G.S.K [Part 9]

11 7 0
                                    

Debaran di dada begitu kencang, tidak ada yang bersuara untuk beberapa saat. Baik Rivel Setiadi maupun Zoya Mecca tetap diam dengan ekspresi yang berbeda. Rivel tampak emosi, tapi tatapan kesedihan dan kekecewaan tidak lepas dari manik matanya. Begitu pula dengan Zoya Mecca, wajahnya tampak pias. Namun, sorot matanya terlihat jelas jika dia terkejut dengan apa yang didengarnya. Dari sana Zoey menduga dia tidak tahu menahu tentang rencana pembunuhan ini. Yah, mungkin saja. Sekali lagi, tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini.

"Jadi, korban tahu sendiri kalau dia diselingkuhi? Kamu tidak kasih pernyataan bohong, kan?" tanya Christine lagi.

Pandangan Zoya berpaling dari Rivel ke arah Christine. Dengan senyuman  kecut dia mengangguk pelan.  Dia tahu akibat dari sebuah kebohongan adalah hilangnya kepercayaan orang lain untuknya. "Iya, benar. Kalau ada alat tes kebohongan, kalian bisa lakukan tes itu. Selain itu, saya punya bukti chat dengan mas Rivel. Semuanya, saya simpan. Ternyata bisa juga dijadikan alat bukti kalau dia tidak mengaku tentang hubungan kami," tuturnya lagi.

Situasi semakin memanas, Zoey terus berharap semoga tidak ada pertumpahan darah lagi di sini. Dia ingin segera pulang dan istirahat. Dia masih harus menjenguk Nayla besok sebelum kerja dan setelah pulang kerja. Belum lagi kasus yang dia hadapi belum selesai. Kepalanya pusing sekali memikirkan semuanya.

Christine memijat keningnya pelan, dia sungguh ingin pergi ke tempat refleksi dan meluruskan ototnya yang tegang karena dihadang berbagai macam kasus. Seharusnya hari ini dia menikmati pagi yang tenang dengan secangkir cokelat caramel hangat dan sepiring onion ring dan ayam betutu bakar. Sayangnya, dia masih harus memacu pikirannya untuk bekerja ekstra. Dia sudah tampak kelelahan, wajahnya pucat tapi masih terlihat cantik. Christine terlihat hampir di ujung batas ketahanannya, dia terlihat bisa tumbang sewaktu-waktu. Hal itu tidak luput dari pandangan Zoey, sayangnya ini bukan saat yang tepat. Urusan mereka belum selesai.

Zoey mengulurkan tangannya, hendak menepuk pundak Christine. Namun, wanita itu sudah membuka kembali pejaman matanya dan menatap tajam ke arah Rivel dan Zoya. "Oke-oke. Cukup. Kalian berdua ikut saya ke kantor polisi. Sampaikan semua di sana, jangan ditutupi lagi," pinta Christine sambil mengkode timnya untuk bergerak.

Baru saja mereka akan pergi, begitu Zoey mengangkat tangannya, menghentikan tindakan mereka untuk beberapa saat. Semua pandangan kembali tertuju ke arah pria itu. Dengan senyuman jenaka, dia menatap ke arah Christine untuk beberapa saat. Entah kenapa, dengan melihatnya membuat Christine tahu apa yang hendak dia lakukan. Dia tidak perlu mendengar penjelasan secara lisan, cukup melihat manik matanya saja. Mungkin karena masa lalu, mereka sudah sering bekerja bersama, menghabiskan waktu dengan suka dan duka bersama. Christine tidak perlu mengkhawatirkan Zoey, dia sudah percaya padanya sejak dulu hingga kini dan selamanya.

"Bentar, mas Rivel dan mbak Zoya punya hubungan dan mbak Zoya tidak tahu tentang rencana mas Rivel untuk membunuh korban. Benar begitu?" konfirmasi Zoey lagi.

Zoya menatap Zoey dengan wajah tegang, "I-iya, tentu saja. Membunuh itu dosa. Saya sudah cukup berdosa karena berpacaran dengan pria yang sudah punya pacar. Apalagi pacarnya adalah orang sebaik mbak Nadine."

Zoey terdiam untuk beberapa saat, begitu pula Zoya. Lalu, senyuman terlihat di wajah pria itu. Dia selalu penasaran dengan rekaman yang mereka dapatkan, selalu penasaran kenapa wajah pria itu terlihat marah dan murung secara bersamaan. Alasan dia mengepalkan tangannya begitu kuat hingga kuku jarinya melukai telapak tangannya.

"Oke. Silahkan dibawa mas Rivel ke mobil. mbak Zoya, bisa kembali pulang. Terima kasih."

Tentu saja hal itu membuat Christine mendelik ke arahnya dengan kesal. Bagaimana mungkin Zoey membiarkan Zoya pulang. Mereka masih membutuhkan kesaksian Zoya. Zoey sudah menduga hal itu akan terjadi, dia mengangguk dan menaruh telunjuk di bibirnya. Pria itu memberi isyarat supaya Christine tetap tenang dan tidak mengamuk sekarang.

Mereka langsung meringkus Rivel Setiadi dan membawanya ke mobil, meninggalkan Zoya Mecca di ruangan itu sendirian. Sebenarnya tidak benar-benar sendirian, masih ada karyawan lain dan tim penyelidik yang membawa mayat korban di kantong jenazah dan dibawa ke kantor polisi untuk diautopsi. 

Zoya masih berdiri di sana dengan ekspresi sedih, membuat orang-orang yang melihatnya ikut bersedih akan hal yang dia alami. Sudah dijadikan selingkuhan, dimarahin senantiasa oleh pacarnya dan menyaksikan rekan satu tim yang disayangi dibunuh oleh pacarnya sendiri.

Setelah mereka sudah pergi dan menjauh dari Zoya, wanita itu mulai tersenyum. "Akhirnya pengganggu itu pergi," gumamnya sambil masuk ke salah satu bilik kamar mandi dan menggeser penutup geser di atas bilik itu. Tangannya terulur ke atas untuk mengambil sesuatu. Setelah menemukan barang yang dicari, dia kembali turun dan keluar dari bilik. 

Zoya membuka pintu kamar mandi dan langkahnya terhenti. Dia tidak benar-benar sendiri, wajahnya menjadi pucat pasi. Dengan sigap dia menyembunyikan barang yang diambilnya tadi.

"L-loh, ada yang tertinggal?" tanya Zoya sambil tersenyum canggung.

Zoey sudah berdiri di sana bersama Christine, di sudut sana sudah ada Rivel bersama tim penyelidik. Tangannya masih diborgol. 

"Iya ada yang tertinggal. Botol tumbler yang mbak Zoya sembunyikan dibelakang itu," jawab Zoey dengan senyuman senang. Tikus masuk dalam perangkap, semua sesuai rencananya.

"Hah?" Zoya masih belum putus asa. Dia mencengkeram erat barang itu. 

"Sudahlah. Cukup membuang waktu," omel Christine. Dia ingin mencakar Zoey tadi karena membiarkan Zoya di tempat ini. Beruntung Zoey segera menjelaskan begitu mereka sampai di luar ruangan tadi. Dengan segenap kesabaran yang tersisa, dia mengangguk dan mengikuti jalan cerita yang ingin dilakukan Zoey. 

Barang di tangannya tidak lagi disembunyikan di belakangnya, dia mengambil botol itu dan tersenyum tipis. "Ini cuman botol. Apa yang salah dengan ini?" 

Sesuai dugaan Zoey, tidak mudah membuat Zoya berkata yang sebenarnya. "Iya, botol yang Anda berikan kepada Rivel untuk diberikan ke korban. Botol yang perlu kami cari tahu apa kandungan di dalamnya. Kenapa korban sampai keracunan dan mulutnya keluar busa? Padahal tim penyelidik sudah memeriksa minuman yang kalian minum dan tidak ada satupun data bahan kimia dari sana. Bukankah ini terlihat aneh? Apa yang Anda tambahkan di botol itu? Kenapa tidak Anda berikan sendiri ke korban? Kenapa melalui mas Rivel?"

Zoya terdiam, dia hanya tersenyum. "Baiklah. Tentu saja karena Anda tahu Rivel akan menemui pacarnya. Anda tahu dia sangat menyayangi korban, tapi Andalah yang memaksanya melakukans semua drama ini. Rivel yang dikenal baik oleh rekan-rekan lain mulai bertindak kasar setelah Anda masuk ke dalam tim. Anda kira kami tidak punya bukti rekaman CCTV? Bahkan rekaman pembicaraan kalian direkam dengan baik di ponsel Rivel. Dia tidak sebodoh itu mau dipermainkan oleh Anda."

"Mereka dua orang bodoh. Seharusnya—"

"—cukup. Bawa dia ke kantor. Katakan semua di sana. Jangan berani-berani untuk berbohong," decih Christine. Dia sudah tidak sanggup melihat permainan yang dibuat Zoya. 

-Bersambung-

"Mas Rivel, hari dimana mas Rivel menemui korban. Sebelum kalian mampir ke toko untuk membeli senar, ada botol tumbler dengan stiker-stiker domba di sana. Itu punya mas Rivel?"

Rivel tidak mengira tumbler itu akan dibahas di sini, dia kira semua sudah selesai dengan menetapkannya sebagai tersangka. Dia kira sudah cukup dia menanggung semua kesalahan dan rasa bersalah yang hinggap padanya. 

"I-iya, punya saya," jawabnya dengan gugup.

Zoey tersenyum, "Tidak perlu gugup, mas Rivel. Tidak ada yang perlu ditutupi.

Golden Silent Killer (TERBIT)Where stories live. Discover now