Keputusan [Akhir]

79 8 0
                                    

Empat tahun sudah Derana menghukum diri atas perbuatannya dulu. Sejauh itu juga ia sudah merenungkan kesalahannya dulu dan akan terus memperbaiki diri. Kebersamaan dengan teman- temannya dalam menebus kesalahaan mereka bersama-sama berlalu begitu cepat. Menjahit, melukis, merajut, dan bersih-bersih bersama tidak akan Derana lupakan. Mungkin bagi sebagian orang penjara merupakan suatu kenangan buruk. Namun, selalu ada hikmah didalamnya.

Hari ini, mereka semua dinyatakan bebas kecuali Juan. Setelah menandatangi surat perjanjian tidak akan mengulangi hal yang sama mereka pulang bersama orangtua mereka masing-masing.

"Lo lo pada nggak boleh ya lupain gue. Gue gamau tau!" Ucap Riki pada semua orang. Ia sedang berdiri disamping ibunya lantas memeluknya

"Kita tetap sahabatan kan?" tanya Nanda ragu-ragu, melihat satu persatu orang yang berada diruang tunggu sel penjara.

Dari samping Derana merangkul Nanda. "Asal jangan paksa gue buat main-main sama perasaan gue lagi aja."

Nanda nyengir tanpa dosa. Para orangtua yang menyaksikan drama perpisahan anak-anak hanya tersenyum menggeleng, tak habis pikir anak mereka masih saja seperti dulu ketika SMA meskipun nyatanya sudah empat tahun anak-anak mereka harus menjalankan hukumannya.

"Gue bingung habis ini gimana. Gak ada ijazah, gak bisa kerja." Keluh Keyra pada lainnnya.

"Kita masih bisa buka usaha apapun itu. Gak ada ijazah bukan berarti nggak bisa kerja. Gue yakin kita bakal sukses dengan cara masing-masing. Mantan narapidana juga bisa sukses dan jadi pribadi yang lebih baik. Iya nggak guys?" penjelasan Haris membuat seulas senyum bermunculan pada wajah teman-temannya. Mereka seperti mendapat energi baru yang mendorong mereka untuk terus semangat menjalani hidup.

"Gue bakal buka barber shop," sahut Riki sembari bergaya menyapu rambutnya.

"Kalo gue mau usaha fotocopy dan print dekat kampus," ucap Haris, ia menunjuk Satya dengan dagunya.
"Lo mau apa bang Sat?"

Satya tentu saja 'bombastic Sade eyes' dipanggil seperti itu. Namun ia tetap menjawab dengan tenang. "Coffe shop bareng Azka,"

"Gue?" Azka menunjuk dirinya sendiri.

"Nggak mau yaudah,"

"Ehhh—mau lahh!" sahut Azka menepuk Satya yang sedang berdiri bersender ditembok.

"Dih, masa Azka doang yang diajak!" Sindir Riki pada Satya.

"S-s-s—suka-suka-satya." balas Satya tak mau kalah.

"Mungkin gue bakal mendirikan komunitas self love family, merangkul orang-orang yang butuh didengar dan sama-sama cari solusi. Gue merasa gue bertindak terlalu jauh waktu itu. Gue gelap mata, dan bang Langit gue lepasin gitu aja—"

"Gue bunuh orang—gue iblis,jahat, bener-bener jahat, gue harusnya mati bareng bang Langit."

"Sean, gue tau tapi posisi Lo waktu itu diancam Juan, ditambah lo sebenarnya belum terima Jay yang dulu kita cap 'sang pembunuh Luna' jadi saudara tiri lo. Lo juga takut kan, Jay bakal ambil mama Lo waktu itu. Lo emang salah Sean, tapi jangan terus salahin diri lo terus, cukup jadikan pelajaran, oke?" ujar Derana sembari menepuk pelan dan merangkul Sean.

"Bener yang Derana bilang, lo asalnya baik Sean, ya cuma kalo marah kek setan aja—" ucap Riki tanpa dosa mengatakan itu didepan orangnya.
"Jangan baper ngapa! Gue kan bercanda Sean,elahh!"

Sean mengulas senyum tipis, ia sama sekali tidak tersinggung, justru ia sangat bersyukur mempunyai teman-teman seperti mereka.

"Udah dong sedihnya,oiya kalo gue—mungkin salon," ujar Nanda tersenyum lebar.

PENA ASMARA | TAMAT✅Where stories live. Discover now