22

22K 1.1K 16
                                    


"Mau kemana lagi Mbak?" Setelah mengobrol panjang lebar dengan Dian akhirnya Raline memutuskan untuk pulang karena memang sudah sore, suaminya itu tadi berpesan akan pulang sore jadi Raline pikir untuk pulang lebih awal agar bisa mempersiapkan diri siapa tau mereka akan melakukan dinner bareng.

"Pulang aja deh Pak, Mas Argan tadi bilangnya sore udah selesai meeting" jawabnya.

"Coba di chat dulu Mbak, siapa tau gak jadi pulang sore daripada Mbak di hotel gak ada kegiatan. Mending jalan-jalan toh" kalau di pikir-pikir memang benar juga ucapan Pak Agus, tanpa pikir panjang Raline langsung saja menghubungi suaminya itu dan tentu saja tidak dijawab. Lalu dia teringat tentang nomer Rafael yang tadi pagi dia simpan, Raline langsung saja menelpon asisten suaminya itu.

"Ya, halo Bu? Ada apa ya?" Panggilan langsung saja terhubung dipanggilan pertama

"Suami saya, masih ada kegiatan gak ya Raf?" tanyanya langsung to the point

"Eh, itu Bu, iya kayaknya Bapak bisa pulang malam. Ada apa ya Bu?" Rafael disana sampai geleng-geleng kepala, Raline itu istri yang begitu sabar dan pengertian

"Saya cuma tanya aja, soalnya ponsel Mas Argan gak bisa dihubungi. Ya udah kalau begitu terimakasih ya. Assalamualaikum"

"Waalaikumsalam" Raline menghela nafas mematikan sambungan teleponnya, apa-apaan tadi isi kepalanya dinner? oh ayo lah Raline suamimu itu tidak pernah peka!

"Bagaimana Bu?" tanya Agus yang melihat raut kecewa dari wajah Raline.

"Pulang malam Pak, untung saja Bapak inisiatif saya gak jadi sendirian di hotel" ucapnya mencoba tersenyum, menutupi kekecewaannya sendiri.

"Soalnya Mas Argan suka begitu cah ayu, ya udah gak apa sekarang mau kemana lagi? Mau Bapak ajak ke rumah jalanan yang tadi saya ceritain?" Raline jadi kembali antusias mendengarnya.

"Betulan gak apa Pak? Kalau Mas Argan marah gimana?" tanyanya soalnya kan Argan memang benar-benar belum memberitahunya tentang hal ini.

"Gak apa dong Mbak, santai aja kalau marah nanti saya yang akan hadapi. Jadi gimana Mbak mau?"

"Mau Pak! Kalau begitu mampir ke mcd bentar ya Pak mau bagi-bagi sedikit disana" serunya bersemangat.

*****

"Pakde datang heh!"

"Mana?"

"Itu itu, pakde datang!"

"Bawa cah ayu sopo toh?"

"Koyok artis kui"

Dan berbagai teriakan lainnya yang menggema di rumah yang cukup besar ini.

"Heh wes jangan rame-rame, perkenalkan iki istrine Mas Argan, ayu toh?" Pak Agus mendekat memperkenalkan Raline di depan anak-anak yang tampak antusias.

"Ho'o gak kaget nek bojone Mas Argan, wong ayu tenan kok. Pintere golek bojo!"

"Ayu tenan koyok artis!"

"Iku bukanne ancen artis toh?"

"Artis seng ndi?"

suara riuh kembali bermunculan ketika mereka semua berspekulasi sendiri. Saat Agus kembali lagi ke parkiran untuk mengambil bungkusan ayam yang tadi dia beli.

"Halo semua? Kalian kenapa pada gemas-gemas sekali? Kayaknya ada ya yang kenal Mbak? Disini Mbak kan istrinya Mas Argan, yang kalian anggap Mas sendiri jadi anggap Mbak begitu ya. Gak usah sungkan-sungkan. Senang sekali bertemu kalian!" Sapanya cukup canggung, tapi keriuhan tepuk tangan membuat Raline tersenyum hangat.

"Mimpi apa aku semalam dapat Mbak secantik ini?" celetuk seorang gadis berponi yang ada di depannya.

"Bisa aja, kamu sendiri juga cantik banget ini" gadis itu tertawa, mengibaskan rambutnya percaya diri.

"Iya kan Mbak! Aku emang cantik, kata Reno aku jelek huh" adunya menunjuk muka reno yang tampak merah, malu.

"Aku gak bilang gitu Mbak, gak usah gitu dong" bela Reno tak mau kalah, Raline tersenyum menjadi penengah keduanya.

"Udah gak apa, sekarang kita makan yuk udah di siapin pakde tuh makanannya" mereka berseru senang bergegas menuju ruang makan.

"Mbak, Mas Argan kok gak ikut? Aku udah kangen biasanya aku sering main tebak-tebakan sama Mas Argan" gadis perponi tadi masih setia disampingnya, Raline berpikir sepertinya gadis ini yang paling dekat dengan Argan.

"Mas Argannya lagi kerja Sayang, nanti main sama Mbak aja ya? Mbak juga pinter loh main tebak-tebakan" ucapnya membujuk, gadis ini seperti masih berusia sepuluh taun atau bisa lebih muda.

"Beneran? Wah! Yay! Aku mau! Setelah makan kita main ya Kak!" Raline mengangguk membiarkan gadis berponi itu bergabung dengan temannya yang lain untuk segera makan.

****

"Beneran ini kamu turun disini?" Argan tampak tak percaya, meneliti gang sempit yang di tunjuk Vania.

"Iya Mas, itu rumahku masih masuk, gak jauh kok. Biasanya juga begini gak usah khawatir begitu. Terimakasih ya Mas maaf ngerepotin"

Argan masih kikuk, meneliti wajah lelah Vania. "Gak ngerepotin sama sekali, btw ini kartu nama aku. Kalau kamu butuh sesuatu gak usah sungkan hubungi nomer yang ada disitu ya Van"

"Eh gak usah, malah makin ngerepotin. Udah diantar begini aja udah syukur aku Mas. Udah Mas sana pasti asisten kamu udah nunggu terimakasih banyak sekali lagi" wanita itu menggendong anaknya yang sudah terlelap di perjalanan, tampak susah karena tubuh si anak yang terlihat gembul.

"Gak apa tolong terima aja, kamu kayak sama siapa aja. Terima Van, hubungi aku kalau kamu butuh sesuatu" Vania tampak menghela nafas, tak urung menerima kartu nama itu dan segera turun dari mobil diikuti Argan.

"Aku bantu gendong ya? Seperti Vanya berat" Vania langsung menggeleng kuat.

"Gak perlu Mas, kamu udah terlalu baik. Lagian aku biasanya juga begini kok gendong Vania sendiri. Udah sana kamu mau kerja loh"

"Aku bisa atur semua nanti, mana aku yang gendong" ucapnya keras kepala, menggantikan Vania untuk menggendong Vanya yang tampak lelap.

"Ayo gak usah bengong, tunjuk rumah kamu yang mana" lalu mereka berjalan menyusuri gang sempit yang hanya bisa masuk satu montor.

"Terimakasih banyak ya Mas, aku gak tau lagi harus terimakasih sebanyak apa sama kamu" Vania tampak menunduk, sedikit malu dengan keadaannya yang sekarang.

"Gak apa, aku ikhlas bantu kamu. Aku pulang dulu ya?" Vania mengangguk mengantarkan Argan sampai keluar rumah.

Argan menghela nafas, mengingat serangkaian kegiatannya hari ini dan tidak menyesal sama sekali membantu sosok yang pernah sangat berarti baginya. Kalau saja Bundanya tau, sudah pasti Argan akan dimarahi besar-besaran. Tapi Argan tidak perduli, menatap arloji yang melekat di tangannya yang sudah menunjukkan pukul tujuh malam sepertinya Argan hanya butuh tidur untuk saat ini, kepalanya benar-benar pusing. Dia memutuskan untuk menghubungi Rafael dan menunda semua pekerjaan yang sempat terhalang hari ini.

****

Siapa yang greget sama Argan? Ayo omelin lagi sih Argan!

Maaf ya teman-teman Argan memang ngeselin!


Melt Your Heart Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang