Chapter 23: A Trail Of Death In A Deserted Hallway

4.9K 165 3
                                    

By: RIFFKY



Di lorong gelap, sepi dan dingin, tubuh kaku menelungkup itu menyeruakkan bau amis darah yang mengalir dari pangkal lehernya. Luka terkuak lebar hingga hampir memisahkan kepala dengan tubuh. Cairan kental berwarna merah tergenang di sekitarnya. Burung gagak hitam, memandang awas dari puncak pohon meranggas di luar lorong. Menjeritkan kicau parau mengabarkan kematian.

-

Musim hujan makin menggila di akhir tahun begini. Bisa-bisa hujan turun seharian penuh tanpa jeda. Berdiam di rumah adalah pilihan yang tepat untuk menghabiskan hari. Namun tidak bagiku, tepatnya tidak mungkin bagiku. Sebagai wartawan lepas untuk sebuah media massa on line, keluar rumah merupakan pilihan satu-satunya untuk mendapatkan berita terbaru dan terhangat langsung dari tempat kejadian. Semua bisa jadi berita bagiku sebab tidak ada berita, artinya tidak ada makanan.


Hujan yang turun sejak malam tadi mengakibatkan pagi ini menjadi dingin sekali. Sulit untuk menyentuh air tanpa merinding, cuci muka keputusan terbaik dari pada tidak sama sekali. Secangkir teh yang kubuat sebelum membasuh wajah di kamar mandi, masih mengepulkan asapnya. Cepat-cepat kusesap hingga rasa panas memeluk dada. Wuaahh, hangat sekali. Kutuntaskan teh pagiku dengan jantan, lalu cekatan tanganku menggamit jas hujan di atas rak. Mengenakannya dan membuka pintu rumah petak yang kusewa dari setahun yang lalu ini.


Saat pintu membuka, angin hujan menebas wajahku. Tak mau kalah, tubuhku pun lalu menghentak keluar menebas hujan berirama teratur ini, sebuah tanda bahwa hujan ini akan berlangsung lama. Jas hujan menutupi tubuh dan ranselku yang menggunung di punggung. Aku mungkin tampak seperti alien dari galaksi gulaguli. Bulir-bulir air hujan sudah sukses menggerayangi seluruh permukaan jas hujan milikku.


Mega, seorang kolegaku yang cantik jelita subuh tadi menelponku, kupikir ia ingin menyatakan cintanya padaku, karena malam itu aku baru saja bermimpi tentangnya, namun angan picisanku itu segera dipagut suaranya yang meninggi dan penuh antusias mengabarkan ada mayat pria ditemukan berdarah-darah di lorong yang menembus perut bukit, bekas rel kereta api jaman Belanda di sudut kota. Tempat itu sudah mati sejak lama, jarang dilalui orang-orang. Pengunjungnya hanyalah segelintir anak muda yang mencari tempat untuk menghisap s*bu-s*bu atau mabuk-mabukan. Sangat cocok untuk membuang mayat atau bahkan melakukan pembunuhan tanpa diketahui orang lain.


Aku sudah melihat Mega dari jauh, dia berdiri berbalut mantel hitam dan bernaung payung lebar merah marun. Matanya yang sendu dan penuh binar indah segera mendapati aku yang sedang tergopoh ke arahnya.


"Kau terlambat lagi, Amor...," aku suka sekali dan sungguh bersyukur orangtuaku memberikan nama Amorgio Dunand, sehingga Mega bisa dengan leluasa memanggilku Amor yang berarti 'cinta' sepuasnya tanpa harus merasa malu. Dan juga, oke..., sayang sekali, tanpa harus merasakan cinta itu sendiri.


"Maaf, hujan menyenyakkan tidurku hingga berpuluh kali lipat!"


"Kebakaran keliling rumahmu pun tak akan mampu membangunkanmu, dasar tukang tidur. Ayo ke lokasi! Jalan saja lebih baik, hujan begini angkutan umum jarang lewat."


Sepatu-sepatu kami berkecipak memijak genangan air hujan di sepanjang jalan. Benar, sudah hampir sampai di lokasi begini, belum ada satu pun angkutan umum yang berlalu. Prediksi yang hebat dari Mega. Di lokasi, sudah ada mobil polisi dan ambulan. Aku segera berlari sambil membuka separuh jas hujanku dan membiarkan separuhnya lagi menggantung di sebelah tubuhku. Aku meminta Mega menutupi tasku yang berisi kameraku agar tak kena hujan. Sambil berlari aku berhasil mengeluarkan kameraku, lalu bergegas mendekati lokasi kejadian. Mega ikut berlari memayungiku dari belakang.

Creepypasta (horror)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang