27

195 46 3
                                    

Semenjak Cassius berhasil menyelesaikan permasalahan mengenai transaksi ilegal, namanya mulai dikenal banyak orang. Ketika pada awalnya orang lain hanya akan bereaksi singkat kala mendengar nama Cassius, kini semua orang akan memujanya bagai dewa.

Di istana putra mahkota, Cassius tenggelam di dalam ribuan dokumen yang bertumpuk di mejanya. Pekerjaan Cassius sebelum diakui banyak orang memang sudah menumpuk, tetapi kala waktu berlalu dan namanya mulai diakui, pekerjaannya semakin menumpuk.

Kini, bahkan Nyvene membantu Cassius menyelesaikan beberapa dokumen supaya tidak terlalu memberatkan beban Cassius.

"Ah."

Nyvene mendongak kala mendengar Cassius menghela napasnya.

"Yang Mulia!" Nyvene seakan terkena serangan jantung kala melihat cairan merah menetes dari lubang hidungp Cassius, mengotori sebagian dokumen yang tengah dikerjakan Cassius.

Nyvene mengeluarkan saputangannya dan membantu Cassius dengan darah yang mengalir. Nyvene menyeka darah dan membersihkan lubang hidungnya secara perlahan setelah membuka laci berisi kapas, kain kasa, dan obat-obatan lainnya, kotak kesehatan yang tidak pernah dikeluarkan dari meja kerja, untuk menyeka darah yang mengucur.

"Tegakkan tubuh Anda, Yang Mulia," kata Nyvene, lalu meminta Cassius untuk menutup lubang hidung Cassius. "Bernapaslah lewat mulut."

Nyvene tampak andal dalam menangani masalah ini, tetapi rupanya Nyvene juga masih sedikit takut kala melihat banyak darah yang mengalir dari lubang hidung Cassius.

"Apakah Anda sedang stres, Yang Mulia?" tanya Nyvene. "Bukankah hal ini tidak baik bagi Anda? Terlebih, trauma hidung Anda. Anda pernah melukai hidung Anda di masa lalu, dan stres hanya menambah beban pada trauma. Apa yang Anda pikirkan saat ini?"

"Bukankah aku hanya memikirkan satu tujuan semenjak dulu?"

Nyvene menghela napasnya. "Apakah karena kasus pembunuhan itu?"

"Memangnya ada apa dengan kasus pembunuhan?"

"Jangan menjawab pertanyaan saya dengan pertanyaan lagi, Yang Mulia. Anda takutp, bukan, mengenai pelakunya? Takut jika pelakunya tertangkap?"

"Tidak." Cassius mengepalkan sebelah tangannya yang bebas dari hidungnya. "Aku tidak takut. Memangnya kenapa kalau pelakunya tertangkap? Sudah jelas, bukan, jika pelakunya tertangkap, itu adalah Ryle."

"Apakah Anda merasa simpati pada Pangeran saat ini?"

"Mana mungkin!"

Nyvene menghela napasnya. "Baiklah, kalau begitu, biarkan saja Pangeran dikenal sebagai pelaku pembunuhan. Tidak hanya itu, Pangeran akan dieliminasi dari jalur takhta, membuat Anda menjadi satu-satunya pemenang, bukan?"

"Aku tahu itu .... Hanya sedikit resah saja."

"Merasa resah itu wajar, Yang Mulia. Hanya saja, Anda sudah memutuskan kala Anda mengunjungi kantor detektif Clairemont untuk mencari pelaku pembunuhan, bukan? Anda sudah memutuskan untuk melepaskan Ryle pada saat itu juga. Karena Anda tahu, Ryle haruslah menjadi pelakunya, maka dari itu Anda meminta bantuan dari Clairemont untuk menggali apakah Ryle benar pelakunya?"

"Dia ...." Cassius menggigit bibirnya. "Aku sangat membenci Ryle pada saat pertama kali kami bertemu. Melihatnya membuatku merasa jijik dan marah, tetapi pada saat itu, kedua mata biru Ryle masih sangat polos. Aku pernah memiliki intensi untuk melindungi kepolosan itu, tetapi itu tidak akan adil bagiku, bukan?"

Nyvene mendengarkan apa yang Cassius utarakan dengan saksama.

"Jika aku melindunginya, sama saja seolah aku mendukungnya untuk merebut takhta dariku. Di mana pada saat itu, takhta adalah satu-satunya tujuanku untuk diakui dan dibanggakan oleh Ibu. Jika Ryle yang mendapat takhta, dia akan bahagia. Sementara itu, aku yang kalah akan tersisih dan terlupakan, seolah aku tidak pernah hadir di dunia ini, seolah kehadiranku tak berarti.

END | Flor de MuertosWhere stories live. Discover now