RESET

30 4 0
                                    

Amaya menghabiskan semalam suntuk duduk di samping tempat tidur ayahnya. Ia ingin memastikan bahwa kondisi ayahnya tetap baik-baik saja setelah mendapat pertolongan pertama dari pihak medis.

Setelah beberapa tindakan dari tim medis, dan karena kondisinya tidak terlalu buruk Arman bisa langsung dipindahkan ke ruang perawatan.

Beruntung, kondisi Arman tidak terlalu parah akibat tekanan darah tingginya yang tiba-tiba naik. Perdebatan dengan putrinya ternyata membuat penyakitnya itu kambuh. Dan, saat perdebatan terjadi ia memang belum meminum obatnya.

Amaya merasa sangat bersalah karena telah menyebabkan ayahnya harus terbaring lemah di ranjang rumah sakit.

Bu Idah dan Pak Taufik sudah kembali ke rumah atas permintaan Amaya. Ia menyuruh keduanya untuk tetap di rumah, dan meminta Bu Idah untuk menyiapkan pakaian ganti untuknya.

Amaya, memegang tangan ayahnya. Tangan tua itu sudah mulai keriput. Tangan pria yang membesarkan dirinya seorang diri tanpa istri di sampingnya. Amaya merasa sangat bersyukur memiliki ayah seperti Arman, yang mencurahkan semua perhatian dan kasih sayangnya hanya untuk Amaya. Tak sekalipun Arman pernah menolak permintaan Amaya. Walau tanpa seorang ibu di masa pertumbuhannya, Amaya bisa tumbuh dengan penuh kasih sayang.

Menatap wajah Arman yang sedang terpejam damai, air mata Amaya kembali jatuh perlahan di pipinya. Perasaan bersalahnya semakin besar mengingat perdebatan yang terjadi beberapa jam yang lalu diantara ia dan ayahnya. Ayahnya tak pernah sekalipun memaksakan atau pun meminta sesuatu pada Amaya, ini adalah pertama kalinya Arman meminta pada Amaya.

Amaya mengelus perlahan tangan ayahnya yang sejak tadi ia genggam. "Yah, dari sekian banyak permintaan yang bisa ayah minta, kenapa ayah harus meminta Maya untuk menikah, Yah?"

Amaya merebahkan kepalanya disamping tangan ayahnya, kepalanya terasa sangat berat. Perasaan bersalah, pikiran tentang pernikahan. Walau ayahnya tidak meminta ia menikah secara gamblang tapi Amaya paham tujuan pembicaraan ayahnya sesaat sebelum musibah itu terjadi. 

Jangan berpikir Amaya tidak paham maksud dari percakapan mereka. Makan malam dan perkenalan dengan sahabat lama dan keluarganya, ah... Amaya tidak sebodoh itu untuk tahu maksud yang sebenarnya dari acara makan malam temu kangen tersebut. "Tenang saja, Yah. Maya tidak akan membuat Ayah kecewa atas permintaan Ayah."

Amaya tidak menentang pernikahan atau pun membenci ikatan tersebut. Ia hanya tidak menginginkan dirinya terperangkap di dalam hal seperti itu. Karena dipikirkannya, ia harus jatuh cinta dan barulah pernikahan bisa terlaksana. Dan dengan mencintai artinya ia harus menjadi bodoh. Ya, bodoh seperti ayahnya yang begitu mencintai ibunya. Tidak, Amaya tidak menginginkan hal seperti itu. Amaya tidak ingin diperlakukan seperti ayahnya hanya karena cinta.

Pagi menjelang, Amaya baru sadar saat seorang perawat masuk untuk memeriksa keadaan ayahnya. Ia baru beranjak ke kamar mandi setelah perawat menyatakan keadaan ayahnya telah stabil.

Pukul setengah tujuh, Bu Idah datang ke rumah sakit bersama Pak Taufik. Beliau membawakan peralatan mandi dan pakaian ganti untuk Amaya dan tak lupa laptop dan beberapa berkas yang diminta oleh Amaya.

"Nak, makan dulu, ya. Ini ibu sudah membuatkan sup ayam jamur buat sarapan." ucap Bu Idah sambil menata peralatan makan di meja yang ada di ruangan tersebut.

Amaya yang sudah selesai mandi dan berganti pakaian, tersenyum melihat kedua suami istri yang sudah ia anggap sebagai keluarga sendiri.
Ia merasa beruntung dikelilingi oleh orang-orang yang benar-benar mencintainya dengan tulus.

"Makasih, ya Bu." ucap Amaya sembari menikmati sarapan yang sudah disiapkan oleh Bu Idah. Wanita tua itu mengelus lembut kepala Amaya. Lalu merapikan beberapa barang dan memasukan pakaian bekas yang dipakai oleh Arman dan Amaya semalam.

Pak Taufik pergi ke luar untuk membeli beberapa barang. Hanya ada Amaya dan Bu Idah di ruangan itu.

"Keadaan Bapak bagaimana, Nak? Apa dokternya sudah datang lagi?" Bu Idah yang duduk di sebelah Amaya bertanya sambil menatap Arman yang terbaring di atas ranjang.

Setelah minum beberapa teguk, Amaya menjawab pertanyaan Bu Idah. "Kata dokter jaga tadi malam, Ayah sudah baik-baik saja, Bu. Untuk beberapa hari ini dokter akan melakukan observasi dulu ke ayah. Tapi sakitnya nggak parak kok. Jadi, kita bisa tenang."

"Syukurlah, Nak. Tadi malam itu ibu sudah panik sekali, takut bapak kenapa-napa, apalagi melihat Nak Maya nangis, aduh... ibu nggak kuat," Bu Idah menepis air matanya yang ingin jatuh.

"Ibu... Maya bersyukur sekali ada Ibu sama Pak Taufik tadi malam, nggak kebayang kalau tadi malam cuma Maya sendirian.
Terus temani Maya dan Ayah, ya Bu. Jangan tinggalin kami."

Bu Idah merengkuh Amaya. "Sudah, lanjutkan makannya, sebentar lagi pak dokter mau masuk, kan?"

Amaya sudah selesai makan, saat seorang dokter laki-laki dan dua perawat masuk ke dalam ruang rawat Arman untuk melakukan pemeriksaan.

"Dokter Adji, ini rekam medis pasien, Pak." ucap perawat laki-laki yang berdiri di samping kanan sang dokter.

-Flashback selesai-

----------------------------

JURANG HATI AMAYA #IWZPAMER2023 Where stories live. Discover now