G.S.K [Part 14]

12 8 1
                                    

Nuki terbaring di kasurnya, wajahnya tampak damai. Perasaan sakit menjalar di benak Zoey. Dia benci melihat orang yang disayanginya terluka karena pekerjaannya.

Dengan panik Zoey segera berlari mendekati Nuki. Wajahnya tampak pucat, Zoey merasa tidak berguna sebagai seorang kakak.

"Nuki?" gumamnya pelan. Perasaan nyeri menjalar di sekujur tubuh. Matanya memanas melihat adiknya terkulai lemas.

Dia bahkan tidak sadar kapan terakhir kali adiknya check up. Perasaan Zoey mendadak kacau. Perlahan Zoey mendekati kasurnya, bergerak seperti robot, perlahan tapi pasti.

"Nuki?" panggil Zoey lagi. Namun, kedua manik matanya tetap terpejam. Zoey segera menaruh kedua jari di bawah lubang hidung dan menaruh jari telunjuk di lehernya. Zoey bernafas lega begitu merasakan hembusan nafas teratur dan denyut nadi Nuki.

Namun, dia tidak bisa lega sebelum tahu apa yang terjadi pada adiknya, apa yang dirasakannya?

"Apa penyakitmu kambuh? Kenapa nggak bilang ke kakak?" bisiknya sambil menggenggam erat jemari Nuki.

Christine tertegun mendengarnya, dia tidak pernah tahu tentang hal ini. "Apa? Nuki ada riwayat penyakit apa?" tanya Christine dengan ekspresi  khawatir.

Zoey tersenyum tipis, tangannya menggenggam jemari Nuki erat seakan takut kehilangan.

"Batu ginjal. Dia sudah dioperasi dua tahun lalu. Seharusnya dia rutin check up, tapi aku—"

"Kamu kenapa?" tanya Christine karena Zoey menggantungkan kalimatnya.

Zoey menatap Christine dengan mata berair. "Aku tidak tahu perkembangan kesehatannya. Aku tidak menemaninya check up ke dokter," ujarnya miris.

Pandangannya kembali ke arah Nuki, kini setiap detik yang ada digunakannya untuk merapalkan doa supaya adiknya lekas bangun.

"Kamu nggak berniat bawa Nuki ke rumah sakit? Kita bisa membawanya menggunakan mobilku," tawar Christine.

"Aku sudah banyak merepotkanmu, tapi aku membutuhkan bantuanmu," jawabnya dengan sendu dan bimbang.

"Ck! Kamu seperti bukan Zoey yang aku kenal. Sudahlah, ini gunanya teman. Pakailah bantuanku," jawab Christine lagi. Dia cukup kesal dengan Zoey yang terlihat tidak punya semangat hidup.

Dia lebih memilih kesal dengan Zoey yang banyak tingkah dengan level kepedean tingkat tinggi, daripada Zoey yang diam, sedih, dan tidak percaya diri. Melihatnya dalam kondisi seperti itu benar-benar membuatnya ikut sedih dan terpuruk.

Dalam kesunyian, terdengar suara rintihan dari Nuki. Dia masih memejamkan mata, dan dahinya berkerut seperti menahan kesakitan.

"A-ampun, jangan sakiti kakakku," gumam Nuki dalam tidurnya.

"Nuki? Kakak di sini, nggak ada yang nyakitin kakak. Nuki bangun," ujar Zoey pelan sembari mempererat tautan jemari mereka.

Selepas itu Zoey kembali terdiam dan suasana kembali senyap. Dalam alam bawah sadarnya pun dia masih memikirkan dirinya.

"Mungkinkah?" gumam Christine perlahan lalu terdiam melihat betapa buruk tampilan Zoey.

Matanya memerah, badannya ikut gemetar. Dia tidak pernah mendengar Nuki mengeluh. Dia selalu menanyakan kabarnya, apakah Zoey sudah makan atau belum, apakah ada hal yang mengganggu pikirannya atau tidak. Nuki selalu memikirkan dirinya, sedangkan dia tidak pernah menyadari apakah Nuki sendiri baik-baik saja atau sedang dalam kesusahan.

Zoey mengepalkan tangannya hingga kuku menandai telapak tangannya.

"Zoey, jangan gini. Tenang—"

"—Gimana aku bisa tenang kalau dia kayak gini, Christine?" pekiknya kalut.

Dia paham dalam kondisi seperti ini, apa pun yang diucapkan tidak akan berefek baik ke Zoey. Dia sedang kalut, pikirannya dipenuhi kekhawatiran dan ketakutan. Christine menggaruk kepalanya lalu menarik jemari Zoey dan menariknya ke dalam dekapannya.

"Zoey, tarik napas dan hembuskan. Nuki masih bernafas. Kamu masih punya kesempatan untuk memperbaiki apa yang kamu anggap kesalahan."

Zoey masih bergeming, air matanya lolos dari sudut matanya.

"Apa pun yang ada di pikiranmu, lepaskan. Itu nggak benar. Kamu tidak gagal jadi seorang kakak. Memang terkadang kita butuh sesuatu untuk buat kita sadar. Jangan hakimi dirimu begitu keras. Bisa ya, Zoey?" lanjut Christine lagi.

Badannya gemetar, dia mulai terisak. Dengan perlahan, Christine menepuk pundak Zoey pelan.

"Zoey, tenang. Dia baik-baik aja," ujar Christine. Dia sudah meminta tim untuk datang dan membawa polisi gadungan tadi. Untuk kesekian kalinya Zoey menyesal sudah membiarkan Nuki terluka.

"Sial! Kenapa harus gini? Tujuan mereka apa?" protes Zoey. Dia segera mencari pria-pria tadi yang berani masuk ke dalam rumahnya.

Christine tersentak melihat Zoey memutar haluan dengan gerakan cepat. "Heh! Zoey mau kemana?" tanya Christine sembari mengejar langkah Zoey. Dia bergerak seperti kesetanan, wajahnya sudah memerah. Tidak biasanya dia semarah ini, pada kondisi apapun dia akan tetap santai.

Dalam kondisi serius, Zoey akan tetap menganggap santai. Jika keadaan santai, dia akan lebih santai. Namun, Zoey akan marah besar jika ada yang mengusik orang yang berharga baginya.

Zoey menarik kerah kemeja dua pria dengan wajah babak belur dan lebam-lebam, ada noda darah di ujung bibirnya. Pria dengan rambut panjang sebahu dan pria dengan kepala botak. Mereka melihat Zoey dengan tatapan mengejek, senyuman menyebalkan yang mengundang amarah Zoey.

"Masih bisa senyum rupanya," gumamnya kesal.

Di sana Aleksander sedang berjaga di depan pintu, dia sudah meringkus dua orang yang menyamar. Mereka jelas berbohong, kartu identitas dengan logo polisi, dia tidak pernah melihat dua orang ini di markas. Mereka salah target!

Aleksander melirik Zoey yang menarik kerah dua orang tadi dengan penuh emosi. Dia mendengkus kesal, cuaca yang panas dan kurang istirahat membuatnya mudah terpancing emosi.

Namun, dia tidak mau mengeluarkan amarahnya, karena dia sedang bekerja dan orang yang marah tadi adalah kenalan Christine. Dia tidak mau kena amuk Christine. Meskipun wanita itu terlihat cuek dan tidak perduli dengan Zoey, tapi dia tahu dia penting baginya.

"Brengsek! Siapa yang nyuruh kalian ke sini? Jawab!" teriak Zoey kesal.

"Hmm? Anda siapa? Apa untungnya saya sampaikan bos saya?"

Zoey membelalakkan mata, tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Brengsek!" pekiknya sambil meninju pipi pria berambut panjang itu.

Christine ada di belakang Zoey, sedang mengatur napasnya. Kepalanya cukup terasa pusing, dia harus meminum obatnya, jika tidak mungkin dia tidak akan bertahan lebih lama lagi. Tingkat saturasi oksigennya semakin menipis saja.

"Zoey, udah," ujar Christine sambil memegang dadanya.

Mendengar ucapan Christine membuat Zoey berhenti meninju pria menyebalkan tadi. Setelah menarik napas dan menghembuskannya, Zoey mendorong mereka ke dinding dengan kasar.

"Bos tidak akan senang. Kita tidak berhasil membawa tuan muda ke bos," bisik pria dengan kepala botak ke arah rekan kerjanya.

Pria dengan rambut panjang ini melirik dengan pandangan tidak suka, "Sst! Diem!"

"Sudahlah. Percuma saja. Kita sudah ketangkap saja sudah buat bos tidak suka. Kita tidak akan selamat. Lebih baik kita bantu saja orang ini," jawabnya.

Golden Silent Killer (TERBIT)Where stories live. Discover now