first day of holiday

524 90 4
                                    

Di keesokan harinya, subuh-subuh jam 5 Jeno dan Yeji sudah dengan tas ransel di punggung mereka masing-masing. Mereka berencana akan mendaki bukit hari ini. Sebenarnya Yeji ingin mendaki gunung tapi cuaca di bulan ini labil seperti anak gadis, Jeno menyarankan untuk mendaki bukit saja. Dan mau tak mau Yeji harus menerimanya daripada mendapat resiko lebih berat.

Mereka menuju daerah perbukitan menggunakan mobil. Jaraknya tak jauh, mungkin memakan waktu hanya 15 menit saja untuk perjalanan.

Sesampainya disana, matahari masih malu-malu menunjukkan dirinya.

Mereka menuju loket agar bisa masuk area dan mulai mendaki. Setelah mendapat 2 tiket, akhirnya mereka masuk ke dalam area pendaki.

Yeji sangat tidak sabar untuk mendaki. Saat dirinya mulai berjalan Jeno menghentikannya.

"Peregangan dulu, agar nanti tidak nyeri setelah mendaki," ucapnya.

Yeji merotasi matanya keatas. Dia mengikuti gerakan peregangan dari Jeno dengan malas. Masa hanya mendaki perlu peregangan juga.

Setelah selesai melakukan peregangan sebentar akhirnya mereka mulai berjalan mendaki bukit.

Bukit dan gunung berbeda. Biasanya gunung memiliki tanjakan yang cukup curam sedangkan bukit tidak terlalu, dan biasanya juga gunung lebih tinggi daripada bukit.

Mendaki bukit tak secapek mendaki gunung. Mereka berdua sangat santai berjalan mendakinya.

Masih awal, belum capek-capeknya.

Mereka juga dengan sopan menyapa pendaki lain.

"Ini pertama kalinya kamu mendaki?" tanya Yeji.

"Iya, mungkin," balas Jeno.

"Sama dong kalau begitu!"

"Dulu saat masih remaja kakakku selalu berkata bahwa dia akan mengajakku untuk ke puncak, tapi sampai sekarang belum terwujud."

"Pernah kakakku bertanya pada ayahku apa boleh mendaki gunung berdua saja dengan aku, kata ayah tidak boleh, mungkin itu sebabnya sampai sekarang kita belum ke puncak sama sekali."

Jeno mendengarkan semuanya setelah mendengar Yeji bercerita, "aku dari dulu memang ingin mendaki gunung atau bukit, terus nanti di puncak turunnya menggunakan parasut."

"Nanti kita naik paralayang begitu?" tanya Yeji.

"Iya, aku ingin mencobanya."

Selama mendaki mereka terus mengobrol hingga sampai di tengah-tengah perjalanan mereka berhenti di salah satu pos untuk membuka bekal yang dibawakan ibu Yeji. Beliau rela bangun pagi-pagi hanya untuk membuat bekal untuk kedua anaknya itu. Sungguh ibu perhatian.

Selesai dengan bekal, mereka melanjutkan perjalanan menuju puncak bukit.

Yang seharusnya mendapat energi setelah makan dan semakin semangat mendaki, tapi malah melambat dan mereka terlihat malas berjalan. Apakah mereka kekenyangan?

Karena mereka yang berjalan gontai membuat perjalanan masih jauh.

"Aku malas berjalan lagi..."

"Begitu saja ingin mendaki gunung, mendaki bukit saja sudah banyak mengeluh."

"Ayo," lanjut Jeno sambil memegang pundak Yeji.

"Istirahat dulu..."

"Tidak ada, sebentar lagi sampai."

"Eh–eh!!"

Karena tak sabar Jeno mengangkat tudung jaket yang Yeji pakai seperti mengangkat anak kucing.

WE GOT MARRIED || YEJENOWhere stories live. Discover now