G.S.K [Part 24]

10 4 0
                                    

Aleksander mengangguk sembari membuka bungkus obat dan meminumnya. "Tentu saja. Lalu, kasus ini juga unik. Tempatnya adalah kali di mulyosari, tempat ditemukan korban dekat dengan rumah yang dilaporkan oleh pelapor pada kasus yang ditangani Zoey. Kurasa kali ini pun ada hubungannya dengan kasus yang lain."

"Oh iya. Kamu sudah cari dimana pelapor itu?" Christine teringat dengan gadis kecil itu.

Nyeri mulai menjalar di kepalanya, alisnya bertaut, berusaha memfokuskan perhatian pada jalan di depan dan obrolannya dengan Aleksander.

"Hmm. Sudah. Namanya Christina, sama kayak namamu."

"Beda," bantahnya kesal. Dia sudah menduga Aleksander akan mengejek karena namanya pasaran.

Pria itu tersenyum, dia mengusap layar ponsel dan melihat foto gadis kecil itu. "Dia memang tinggal di sebelah rumah nenek Rozé. Cuman, dua hari sejak dia datang ke kantor Zoey, dia dilaporkan menghilang. Tidak kembali lagi sampai sekarang."

"Hah?" Kepalanya terasa semakin nyeri. Dia takut pemikiran buruknya menjadi kenyataan.

"Tim Beta masih menyelidiki keberadaan Christina. Kita bisa fokus menyelesaikan kasus golden silent killer ini. Kasus ini sudah ada dari akhir tahun, awal tahun hingga sekarang. Dia selalu berhasil mengelabui kita, hanya bulu emas itu yang dia tinggalkan. Kita sudah melangkah perlahan-lahan, ini harus berhasil, Christine."

"Iya, itu harapan kita semua. Lalu, ada informasi apa  lagi soal kasus Zoey?"

"Ada. Ini informasi tentang kasus Zoya Mecca. Pasti dari tim penyelidik sudah memberi informasi kalau mereka menemukan bulu emas di saku celana korban, Nadine. Ada juga bulu emas di korban pada kasus kita sebelumnya. Pelaku yang masuk ke rumah Nuki, apakah mereka sudah diperiksa?" tanya Aleksander penasaran.

Christine teridam, dia merasa ada sesuatu yang janggal di sini. Sejak mereka berhenti di rest area, dan berada di dalam food court, dia merasa sedang diikuti. Seperti ada bayangan yang tertangkap oleh netranya. Namun, Christine tidak berhasil menangkap orang tersebut.

Pikirannya bercabang, memikirkan keadaan Zoey dan Nuki, kasus yang tidak kunjung menemukan titik terang, dan hubungan tersembunyi dari semua kasus yang dia hadapi.

Perasaannya kacau. Ada hal yang tidak seharusnya mereka bahas, tapi malah terbahas. Namun, Christine tidak tahu apa itu dan kenapa tidak seharusnya mereka bahas?

Wanita ini memelankan laju mobil, mereka ada di lampu merah. Dengan cekatan Christine mengambil sisir di laci mobilnya dan melirik ke arah kaca yang ada di tengah mobil. Rambutnya berantakan, wajahnya benar-benar kusut meskipun dia sudah mandi. Sepertinya memang mereka butuh tidur. Daya fokusnya sudah menurun perlahan-lahan.

Sayangnya, keadaan tidak memungkinkan untuk tidur barang sebentar saja. Waktu terus berjalan, semakin lama kasus ini diselesaikan maka kesempatan untuk menangkap pelaku akan semakin menipis.

"Hmm. Kita ke sana aja dulu," ujarnya lagi. Tidak berselang lama lampu merah pun berganti dengan lampu hijau. Christine melajukan mobilnya tanpa mengajak Aleksander berbicara. Perasaannya mengatakan ada hal yang tidak beres di sini.

Pria itu meniup poni yang menutupi matanya. Sesekali melirik Christine, dia semakin diam dan tidak lagi mengajaknya berdiskusi.

"Kamu sakit? Nggak enak badan?" tanya Aleksander penasaran.

"Biasa aja. Nggak sakit."

Pria ini mendengkus pelan,"Oke. Kalau ada yang mengganjal, feel free to share with me."

Christine berdehem pelan, mereka sudah hampir sampai. Jalanan di Mulyosari semakin macet saja, sudah banyak penjual makanan di pinggir jalan, semakin banyak tempat untuk dikunjungi. Apalagi bulan ini kebanyakan anak sekolah sudah masuk ke masa pengenalan sekolah alias MPLS, pasti menambah kemacetan di jalan ini.

Christine menepi ke arah putar balik, dan mengarahkan mobil ke gapura Mulyosari Utara.

"Christine, kamu salah. Harusnya kali di dekan mulyosari tengah sana. Ini kita udah kelewat jauh," omel Aleksander lagi.

Wajah Christine memucat, mereka tidak diberi informasi untuk menepi di kali Mulyosari bagian mana. Dalam kondisi seperti ini, mereka akan berkumpul di markas yabg ada di Mulyosari Utara dan berangkat bersama-sama. Jika semua kendaraan diparkir di tepi jalan maka akan menambah kemacetan karena jalan yang semakin sempit.

"Ah, iya ya? Aku lupa," gumamnya pelan sambil terkekeh. Dia belum mau menanyakan hal tadi ke Aleksander, dia masih ingin mencari bukti lain.

Pria itu tertawa,"Kamu kecapean. Habis ini ke apartemenku nggak apa-apa, loh. Daripada ke rumahmu, kan jauh dari sini."

Christine tertawa kikuk, dia tidak pernah mau diajak ke apartemen teman yang baru dikenalnya, dia pernah hampir dipukul oleh temannya saat kecil, dibohongi akan diajak bermain lalu berakhir memar karena dipukul oleh beberapa anak.

Sejak saat itu, Christine sulit untuk percaya ada orang yang tulus berbuat baik. Hingga dia bertemu Zoey Kasiman, pria baik hati dan terlalu polos hingga nyaris mudah ditipu oleh orang lain.

"Thanks, but no need to do that far. I can take care of myself."

"Take care yourself by going to Zoey's side?"

Seulas senyum terukir di wajah ovalnya, hembusan angin menerbangkan helai-helai rambut Christine yang terurai.  Entah kenapa dia menangkap ada rasa cemburu tersirat dari pertanyaan Aleksander. Mereka tidak pernah lebih dari teman, Christine tidak merasa dia butuh menjawab persoalan pribadi dengannya.

"Kita udah sampai. Kita bisa turun menemui rekan tim yang lain," ujarnya lalu melepas tali keledar.

Aleksander turun dan membuka pintu tengah, mengambil tas ransel yang diletakkan di sana. Perlahan dia membuka tas dan memegang lama sebuah benda yang dibungkus plastik. "Seharusnya saat itu dia kubunuh aja. Kenapa harus kubiarkan hidup? Mengganggu saja,"desisnya pelan lalu menutup pintu lagi.

Pikirannya kembali ke pertemuan dengan wanita berambut ikal panjang. Wajahnya dipenuhi lebam, ekspresi penuh amarah, pakaiannya lusuh.

"Kenapa kamu babak belur gitu?"

Wanita itu tersenyum,"Nenek tua itu mengganggu. Padahal aku sudah menjaganya dengan baik. Satu-satunya keluarga yang tersisa, dia malah marah saat menguping pembicaraan kita di telepon."

"Hah? Nek Rozé?"

"Iya. Dia marah aku selalu bawa kucing liar ke rumah. Padahal kucing itu pengganti kucingku yang hilang saat kebakaran waktu itu."

"Ah, kucing mae?"

Wanita itu tersenyum sendu,"Iya. Aku merindukannya." Ekspresi sedih tadi berganti dengan kekesalan,"Aku cuman mau itu, dan nenek itu bersikeras mau mengusirnya. Tua bangka tidak tahu diri. Bukannya bersyukur masih ada yang mau mengurusinya."

"Kamu gila. Bahasamu terlalu kasar."

"Ya, mereka berdua harus merasakan yang kurasakan. Tidak becus bekerja, membuatku kehilangan keluargaku. Ini saatnya, kita sudah mempersiapkan ini dari lama. Bulu-bulu kucing itu pasti menarik perhatian. Mereka orang bodoh yang tidak sadar mereka sedang dipermainkan."

"Kamu belum puas? Korbanmu bukan lagi kucing, tapi manusia,"ujar pria dengan topi hitam itu dengan heran.

"Oh, maksudmu cewek bodoh yang kuhasut itu? Dia jadi menggunakan racun itu?" monolognya sambil tertawa.

"Ya, kasus itu yang mempertemukan dua targetmu. Mereka semakin lengket tahu."

"Aku sudah tahu. Cepat atau lambat mereka akan bertemu. Karena itu aku menyuruh orang bodoh lainnya untuk merusak rumah adiknya. Dia akan gusar. Masih ada kejutan lainnya, dia harus terluka ... baik fisik maupun mental," tandasnya sambil tersenyum senang.

Golden Silent Killer (TERBIT)Where stories live. Discover now