Bab 58 Malaikat Kecil

537 35 2
                                    

Ketukan pintu mengejutkan mereka berdua di dalam. Pelayan itu mengabarkan ada keempat pemuda yang datang untuk menemui mereka berdua. Mereka pun bergegas turun menuju pintu utama melihat siapa orang yang mencarinya.

“Yooo sohib kita.” Sapa Theo.

“Kita kangen kumpul-kumpul bareng. Ya gak? Mumpung lagi cuti nih.” kata Han.

“Hai.” Anisha tersenyum ramah.

“Eh Anisha, sehat?” tanya Ali.

“Alhamdulillah sehat.” Jawabnya.

Mereka semua pergi menuju taman belakang. Di sana mereka bercerita tentang kenangan dulu saat Adgares masih kompak tidak terpecah. Mereka juga mengenang sahabat-sahabat mereka yang telah pergi lebih dulu.

“Tinggal kita yang tersisa personil Adgares. Bisa-bisanya kalian meninggalkan kita duluan, hadeeeh...” Geri membuang napas kasarnya.

“Kalo misal kita ikut mereka waktu itu, mungkin sekarang kita bernasib sama.” kata Theo diangguki mereka.

Lama sekali mereka mengobrol dan bernyanyi bersama, hingga seoran pelayan datang menyampaikan bahwa Anisha memanggil dirinya.

“Bentar, ya, aku tinggal dulu.”

“Kalem Fan fokus aja sama Anisha.” Sahut Ali.

Entah kenapa perasaan tak enak muncul dihatinya. Dengan cepat ia menaiki anak tangga menuju kamarnya. Ketika pintu dibuka alangkah terkejutnya ia mendapati Anisha yang duduk di lantai dengan cairan bening menyelimuti kakinya.

“Astaghfirullahalazim sayang kamu kenapa?” Delfano menghampiri Anisha dan menggenggam tangannya.

“Fan. Sepertinya aku... Akhh sakit!” Anisha terus memegangi perutnya.

Apa jangan-jangan dia mau melahirkan? Apa pun itu aku harus bergerak cepat

Delfano mengangkat tubuh Anisha kemudian membawanya menuju mobilnya. Orang tua dan adik-adiknya yang melihat itu dibuat bingung karena tampak wajah panik Delfano.

“Kakak mau ke mana buru-buru?” teriak Kayla mengikuti kakaknya.

“RUMAH SAKITTT!”

Sontak mereka bersiap-siap untuk menyusul Delfano ke rumah sakit. Para pelayan yang mendengar nya dibuat heboh akan adanya kehadiran tuan muda baru.

“Cepat bereskan dan bersihkan semuanya. Buat rumah ini menjadi steril! Rapikan kembali kamar untuk tuan muda kita! Ayo cepat ayo!” teriak kepala pelayan mengomando.

“Akhirnya ya tuan muda baru akan lahir. Gak sabar aku lihat lucunya tuan muda kita.” ucap salah satu pelayan.

“Iya benar. Tugas kita semakin bertambah dong tapi gak apa-apa.” balas temannya.

Di luar rumah Delfano berpapasan dengan teman-temannya yang akan pulang. Setelah menjelaskan dengan singkat, keempat temannya itu ikut mengawal perginya mobil Delfano.

“Sayang kamu yang kuat, ya.” Tampak jelas wajah panik Delfano.

“Hei, jangan panik gitu. Tenangkan dirimu, Fan.”

“Bagaimana aku bisa tenang melihatmu mengerang kesakitan yang justru membuatku panik.” Balasnya.

Anisha tertawa kecil mendengarnya kemudian meraih kedua pipi Delfano seraya berkata, “Tetap di sampingku, ya. Ku mohon...”

“Aku tidak akan pergi jauh darimu, Anisha.” jawabnya.

Seketika Kontraksi itu terasa kembali membuatnya menggenggam erat tangan Delfano sambil terus beristighfar.

“Fan... Tolong kabari orang tuaku dan Elisa. Aku ingin mereka hadir di sana.” Pintanya.

“Baiklah.”

Atas permintaa istrinya itu, Delfano langsung mengabari kondisi Anisha pada orang tua Anisha dan sahabat nya. Jelas rasa syok dicampur bahagia teraduk menjadi satu. Bunda Aida dan suaminya pun bergegas menyiapkan barang dan langsung pergi ke rumah sakit yang dituju anaknya.


***


Notifikasi pesan masuk ke ponsel laki-laki bersorban putih itu.

“Anisha mau melahirkan.” Pesan singkat yang di kirim Delfano pada Fathan.

“MashaAllah alhamdulillah ya Allah, aku harus kabari Umi dan Abi.” ucap Fathan.

Begitu pun dengan Elisa yang langsung tancap gas mendapat kabar sahabatnya masuk rumah sakit.

***

Cukup lama mereka di jalan karena terjebak macet dan baru bisa sampai di rumah sakit tepat pukul 22.00 WIB.

“Bu Fiona, bagaimana keadaan Anisha? Di mana dia?” tanya Bunda khawatir.

“Tenang, Bu. Anisha sedang di ruang observasi ditemani Fano.” jawab Mamah Fiona.

“Huh astaga capek banget gue lari-lari. Eh lo pada di sini juga? Gimana sahabat gue hah?” Elisa yang baru tiba langsung mendekat ke arah mereka.

“Ada di dalem udah tenang aja.” Balas Theo.

***


Di dalam ruangan, Anisha terus menggenggam erat tangan kiri Delfano dan berusaha untuk tetap sadar.

Aku tidak mengerti tiba-tiba banyak sekali alat medis terpasang padaku. Apa sebenarnya semua ini? Ah aku tidak peduli, aku hanya ingin cepat berakhir dan bisa melahirkan anakku

“Tolong jangan mengejan dulu, ya, bu. Nanti ikut arahan saya.” Pesan dokter itu.

“Iya, dokter.”

Melihat Anish yang kesakitan, lelaki itu mendekat mengelus-elus kepala Anisha.

Ya Allah lancarkanlah proses persalinannya. Ku mohon selamatkan bayi dan Ibunya, aku ingin melihat mereka bahagia

Beberapa jam kemudian. Keluarga Fathan baru tiba di rumah sakit tersebut. Baru saja akan menyusul ke ruang observasi, mereka berpapasan dengan keluarga Anisha tampak terburu-buru.

“Aida, kalian mau ke mana? Di mana Anisha?” tanya Umi menghentikan adiknya.

“Kak, Nisha dibawa ke ruang persalinan.” jawab Bunda.

Mereka pun menyusul menuju ruangan tersebut dan menunggu di depannya. Rasa cemas, takut, bahagia bercampur menjadi satu. Hanya bisa membantu dengan doa berharap keduanya selamat dan bayinya sehat.

“Ya Tuhan, tolong bantu sahabatku. Semoga persalinannya lancar. Eh kalian berempat mau ke mana?” Elisa bingung keempat teman Delfano melangkah pergi.

“Ngikut Fathan ke mushola, lo mau ikut?” Ali mengajak.

“Gak lah.” Jawab Elisa.

“Lah dia kan non muslim emang boleh masuk mushola?” Bisik Han.

“Emang gak boleh?” Ali balik bertanya.

“Kalau pun boleh mau ngapain coba?” balas Han.

“Heh nih bocah berdua, mau ikut kagak gua tinggal lu.” kata Theo setengah kesal.

***


Semua orang terdekat Anisha ikut mendoakannya terutama Farel yang kini sedang ada di luar negeri.

Ya Allah berikanlah keselamatan pada adik hamba dan bayinya...

Bersama keluarga kecilnya, mereka memanjatkan doa pada Sang Pencipta.

***


Sedangkan di sisi lain, Anisha yang sedang menjalani proses persalinan itu merasakan sakit yang teramat menjalar di tubuhnya. Ia sudah tidak bisa menggambarkan seperti apa rasa sakitnya.

Aku tidak bisa berpikir jernih, entahlah aku tidak bisa berpikir apa-apa yang ku harapkan sekarang ini cepat selesai. Ya Allah... Aku harus bertahan!

“Ayo bu atur napasnya,” tutur dokter.

“Fan...”

“Aku ada di sampingmu sayang.” ucap Delfano mengelus kepala Anisha. Seketika cengkeraman tangan itu semakin kuat.

Aku tidak bisa melihat ini, dia begitu kesakitan. Tidak, Anisha itu kuat dia pasti bisa melewatinya. Ya Allah berikanlah kekuatan pada Anisha

Usahanya dan doa dari keluarga benar-benar membuahkan hasil. Selang setengah jam saat laki-laki itu memejamkan matanya, ia mendengar suara tangisan bayi di dekatnya. Tangisan itu berdengung di telinga Delfano membuat hati kecilnya lega.

“Alhamdulillah bayinya laki-laki sehat tanpa ada kekurangan satu pun.” ucap dokter itu.

“Alhamdulillah ya Allah. Sayang kamu ... Terima kasih, ya.” ucap Delfano mendekatkan wajahnya ke arah gadis itu.

“Fa ... No....” Panggil nya lirih.

“Iya kenapa sayang? Hm?” Sahutnya.

Masih dalam keadaan lelah, seketika genggaman yang semula erat mencengkeram nya perlahan lemas. Matanya mendadak terpejam dengan napas yang tersengal-sengal. Jelas hal itu membuat Delfano panik melihatnya.

“Sayang? Hei, Anisha are you okey? Jawab aku sayang...” Tak terasa bulir air mata menetes ke pipinya.

Tidak ada jawaba apa pun dari Anisha. Tetiba tangannya gemetar, jantungnya berdetak kencang entahlah pikirannya sudah melayang ke mana-mana.

Dalam Dekapan Luka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang