38

444 51 0
                                    

Cassius terlelap di jerujinya yang dingin. Jeruji itu bahkan tak menyediakan tempat untuk Cassius beristirahat, membuat pria itu harus memeluk lututnya di atas lantai yang dingin.

Namun, Cassius pikir ini adalah tengah malam di hari ketiga Cassius dihukum cambukan. Pagi harinya, Cassius akan diseret menuju alun-alun untuk menghadapi hukuman pemenggalannya. Tempat yang sama dengan tempat kematian Ryle satu bulan yang lalu. Cassius juga telah menerka apabila akan terdapat sorakan kebahagiaan kala pada akhirnya Cassius mati. Sama kala Ryle terpenggal.

Namun, pada saat itulah Cassius mengetahui kebenarannya bahwa Ryle begitu rakus akan takhta untuk melindungi Cassius. Cassius merasa dunianya hancur karena telah menyeret sosok Ryle yang polos menuju neraka, membuat Cassius seakan ditenggelamkan pada rasa bersalah yang terkira. Kini, Cassius akan menghadapi hukuman yang telah menantinya. Cassius tak ingin mengabaikan berapa banyak dosa yang berada dalam jiwanya yang kotor, seakan ribuan iblis pun tak akan mungkin memiliki dosa sebesar dosa yang Cassius miliki. Cassius ingin mempertanggung jawabkannya, Cassius juga tak ingin lagi tersiksa di dalam kubangan derita, Cassius tak ingin merasakan sakit lagi. Jika kematian merupakan hal yang baik untuk mengakhiri sebuah derita, akan Cassius rengkuh sang malaikat kematian dengan erat.

Akan tetapi, hanya Cassius saja yang memiliki pemikiran seperti itu. Kala Nyvene dengan napasnya yang memburu memotong rantai jeruji Cassius dengan pedang berdarah, Cassius kini menyadari betapa menyeramkannya kematian.

Cassius tak ingin mati dengan kehidupannya yang dipenuhi penderitaan. Cassius ingin mati dengan kebahagiaan menyertainya. Gelapnya bayang kematian membuat Cassius ingin lari dari rengkuhan sang akhir kehidupan, Cassius tak ingin terjebak dalam sangkar jiwa yang entah membawanya ke mana, Cassius tak ingin benar-benar menerima kematian.

Kematian merupakan akhir yang mengerikan bagi Cassius. Jika Cassius mati, maka dia menderita seumur hidupnya. Dan Cassius membenci penderitaan.

"Cassius!"

Apa yang Cassius tahu, Nyvene telah memeluk tubuh lemasnya. Tubuh penuh luka Cassius yang membuatnya meringis hanya dengan gerakan kecil, ditenggelamkan pada bekunya rasa nyeri, kini direngkuh oleh sebuah kehangatan yang Cassius pernah lupa bagaimana rasanya.

Kala merasakan pelukan itu, Cassius menangis.

"Cassius, apakah sakit sekali?" tanya Nyvene dengan sorot khawatir dan kesedihan yang kentara dalam kedua manik cokelatnya. Jika menilik dengan saksama, sepasang bola mata itu berkaca-kaca, seakan air mata dapat menitik kapan saja.

Cassius juga berusaha untuk menahan tangisnya dengan menggigit bibirnya, lalu memperhatikan penampilan Nyvene yang tampak kacau.

Nyvene mengenakan pakaian lusuh dan jubah cokelat tipis yang robek dibandingkan pakaian militer mewah yang kerap kali dikenakannya, luka-luka di sekujur tubuhnya telah menunjukkan bahwa Nyvene pula mengalami siksaan yang sama dengan Cassius, tetapi tak terlalu parah hingga Nyvene tidak kesulitan bergerak seperti Cassius. Cassius mendongakkan kepalanya untuk melihat helaian abu-abu Nyvene yang seharusnya lembut telah kusut dan kotor.

Cassius tak mampu menahan tangisnya lagi. Keadaan Nyvene sangat buruk, itu semua karena Cassius menyeret Nyvene ke dalam dendam tak berdasarnya. Cassius begitu berdosa dengan menanggalkan segala kehidupan nyaman Nyvene dan mengubah kehidupannya selayaknya menetap dalam neraka.

"Nyvene, aku—"

Kalimat Cassius terpotong oleh suara bising di luar sana, membuat Cassius mengerutkan dahinya bingung, tetapi Nyvene tampak menegang.

"Sial!" rapal Nyvene, dia lantas berlutut di hadapan tubuh lemas Cassius. "Cassius, dengar aku baik-baik. Kamu harus memilih."

Cassius menatap Nyvene dengan pandangan tanya.

END | Flor de MuertosWhere stories live. Discover now