33. Masih peduli?

Start from the beginning
                                    

"Iya sih, gak salah lagi." Anin mengangkat bahunya acuh, semenjak percakapan waktu itu Anin merasa canggung sama Daren.

"Hari minggu ini lo ada waktu gak? Kalo ada boleh kali kita ngopi ngopi di cafe, udah lama juga kan gak kumpul," ucap Daren.

"Kita? Siapa aja?"

"Alumni SMP lah, mereka ngadain pertemuan di coffe shop, sekalian ngerayain ultah gue yang ke 20 tahun."

Anin melongo. "Hah? Ultah lo yang ke 20 tahun? Gak salah lo? Tua amat!"

"Buset dah dibilang tua, ya meskipun umur gue tua tapi muka gue tetep baby face kan Nin?"

Anin menahan tawanya. "Gila lo Ren haha, badan segede gaban gini mana ada muka lo baby face! Yang ada muka lo kek om om yang suka nyari janda!"

"Yaudah lah terserah lo." Daren milih mengalah. "Jadi lo bisa ikut gak?"

Anin terdiam sesaat. "Em--- bwolehhh deh, nanti gue datang! Gratis kan?"

"Tenang aja semua gratis! Lo boleh ambil apa aja."

"Oke."

Jarak yang tak lumayan jauh, Erlan melihat Daren bersama Anin sudah beda pandangan. Sekarang Daren menjadi musuhnya, dia terlalu ikut campur dalam urusan rumah tangganya, kelihatan kalo Daren itu bakal merebut Anin darinya.

Tiba tiba saja Anin merasa perutnya sakit, kayaknya mag-nya kambuh lagi. "Ren, tolong bilangin ke temen lo ya! Gue mau izin ke UKS."

"Lo kenapa? Sakit?"

"Ah enggak! Gue cuma pusing dikit doang kok." Anin bohong, beranjak dari duduknya.

"Oh yaudah, kalo ada apa apa bilang sama gue." Anin mengangguk.

Anin melangkahkan kakinya meninggalkan lapangan.

"ANIN AWAS!" teriak Lexa.

Dugh!

Bola voli yang melayang meleset mengenai kepala antara belakang telinga kanan perempuan itu, hantaman terasa sangat keras sampai telinganya merasa berdengung, Anin sangat ceroboh! Dia tidak mengetahui kalo ada bola voli yang menuju ke arahnya.

"Awshhh shit!" Anin menahan rasa sakit yang menjalar.

"Anin sumpah gue gak sengaja Nin." Lexa mendekati Anin dan memint maaf. "Kita ke rumah sakit ya?"

Anin menggeleng pelan. "Hah? Gak usah Sa! Nggak papa."

"Nggak papa gimana? Lo keliatan kesakitan gini, udah ya mending ke rumah sakit aja! Gue takut lo kenapa napa!"

Permainan mendadak berhenti, Mahen, Devan, Faldo, Daren, juga Erlan menghampiri Anin yang terkena cedera.

"Nin! Lo gakpapa?" terpancar kekhawatiran di mata Erlan.

"Gak usah sok peduli lo!" cetus Anin menepis lengan yang berada di pundaknya.

"Biar gue yang bawa lo ke rumah sakit ya?" pinta Erlan.

"Gak! Gue gak mau sama lo Ashhh!" tolak Anin, semakin merasa nyeri.

"Udah! Mending gue aja yang bawa dia ke rumah sakit!" ucap Daren cepat.

°°°°


Kelima pria itu setia menunggu Anin di depan ruangan pemeriksaan, dokter tidak mengizinkan mereka masuk, meskipun lukanya tidak seberapa, tapi ini semua demi kesterilan ruangan.

Erlan berdiri bersandar pada dinding dengan tangan yang dilipat didada, untung saja dia masih bisa mengontrol emosinya di depan Anin, walaupun sebenarnya ingin ngajak gelut Daren yang sok jadi pahlawan kesiangan.

"Lo gak pegel apa Lan berdiri disitu?" ucap Faldo. "Samping si Daren masih kosong tuh!"

Erlan melirik ke samping Daren sekilas lalu membuang muka, keduanya keliatan saling menahan amarah.

Mahen yang paham akan raut muka Erlan dan Daren yang berbeda pun cuma bisa diam, semuanya pasti gak jauh dari masalah kemarin.

Di dalam ruangan Dokter baru saja selesai memeriksa Anin. "Jangan dulu banyak gerak ya, takutnya punggung leher kamu sakit lagi."

Anin mengangguk. "Iya dok, tapi ini gak lama lagi sembuh kan?"

"Buat sembuh bisa aja kalo kamu nya mau istirahat yang cukup." peringat Dokter Nay.

"Tubuh kamu kalo saya perhatiin kayanya banyak banget barcode, kamu baik baik aja kan?"

Barcode yang di maksud dokter Nay pasti lebam lebam yang ada pada tubuhnya, memang akhir akhir ini Anin banyak mengalami masalah sama tubuhnya sendiri. Di wajah, lengan, perut kaki, tapi sayangnya banyak yang belum ngeh sama keadaannya sekarang.

"Iya dok, tapi ini gak seberapa sih, saya masih bisa tahan sakitnya," jawab Anin.

"Saya suka nih sama pasien yang gak ngeluh kaya kamu ini, apapun kondisinya kamu tetep keliatan semangat banget!" kagumnya.

"Bisa aja sih dok." Anin terkekeh.

"Wait!" Dokter Nay menyentuh perut Anin dan menusuknya pelan dengan jari, "HEH! KAMU LAGI HAMIL YA?"

Skakmat! Malah teriak.

"Dok! Jangan teriak teriak! Nanti yang lain pada denger!" tegur Anin khawatir kalo sampe kedengeran sampai keluar.

"Upsh, swory." Dokter Nay menutup mulutnya. "Memangnya mereka gak tau kalo kamu hamil?"

Anin menggeleng. "Saya mohon rahasiain ini ya? Plisss! Jangan sampe mereka tau! Apalagi cowok yang mukanya sangar itu."

"Weh weh, kenapa gitu? Seharusnya di kasih tau dong, siapa tau kan jadi kabar gembira membahana!"

"Ish! Yang jelas saya gak mau kalo sampe ada yang tau dok!" kesalnya, "Tolong dokter jangan bilang siapa siapa ya?"

"Hm-----, yaudah deh, saya bakal tutup mulut! Tapi ini gak gratis."

"Lah?"

Dokter Nay berbisik ke telinganya. "Beliin saya PC nya Mark ya?"

Anin memutar bola matanya malas. "Iya iya, nanti saya beliin dok! Saya juga sekalian mau beli PC nya Jaemin nih."

"Wuih! Good good! Kalo gitu kita tukeran nomor WA dulu gak sih?"

"Boleh boleh." Anin mengeluarkan handphonenya. "Habis ini palingan jadi penonton story."

Pintu ruangan terbuka, kelima pria itu masuk ke dalam membuat Anin dan Dokter Nay langsung menormalkan raut wajahnya seolah mereka tidak ada hubungan dekat kayak bestie.

"Gimana dok? Cewek gue perlu di rawat gak?" tanya Erlan menekan kata bagian cewek gue, melirik Daren.

"Oh itu, tidak perlu mas, sekarang juga sudah boleh pulang," balas Dokter Nay tak lupa dengan nada formal.

"Oh ini yang mukanya sangar itu, ganteng juga." Dokter Nay membatin.

Erlan mengangguk ngangguk. "Ada luka yang serius?"

"Tidak ada juga mas, semuanya normal normal saja."

Sementara Anin menatap jengah suaminya sendiri. "Sok perhatian banget lo!"

Faldo melirik Anin dan Erlan secara bergantian, "Bau bau nya bakal ada perang dunia terakhir nih."

"Udah yakin gue mah pasti masalahnya di bawa ke pengadilan agama," sahut Devan menambahi.

ERLANGGA | ENDWhere stories live. Discover now