G.S.K [Part 5]

24 12 7
                                    

Dalam sekejap, semua arah pandang beralih ke sumber suara di dalam sana. Nuki dan Zoey saling berpandangan untuk beberapa saat, lalu segera mengambil barang-barang mereka, seperti dompet dan ponsel. Sebagai manusia yang malas ribet, mereka jarang membawa tas selempang, lebih sering mengantongi dompet dan ponsel saja di saku celana. 

Dengan saling memandang, mereka sudah tahu apa yang dipikirkan satu sama lain, efek dari terlalu sering bersama sehingga mereka terbiasa saling memahami satu sama lain. Dengan segera mereka berdiri dan mendekat ke arah sumber suara, masuk ke ruangan di dalam kafe dan melirik ke kerumunan orang-orang di sana. 

Zoey memberikan hand gloove kepada Nuki, mereka harus tetap berhati-hati. Jika ada sesuatu yang sesuai dengan dugaan, maka mereka tidak boleh merusak tempat kejadian perkara. 

"Permisi," ujar Zoey beberapa kali dan menarik pergelangan tangan Nuki. Dia tidak ingin meninggalkan Nuki di belakang, karena dia adalah tanggung jawabnya. Begitu sampai di depan apa yang terjadi membuat wajah Nuki tampak pias, sementara Zoey tersenyum.

"Sesuai dugaan," gumamnya pelan. 

Mendengar gumamamnya membuat orang-orang yang ada di dekatnya mengambil langkah menjauh darinya dan menatap Zoey dengan tatapan penuh kecurigaan. Nuki langsung menyenggol Zoey untuk menyadarkan kakaknya yang ceroboh ini.

"Kak, sadar nggak orang lain pada ngeliatin kakak?" bisiknya lagi. Debaran di jantungnya semakin keras saja, dia takut kakaknya terseret pada hal yang tidak dia lakukan.

"Hah?" Zoey masih tidak sadar akan apa yang diucapkannya beberapa saat yang lalu.

"Kakak tadi bilang sesuai dugaan, astaga jangan bikin aku takut, kak," gerutu Nuki kesal. Setelah itu barulah Zoey paham dengan situasinya, dan mengedarkan pandangan ke sekitarnya seraya tersenyum, "Tenang, saya detektif. Bukan pelaku kejahatan," ujarnya lalu menatap ke arah Nuki, "Segera telepon polisi—"

"—tidak perlu, sudah ada di sini, ujar seorang wanita dengan rambut sebahu. Dia terlihat seperti anak di bawah umur yang mengenakan pakaian mewah yaitu kemeja yang dipadukan dengan vest bercorak awan berwarna emas, dan celana panjang berwarna abu-abu.

Zoey melirik ke wanita yang mengenakan name tag bernama Christine. "Kamu benar-benar polisi rupanya," gumamnya pelan.

Christine tidak mempedulikan Zoey, dia langsung menatap ke arah wanita muda di depannya yang berjongkok di sudut kamar mandi dengan wajah ketakutan. Rupanya ada seorang dengan rambut panjang yang berantakan, sedang terkapar di lantai. Naasnya, dia terbaring dengan separuh badan di depan pintu dan sisanya berada di dalam bilik kamar mandi. 

"Siapa yang pertama kali menemukan korban?" tanya Christine seraya mendekat ke arah korban. Dengan sarung tangan yang sudah terpasang, dia menekan arteri karotis komunis yang terdapat di dalam leher, mencoba merasakan denyut nadi dari sana. Wajahnya menghadap ke arah pintu masuk kamar mandi. Dengan mata melotot dan tangan yang memegang lehernya, dia terlihat mengenaskan. 

"S-saya," ujar wanita muda yang berada di pojok tadi. "Ta-tadi, saya mau cuci tangan karena tangan saya kotor, terus sudah gini keadaannya," jawabnya dengan gemetar.

Christine menghela napas panjang, dia tidak merasakan denyut nadi dari leher korban, tidak juga dari pergelangan tangannya. Korban terlihat pucat, belum lagi dengan genagan darah yang ada dibawahnya.

Wanita dengan rambut panjang ini menatap ke arah Zoey yang berjongkok di depan pintu kamar mandi dan menanyakan pertanyaan kepada saksi, "Kamu sendirian masuk ke kamar mandi atau ada orang lain yang bersama kamu?" 

"Ti-tidak ada, cuman saya sendiri. Tapi, ada orang lain yang masuk ke kamar mandi ini juga sebelum saya," jawabnya lagi.

"Korban bernama Anggun, dia datang bersama dua orang yang ada disamping Zoey," ujar Aleksander, rekan kerja Christine yang baru bergabung dengannya di tempat kejadian perkara ini.

"Ah, iya. Tadi aku lihat kalian bertiga datang bareng-bareng," sahut Zoey dengan mata berbinar.

Mendengarnya membuat dua orang ini mendengkus kesal, "Terus maksudmu apa? Kamu pelakunya? Enak aja," sanggah salah satu dari mereka. Sementara yang satu lagi terus menunduk, dia terlihat gelisah.

"Bukan gitu maksud saya, tuan dan nona—"

"—bisa jelaskan apa yang kalian lakukan saat nona di ujung sana menemukan korban?" potong Christine sambil melirik kesal ke arah Zoey, sementara yang dilirik hanya mengangkat bahunya tidak tahu menahu kenapa Christine terlihat kesal padanya.

Mereka berdua saling memandang, terlihat keduanya enggan untuk memulai. "Bisa dimulai dari nona dulu," sahut Zoey. Dia tidak tahan dengan aksi saling tunggu menunggu ini, menyebalkan membuang-buang waktu di saat mereka kehabisan waktu.

"S-saya Zoya, datang ke sini sama mbak Nadine dan mas Rivey. Mbak Nadine terlihat kesal melihat layar ponselnya, lalu dia pergi ke toilet dan lama tidak kembali. Saya dan mas Rivel tidak kemana-mana, tetap di tempat duduk—" 

"—kamu tadi keluar kafe ini. Mau ngambil barang yang tertinggal di mobil katamu," potong Rivel. Dia terlihat kesal dengan Nadine yang berbicara terbata-bata. 

"A-ah, iya. Tadi sempat keluar kafe. Ke mobil bentar," lanjutnya dengan kepala tertunduk.

"Bukannya kamu punya dendam sama Nadine? Kamu kesal, kan, karena Nadine terus menyuruh kamu lembur. Kamu juga tidak diijinkan untuk cuti pulang kampung untuk jenguk adik kamu yang sakit," ujar Rivel dengan percaya diri. 

"Enggak gitu, saya nggak mungkin menyakiti mbak Nadine. Beliau tetap atasan saya yang harus saya hormati," sergahnya.

Zoey dan Nuki malah asik menikmati drama yang dilakoni oleh kedua rekan kerja korban. Sementara Christine dan timnya sudah mulai menyelidiki tempat ini, memeriksa tanda-tanda kekerasan, atau penyiksaan. Sementara Aleksander berinisiatif untuk pergi mengecek CCTV yang mengarah ke kamar mandi, dia ingin mengetahui siapa yang masuk ke dalamnya dan kapan korban masuk. Dia juga mengecek CCTV lainnya untuk mengecek kebenaran dari ucapan Zoya. 

"Bukannya mas juga ada dendam sama mbak Nadine?" tanya balik Zoya dengan tatapan kesal.

"Dendam kenapa? Kamu sengaja mengarang alasan, kan? Kamu kesal saya beberkan kenyataan yang ada, kan?" sindir Rivel. Dia tidak pernah suka dengan keputusan Nadine untuk menerima Zoya di tim mereka. Anak itu tidak bisa memberikannya keuntungan, malah kecerobohan yang terus dilakukannya.  

"Kalian terlihat tidak akur, kenapa?" tanya Zoey penasaran.  Dia masuk ke dalam setelah mengenakan shoe cover, tentu tidak ingin menambah jejak dirinya di tempat kejadian ini. Tidak ingin menambah catatan kecerobohan lagi di hidupnya.

"Bu Christine, kami menemukan pisau berwarna merah muda ini di dalam tempat sampah di bilik yang paling ujung. Ada noda darah di pisau ini," tutur salah satu tim penyelidik.

Melihat itu membuat Rivel tersenyum, "Bukannya itu punyamu, Zoya? Kamu punya satu set peralatan makan lengkap. Kamu selalu membawanya di dalam mobil. Jadi, kamu ke luar untuk mengambil itu, kan?"

"B-bukan aku pelakunya. Itu memang punyaku, t-tapi bukan aku pelakunya," tuturnya panik. Dalam kondisi seperti ini, mereka sudah menduga kemana akhir kasus ini akan berakhir.

-Bersambung-

  

Golden Silent Killer (TERBIT)Where stories live. Discover now