Bab 23 Penyesalan Delfano 2

641 47 2
                                    

Langit semakin gelap dan udara semakin dingin. Delfano bergegas pulang setelah mendengarkan ceramah di masjid. Sepanjang perjalanan hatinya benar-benar gelisah tak karuan, ia masih teringat perkataan ustadz di masjid tadi.

“Kenapa baru sekarang? Setelah 2 bulan sejak kejadian itu aku baru menyesalinya? Kenapa aku baru sadar sudah merusak dia?”

Setelah mendengar ceramah itu, rasa penyesalan yang teramat dirasakannya. Ia bahkan masih mengingat ayat Al-Quran yang bacakan oleh ustaz itu. Ustaz itu menjelaskan...

“Di dalam Islam Perempuan itu sangat dimuliakan dan dijaga martabat serta kehormatannya. Islam mengharamkan semua bentuk kekerasan, penindasan dan kejahatan seksual. Sudah diterangkan dalam Al-Qur’an surat An-Nur ayat 33.”

...وَلَا تُكْرِهُوْا فَتَيٰتِكُمْ عَلَى الْبِغَاۤءِ اِنْ اَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِّتَبْتَغُوْا عَرَضَ الْحَيٰوةِ
الدُّنْيَا ۗوَمَنْ يُّكْرِهْهُّنَّ فَاِنَّ اللّٰهَ مِنْۢ بَعْدِ اِكْرَاهِهِنَّ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

“… Dan janganlah kamu paksa hamba sahaya perempuanmu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan kehidupan duniawi. Barangsiapa memaksa mereka, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang (kepada mereka) setelah mereka dipaksa.”

Bukan hanya itu, ia juga masih mengingat betul sanksi bagi pelakunya di mana ada yang dicambuk berpuluh-puluh kali dan ada juga yang dirajam sampai mati. Selain di penjara pelakunya juga harus membayar denda yang nominalnya luar biasa.

“Aku benar-benar berbuat salah. Kenapa waktu itu aku harus mabuk sih? Aku benar-benar dibutakan oleh nafsu, padahal busana yang dikenakan Anisha waktu itu sangat tertutup. Aku benar-benar gila sudah merusak kehormatannya, bagaimana aku membayar semua ini? ucapnya dalam hati.

“Apakah aku masih bisa bertobat?”

Pertanyaan itu terus muncul di benaknya ketika mengingat kesalahannya waktu itu.

***


Plak!

Tamparan itu berhasil menyadarkan lamunannya.

“Ke mana saja kamu hah? Jam segini baru pulang. Bukannya les piano malah pergi keluyuran!” Jelas Ayahnya marah karena saat itu jam sudah lewat tengah malam.

“Maaf, Pah. Tadi habis dengerin–”

Belum sempat ia menjawab, Ayahnya sudah mendahuluinya.

“Pergi tidur! Tidak usah banyak alasan lagi, kamu sudah banyak membuat papah malu karena kelakuanmu.”

Delfano tak ambil pusing dan segera masuk ke kamarnya.

“Bila sampai publik tau bahwa putraku sudah melecehkan seorang gadis, citra Arsyanendra akan buruk atau bahkan hancur. Aku harus bertindak.” ucap Pak Edric menatap putranya pergi.

Di dalam kamar yang sunyi hanya diterangi lampu tidur, lelaki itu termenung mengingat kejadian waktu itu.

Aku sungguh bodoh. Dengan entengnya aku mengajaknya menikah hanya karena harus bertanggung jawab? Aku bahkan bukan laki-laki yang baik, sholeh dan paham agama. Salat dan ngaji saja jarang, bagaimana bisa aku menjadi imam baginya?

Sejak kecil pendidikan tentang agama tidak begitu banyak ia dapatkan. Ia hanya difokuskan pada matematis dan yang berbau bisnis perusahaan karena untuk melanjutkan usaha keluarganya.

“Ah udahlah lebih baik aku tidur.” ucapnya berbaring di tempat tidur kemudian terpejam.

Malam itu udara memang cukup dingin sampai menusuk kulitnya. Lelaki itu tersadar mendapati dirinya berada di tempat yang begitu gelap. Tiba-tiba sebuah lampu menyala di ujung jalan, samar-samar ia melihat sosok gadis berjalan mendekat.

Dalam Dekapan Luka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang