next life

639 91 15
                                    

Kini mereka sudah ada di danau yang pernah mereka kunjungi sekitar 2 tahun yang lalu dan kali ini mereka berniat camping disini. Tapi mereka sekarang tak seperti dulu yang bahagia dengan suasana disana. Jeno tengah mendirikan tenda sendiri, sedangkan Yeji duduk termenung di papan kayu yang menghadap ke danau.

Yeji masih marah dan mengacuhkan Jeno gara-gara masalah di panti asuhan tadi. Gadis itu memilih duduk di pinggiran danau daripada membantu Jeno mendirikan tenda.

Jeno sendiri juga tak langsung menghampiri Yeji dan membiarkan istrinya itu untuk menenangkan diri sejenak. Ia tak mau jika ia langsung menghampiri dan berbicara dengannya malah memperparah keadaan, Yeji akan lebih marah nantinya.

Setelah mendirikan tenda yang ternyata tak sesusah yang ia pikirkan, Jeno kembali menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari tempat ia mendirikan tenda tadi. Ia membawa kebutuhan lainnya untuk berkemah nantinya, seperti sleeping bag, kursi lipat, alat memasak, dan lain sebagainya.

Jeno telah selesai mempersiapkan camping mereka seorang diri. Dia menatap Yeji yang tampak memunggunginya sambil duduk termenung menatap lurus ke arah danau. Yeji sendiri sedari tadi tak menengok ke arahnya sama sekali. Dengan helaan nafas, Jeno menghampirinya. Ia berjalan ke arah Yeji dan duduk di sampingnya.

"Masih marah?" tanya Jeno menatap istrinya. Yang ditatap pun tak bergeming dengan mata yang masih lurus menatap tenangnya danau.

"Bukannya aku tidak mencintaimu, aku hanya ingin kau mengerti keadaan kita sekarang. Suatu saat, atau.. andai di kehidupan yang berbeda, aku akan setuju dengan pilihanmu. Tapi tidak dengan sekarang. Aku tidak ingin ada hal yang buruk terjadi pada kita atau dia nantinya."

Jeno ikut menatap lurus ke arah danau. Ia berharap dengan penjelasannya ia tadi Yeji mengerti.

"Aku suka menolong, aku suka anak kecil, tapi pekerjaan yang berat ini seperti menghambatku, ehm, tak semuanya juga menghambatku sebenarnya, tapi jika dikaitkan dengan hal ini, jujur, aku belum siap, Yeji. Aku belum ada persiapan, aku belum belajar untuk menjadi ayah yang baik nantinya."

Lambat laun, kepala Yeji menunduk, isakan yang tertahan bisa Jeno dengar. Bulir-bulir air tiba-tiba menetes mengenai celana biru langit yang gadis itu kenakan. "Maaf," lirihnya.

Rasa kasihan muncul pada diri Jeno, ia mengusap bahu istrinya itu. "Kau tak perlu minta maaf, tidak ada yang salah. Aku tahu keinginanmu ini."

Yeji semakin terisak dan rasanya sangat berat sekali menangis seperti ini. Dadanya sesak untuk mengeluarkan air matanya. Dan itu membuat Jeno seketika panik.

"T-tapi, jika kau benar-benar siap dengan pilihanmu, aku akan menerimanya, aku akan belajar perlahan nanti—"

"Tidak, hiks." Yeji menggelengkan kepalanya. "A-aku juga tak memiliki persiapan apapun, aku juga belum belajar menjadi ibu yang baik," ucapnya yang kini berani menatap Jeno. Matanya memerah, matanya berkaca-kaca, pipinya juga ikut basah terkena air matanya.

"Aku terlalu emosional sehingga tak memikirkan apa yang harus dilakukan kedepannya, hiks. Aku terlalu gegabah dengan pilihanku, karena aku kasihan dengan mereka."

"Aku tahu itu. Wajar kau seperti itu, nalurimu ini sudah termasuk bagian belajar menjadi ibu yang baik," kata Jeno mencolek hidung mancung istrinya itu kemudian tersenyum hingga matanya ikut tersenyum. "Ayo, di kehidupan selanjutnya jadilah ibu yang baik untuk anak-anakku nanti."

Dengan mata yang masih berkaca-kaca Yeji bisa tahu perkataan Jeno yang sangat tulus dan membuat pipinya yang masih basah sedikit merona. "Aku tahu kau benar-benar mencintaiku, Lee Jeno."

Yeji menempelkan bibirnya tepat di bibir Jeno, matanya memejam membiarkan perasaan di dalam hatinya menggebu-gebu.

Jeno sendiri terkejut dengan itu. Yeji jarang sekali menciumnya terlebih dahulu, apalagi di bibir, mungkin ini kedua kalinya Yeji menciumnya terlebih dahulu di bibir.

WE GOT MARRIED || YEJENOWhere stories live. Discover now