G.S.K [Part 15]

10 8 0
                                    

Setelah menarik napas dan menghembuskannya perlahan, Zoey mendorong mereka ke dinding dengan kasar.

"Bos tidak akan senang. Kita tidak berhasil membawa tuan muda ke bos," bisik pria dengan kepala botak ke arah rekan kerjanya.

Pria dengan rambut panjang ini melirik dengan pandangan tidak suka, "Sst! Diem!"

"Sudahlah. Percuma saja. Kita sudah ketangkap saja sudah buat bos tidak suka. Kita tidak akan selamat. Lebih baik kita bantu saja orang ini," jawabnya.

Zoey menarik kerah pria kepala botak dan menatapnya tajam. "Nampaknya kamu lebih bisa berpikir jernih daripada temanmu. Jadi, siapa target kalian? Siapa yang menyuruh kalian dan kenapa?" bombardir Zoey dengan pertanyaan.

Perasaan sesak melingkupi benaknya, ingin rasanya dia memukul mereka hingga pingsan. Namun, dia tidak bisa. Kalau tidak dalam kondisi terancam, dia tidak berhak mengambil nyawa pelaku. Terlebih lagi, dia memang tidak bawa senjata api.

Christine merasa Zoey sudah tidak dalam kondisi primanya, dia seakan bisa tumbang kapan saja.

"Zoey," gumamnya pelan. Perasaan tidak enak melingkupi sanubarinya, dia ingin menarik pria keras kepala ini ke dalam kamar dan menyuruhnya tidur.

Tentu saja dia tidak tahu seberat apa beban yang dia rasakan. Dari sedikit cerita yang disampaikan, terlihat dia sedang dikerubungi masalah. Tentang rekan kerjanya, adiknya, dan orang yang menjadikannya target. Sialnya, mereka menjadikan Nuki sebagai sasaran. Seandainya Nuki pulang sendiri tadi, entah akan jadi apa Zoey sekarang. Entah segila apa amarahnya nanti.

"Kamu bertanya pun percuma. Kami hanya melihat bayangan hitam, dia bahkan menggunakan alat pengubah suara. Mungkin dia seorang perempuan, entahlah."

"Bagaimana kamu tahu dia perempuan?" Zoey memicingkan mata, mencari tanda-tanda kebohongan, tapi dia tidak menemukannya.

Dia tersenyum mengejek, "Kau tuli? Aku sudah bilang itu hanya dugaan. Lagipula—"

"—Lagipula apa? Jangan buang-buang waktu!" Zoey tahu dia sengaja memperlama ucapannya, entah buat apa dia mengulur waktu.

Dia kembali tersenyum setelah menatap manik mata Zoey. Semakin dia marah, maka semakin senang hatinya. Bersenang-senang di atas penderitaan orang lain, nikmat apa lagi yang dia dustakan? Tidak ada, selain bersiap menghadapi panasnya api Neraka.

Dia sadar diri, hidup dengan catatan kehidupan penuh dosa dan kejahatan, tentu saja tidak akan membuat dosanya diampuni. Dia harus menebus kesalahan yang dilakukannya dengan sengaja.

"Lagipula aku masih punya mata. Dari lekuk tubuhnya, jelas dia terlihat seperti perempuan. Yah, entahlah. Terlalu gelap, memoriku juga buruk," lanjutnya lagi.

Zoey mendengkus kasar, dengan perasaan semakin kacau dia mengacak-acak rambutnya kasar. Mempertanyakan kandidat yang mengincar dirinya atau Nuki. Namun, pikirannya buntu. Semakin dipikirkan, tidak membuahkan hasil.

Dia terkekeh pelan, tidak percaya mudah sekali membuat Zoey tidak fokus. "Jangan bilang kamu mempercayaiku?"

Zoey menatapnya dengan tatapan tidak suka,"Sebaiknya kau mengatakan sesuatu yang berguna," ujarnya dengan pisau di bawah dagunya.

Christine membelalakkan mata, tidak menyadari sejak kapan Zoey mengambil alat itu.

"Oho! Takut," ujarnya dengan nada dibuat-buat. Dia kembali tertawa,"Tanganku diborgol. Ambil di kantong celanaku, ada sesuatu yang bermanfaat untukmu,"bisiknya pelan.

Zoey meremas ujung bajunya kuat, perutnya melilit. Rasa sakit menjalar di sekujur badannya hingga tulang-tulangnya terasa ngilu.  Keringat dingin mulai dirasakannya, air muka Zoey tidak terlihat baik. Wajahnya terlihat pucat.

Sekali lagi, Christine menyadari perubahan ekspresinya. Bibirnya mengerucut kesal, dia benci rasa khawatir. Tidak ingin melihat Zoey terpuruk dan terluka seperti hari itu.

"Sebaiknya kau tidak membual. Dasar berdebah sialan," umpat Zoey dengan penuh penekanan lalu mengulurkan tangan ke saku celananya.

Pria itu tertawa,"Sial, cepat keluarkan lagi tanganmu. Geli!" pekiknya sembari menahan tawa.

Bulu kuduknya berdiri, merinding mendengar suara pria dalam jarak sedekat ini. Bahkan hembusan nafasnya terasa di leher Zoey.

Dengan cepat Zoey segera menyingkir dari sana dan melotot ke arahnya.

"Apa?" tanya balik pria itu heran.

Zoey tidak merespon dan membuka genggaman tangannya. Zoey tertegun.

"Ini ...."

Pria itu menyeringai, senang dengan respon yang sesuai dengan harapan. Wajah Zoey semakin memucat.

"Gimana? Bisa menebak petunjuknya?" ujarnya senang.

Dia menaruh barang tadi di plastik klip lalu menatapnya sekali lagi. "Dia yang menyuruh kalian melakukan ini?"

"Yah, tentu. Barang itu terjatuh di tempat kami bertemu. Malam itu aku tidak menyadarinya karena kondisi remang-remang. Begitu dia pergi barulah ponsel kami dikembalikan. Bocah di samping ini menjatuhkan ear piercing-nya. Jadi, yah ... terpaksa aku menyalakan flashlight. Bukannya ketemu yang dicari, justru menemukan barang yang tidak diduga."

"Kamu menyimpan ini buat apa?"

"Entahlah. Tidak ada alasan khusus. Hanya mengikuti feeling."

Zoey mendengkus kesal,"Kenapa kalian mengincar adikku? Kenapa?" cecar Zoey kesal.

"Oh. Dia adikmu? Bos cuman bilang datang ke rumah ini dan habisi siapa saja yang ada di dalam. Tidak begitu spesifik. Cuman tidak masalah, setengah bayaran di muka sudah cukup untuk kami memulai aksi," jawabnya dengan senyuman menyeringai.

Zoey memijat keningnya, pusing di kepalanya semakin menjadi-jadi, belum lagi perutnya yang tidak bersahabat. Dia tidak merasa dalam kondisi terbaiknya. Sialnya, saat dia dalam kondisi seperti ini malah masalah terjadi.

Christine melirik ke tim penyelidik yang datang mendekat ke arahnya. Salah satu dari mereka tampak memberikan sebuah foto yang membuat ekspresi Christine berubah. Dia tampak pias, lalu menghela napas panjang.

Tidak menghabiskan banyak waktu, dia langsung menunjuk ke arah dua orang yang tengah duduk di lantai dengan tangan diborgol ini. Setelah berbincang beberapa saat, akhirnya kedua orang tadi diringkus dan dibawa ke kantor polisi.

Zoey masih setia menatap dua orang itu dengan tatapan sinis. Sementara pria berambut panjang itu meludahi lantai rumahnya. Dia tidak ingin memukul mereka lagi, biarkan saja dia menghadapi hukumannya.

Christine mendekat ke arah Zoey, menempelkan tangannya ke kening pria ini. Wajahnya tampak memerah.

"Zoey, kamu sakit," gumamnya pelan.

Dia tersenyum tipis,"Iya, kah? Pantas saja aku tidak merasa sehat."

"Sejak kapan? Kenapa tidak bilang?"

Zoey meraih jemari Christine dan menatapnya dalam lalu tersenyum. "Kasus  jauh lebih penting dari kesehatanku. Tadi aku sudah berencana untuk beristirahat begitu sampai rumah. Siapa sangka ada kasus baru ... atau lebih tepatnya, kasus ini berlanjut,"lirihnya.

"Maksudnya?"

"Ada kasus yang aku dan rekan kerjaku, Nayla, hadapi. Kasus menghilangnya kucing. Uniknya hal ini terjadi setiap bulan. Kemarin ada klien datang menyampaikan kasus kucing tetangganya yang hilang. Lalu, kami juga mendapatkan fakta baru."

"Apa itu?"

"Ada suara kucing dari rumah sebelah, padahal mereka tidak memelihara kucing,"tandasnya.

"Memangnya mereka tidak punya kucing? Kenapa itu jadi fakta baru?"

Zoey mengulum senyum, "Karena yang tinggal di sana nenek yang tinggal sendirian. Dia tidak punya peliharaan. Bagaimana mungkin tiba-tiba ada suara kucing?"

Mereka saling mengunci pandang satu sama lain, berpikir dan mengkhawatirkan satu sama lain. Sama seperti beberapa tahun silam, saat mereka masih bersama.

-Bersambung-

Golden Silent Killer (TERBIT)Where stories live. Discover now