru yang indah. Tapi, siapa sangka, kenyataan sebenarnya jauh berbeda dari yang mereka perlihatkan.

--------------------

JURANG HATI AMAYA #IWZPAMER2023 Where stories live. Discover now