14

269 67 2
                                    

Kegelapan seakan membutakan pandangan.

Di sekeliling Cassius, hanya ada kegelapan yang menyapu. Rasanya, kegelapan yang pekat seolah-olah tengah mencekik leher Cassius secara perlahan. Tak membiarkan udara memasuki paru-paru, membuat napasnya tercekat.

Namun, di tengah-tengah kegelapan itu, Cassius melihat secercah cahaya yang terasa suci, sewarna perak yang menyerupai putihnya cat kastil, satu-satunya lentera di tengah kegelapan, asa baru dalam larutnya keputusasaan.

Tangan Cassius terulur untuk menyentuh cercah cahaya itu, tiba-tiba merasakan kehangatan membasuh jemarinya yang mungil. Kedua kaki Cassius yang sama mungilnya mulai mengejar sosok dengan helaian rambut perak, berlari dan berlari, hingga napasnya tersendat dan otot-otot mungilnya berkedut.

Kala wanita dengan helai perak itu berbalik, menampilkan lentera sesungguhnya dalam kedua bola mata sewarna emas kemilau, Cassius merasa antusias. Dia tak bisa berhenti meski kedua kakinya terasa letih.

"Ibu!"

Di saat yang sama, suara manis Cassius mengusir kegelapan, mengubah latar tempat menjadi taman istana yang asri. Warna hijau memenuhi visi, kicauan burung terdengar merdu, harum mawar merah di sudut mata terasa memabukkan, pun sengatan matahari di atas sana yang mulai semakin terik.

Wanita cantik yang Cassius panggil mengulas senyuman lebar, lantas menundukkan tubuh dengan kedua tangan terentang, membawa Cassius ke dalam gendongannya.

Cassius bersorak antusias ketika panorama di hadapannya setinggi ibunya, setinggi orang dewasa. Cassius mungil memeluk leher ibunya.

"Cassius-ku yang manis," puji Cassidy dengan senyuman di bibir. "Bagaimana tidurmu, putraku? Apakah nyenyak?"

"Tidur?" Cassius mengerjap. "Ah, aku bermimpi, Ibu."

"Apa mimpimu, Sayang?"

"Aku tidak tahu, tapi orang-orang terus menatapku tajam. Mengatakan bahwa aku bukan putra mahkota yang layak, bahwa aku tidak berhak tinggal di istana." Nada suara Cassius berubah sedih.

Cassidy tersenyum kecil, mengecup dahi putranya. "Abaikan saja, sayangku. Ibu ada di sini untukmu, hanya Ibu yang menyayangimu."

Cassius kecil tersenyum lebar. "Aku juga menyayangi Ibu!"

Baik tawa Cassius kecil dan Cassidy mulai mengalun, tetapi di saat yang bersamaan mulai terdengar samar. Tiba-tiba saja, teriakan seorang pelayan menggema dalam bunga tidurnya.

Cassius mungil merasa tubuhnya membeku kala melihat sosok yang dikasihinya tumbang, diiringi pecahan cangkir teh yang menumpahkan isinya, atau darah yang mengalir deras dari sudut bibir Cassidy.

Cassius merasa takut. Rasa takut berlebih menguasainya, mendominasi, mengerikan rasanya. Tubuh Cassius bergetar hebat. Namun, tangannya terulur, meraih pipi Cassidy. Ditariknya jemari mungil dari pipi wanita itu kala hanya sisa-sisa kehidupan yang dirasakan.

"Ibu?" panggil Cassius. Diguncangkan tubuh si wanita yang telah menutup manik emasnya dengan kasar. "Ibu! Bangunlah! Ibu!"

Apa yang Cassius tahu, dia memanggil ibunya hingga suaranya serak, tidak memedulikan air mata yang mengalir di pipinya, atau betapa peningnya kepala anak itu, Cassius hanya berusaha untuk membangunkan ibunya dari lelapnya.

Panorama kemudian memudar, digantikan oleh orang-orang berbusana hitam. Di sekeliling orang-orang berpakaian hitam, Cassius hanya berdiri termenung di hadapan sebuah peti mati yang dicat putih. Di atasnya, sepucuk bunga anyelir putih, bunga yang menjadi lambang kematian di Kerajaan Embrose, telah bersemayam.

Di balik jemari Cassius pula, sang bunga kematian terbenam dalam cengkeraman erat jari-jarinya, menganiaya sang batang hingga hancur dibuatnya.

Apa yang Cassius rasakan kala itu adalah perasaan kekosongan yang bergema, terdapat pula lubang menganga di dadanya, kemudian benaknya yang perlahan-lahan berantakan. Kepalanya perih dan sakit, begitu pula hatinya.

END | Flor de MuertosWhere stories live. Discover now