G.S.K [Part 16]

12 8 0
                                    

Zoey meraih jemari Christine dan menatapnya dalam lalu tersenyum. "Kasus  jauh lebih penting dari kesehatanku. Tadi aku sudah berencana untuk beristirahat begitu sampai rumah. Siapa sangka ada kasus baru ... atau lebih tepatnya, kasus ini berlanjut,"lirihnya.

"Maksudnya?"

"Ada kasus yang aku dan rekan kerjaku, Nayla, hadapi. Kasus menghilangnya kucing. Uniknya hal ini terjadi setiap bulan. Kemarin ada klien datang menyampaikan kasus kucing tetangganya yang hilang. Lalu, kami juga mendapatkan fakta baru."

"Apa itu?"

"Ada suara kucing dari rumah sebelah, padahal mereka tidak memelihara kucing,"tandasnya.

Christine masih belum menangkap apa maksud darinya. Keningnya berkerut, bibirnya mengerucut, manik matanya menatap ke arah Zoey membuatnya tertawa pelan. Wanita cuek ini terlihat menggemaskan di matanya.

"Memangnya mereka tidak punya kucing? Kenapa itu jadi fakta baru?" Akhirnya Christine mengungkapkan kebingungannya.

Zoey mengulum senyum, "Karena yang tinggal di sana nenek yang tinggal sendirian. Dia tidak punya peliharaan. Bagaimana mungkin tiba-tiba ada suara kucing?"

"Hmm, memangnya kenapa? Kan bisa aja nenek kesepian jadi pelihara kucing. Bisa juga ada orang yang kasih kucing. Pasti ada orang yang rutin mengunjunginya,kan?"

"Ya, kamu benar. Ada yang mengunjunginya."

"Siapa? Anaknya? Cucunya?" Christine tengah menatap ke arah layar ponselnya, memperhatikan informasi terbaru dari rekan kerjanya atau tim penyelidik.

Dia terdiam lalu menghela napas,"Dari keterangan klien, yang datang anak perempuannya. Terkadang dia membawa anaknya untuk datang mengunjungi neneknya."

"Nah, bagus, kan? Siapa tahu mereka yang kasih kucing itu biar nenek tidak kesepian?" tukas Christine lagi.

"Yah, memang tidak ada yang tidak mungkin. Tapi, tetap saja aneh, Christine,"balas Zoey sambil mengusap dagunya.

Christine menoleh menerima dua cangkir cokelat hangat dari Aleksander. Tadi dia mengirimkan pesan kepada rekannya untuk ke swalayan terdekat sebentar, membeli makan untuk mereka bertiga dan minuman hangat. Mereka jelas butuh asupan makanan, apalagi Zoey yang terlihat akan tumbang sewaktu-waktu.

Christine tersenyum dan mengulurkan tangan memberikan secangkir cokelat hangat ke Zoey.

Dahinya mengerenyit menatap Christine, dia tidak merasa memesan sesuatu. "Apa ini? Aku nggak ada nitip apa-apa,kok."

"Santai, nggak dipungut biaya. Aku yang traktir. Kamu belum makan, jangan siksa dirimu lebih dari ini,"sahut Christine.

Dia tidak senang dengan sikap acuh Zoey pada dirinya sendiri, dia tidak ingin Zoey jatuh sakit. Ada perasaan sedih setiap kali melihatnya bersedih.

Zoey tersenyum lebar,"Sering-sering ya ditraktir gini, nona Christine cantik," goda Zoey. Senyumannya merekah, membuat pipi Christine memerah.

"Ye! Gantian, dong. Pak Zoey Kasiman masa nggak traktirin balik. Pelit!" ejeknya sambil tertawa. Mereka sama-sama tahu kalau ucapan ejek mengejek ini hanya candaan semata.

Tidak ada maksud menghina atau merendahkan. Mereka sama-sama menghargai satu sama lain, sehingga tidak mudah bagi orang lain untuk mengadudombakan mereka.

Zoey menggenggam erat cangkir itu dan menyesap minumannya. Rasa hangat melingkupi perutnya, menghangatkan badannya. Semakin sore suhu semakin dingin saja, dia sudah beberapa kali gelegekan karena masuk angin. Beruntung Christine peka dan menjadi penyelamat sebelum dia semakin sakit dan tersiksa.

"Enak?" tanya Christine lagi. Melihat telinga Zoey yang memerah membuat jantungnya berdegup semakin kencang. Dia terlihat imut dan tampan secara bersamaan.

"Ya, enak. Christine, maaf jadi merepotkan. Seharusnya kamu sudah istirahat di rumah," ujarnya dengan nada sendu.

"Tidak perlu sungkan, sudah sewajarnya kita saling membantu. Oh iya, gimana ini? Kamu mau bawa adikmu ke rumah sakit?" tanya Christine lagi.

Zoey terdiam beberapa saat sebelum menatap Christine lagi, terpancar keraguan dari sana. Christine segera meraih jemari Zoey dan menggenggamnya erat.

Mereka saling beradu tatap untuk beberapa saat, binar di manik mata Christine dan mata sayu Zoey.

"Zoey, kalau kamu butuh saran. Aku bisa bilang. Kamu mau dengar,nggak?"

Zoey masih terdiam untuk beberapa saat, seolah mempertimbangkan satu dan lain hal sebelum akhirnya mengangguk setuju.

"Oke. Menurutku kamu butuh bantuan dan juga istirahat. Kamu butuh fasilitas yang cukup lengkap untuk adikmu. Kita ke rumah sakit ya?"

Senyumannya mulai merekah, dia merasa damai dengan usulan yang ditawarkan.

"Oke. Kita pastikan lagi apa yang terjadi sama Nuki," balasnya menyetujui ucapan Christine. Badannya terasa remuk, kepalanya berat sekali, tapi jantungnya berdebar tidak karuan. Dia tidak tenang dengan keselamatan Nuki. Dia takut jika dia terlambat datang menolong adiknya, mimpi buruk itu terus berputar bagai kaset rusak.

Seolah mengetahui kegundahan Zoey, Christine langsung menepuk pundak pria itu pelan.

"Tenang. Pertama harus tenang dulu, biar kamu bisa berpikir jernih. Bisa ya?" tawar Christine lagi.

Melihat Zoey mengangguk, dia segera memanaskan mesin mobil, bersiap untuk pergi ke rumah sakit. Aleksander sudah selesai membersihkan kekacauan di rumah Zoey, hitung-hitung sebagai cara untuk membunuh waktu. Dia malas berada di dalam kamar, dia juga malas berada di dekat Christine dan Zoey, rasanya seperti nyamuk saja.

Zoey segera ke kamar dan menyiapkan pakaian dan alat-alat yang akan dibutuhkannya. Dia harus memastikan kebutuhannya dan Nuki tercukupi.

Dua puluh menit kemudian Zoey sudah keluar dari kamar membawa satu koper penuh berisi kebutuhannya dan Nuki. Wajahnya letih dan lesu, guratan di dahinya terlihat jelas.
"Hei, aku udah siap. Kita berangkat?" tanya Zoey lagi.

"Ayo—"

"—Oh iya, Nuki biar aku gendong aja," potong Zoey seraya hendak berlari ke kamar selepas menaruh koper di belakang mobil.

"Ah, tidak usah,"sergah Christine.

"Hah? Siapa yang mau angkat Nuki?" tanya Zoey heran. Begitu dia membalikkan badan, Zoey berhenti melangkah. Di depannya, ada Aleksander yang memapah Nuki dalam dekapannya.

"Loh? Aleksander?" Zoey tidak tahu kapan Aleksander pergi dan memapah Nuki ke sini.

"Sst! Berisik," keluh Aleksander. Dia sudah lama mengenal Zoey dan Nuki. Mereka dulu bekerja di divisi yang sama. Sejak awal pendaftaran, menjalani serangkaian tes, dan menjalani misi bersama. Tentu saja dia tidak lagi merasa sungkan padanya.

Zoey tersenyum, Nuki sudah dibaringkan di kursi tengah mobil. "Terima kasih, Aleksander. Aku tidak tahu kamu begitu dermawan dan murah hati,"balasnya senang.

"Sst! Dibilangin jangan bicara. Nuki butuh ketenangan—"

"—iya, paham kok. Tenang," jawabnya berusaha menenangkan hati Zoey yang terlanjur dipenuhi amarah.

Christine dan Aleksander sudah berada di dalam mobil bersama dengan Nuki. Sementara Zoey mengunci rumah dan memastikan sumber listrik sudah padam. Dia tidak ingin menambah pekerjaan dengan kebakaran atau korslet listrik.

Zoey menatap ke rumahnya lalu menghela napas panjang. "Hari yang melelahkan," gumamnya lalu berlari kecil ke dalam mobil.

Zoey berhenti dan  mengeluarkan plastik klip tadi, dia menunjukkan kepada Christine. "Hmm, mungkin nanti."

Golden Silent Killer (TERBIT)Where stories live. Discover now