Bab 6 Tertangkap Olehnya ✨️

991 74 5
                                    

"Tidak. Aku hanya ingin menjelaskan yang sebenarnya. Aku tidak mau terlibat dengan pesantren Nurul Iman." Ucap Delfano.


***


Pecahan piring itu berserakan di lantai. Anisha yang tersadar segera memungutinya. "Duh kenapa tiba-tiba bayangan laki-laki itu muncul lagi?"

"Eh sayang kenapa bisa jatuh? Kamu gak apa-apa, kan? Sudah biar Bunda saja yang membereskan." ucap Bunda khawatir.

"Tidak apa-apa, Bunda. Tadi tanganku hanya licin." jawabnya tersenyum.

Wanita tua itu menghela napasnya, "Sayang... Kamu istirahat saja, ya? Bunda perhatikan kamu kayak lesu gitu, kamu sakit?"

"Cuma gak enak badan, Bunda." jawabnya lalu menuruti ucapan Bundanya untuk istirahat.

Ketika tengah istirahat Elisa meneleponnya dan mengajaknya untuk mengerjakan tugas kampus bersama di kafe.

"Aku tanya Bunda dulu, ya?" ucapnya.

"Siap, aku tunggu." Balas Elisa lewat ponselnya.

"Ke kafe? Sama siapa sayang?" tanya Bunda sibuk mencuci piring.

"Sama Elisa. Boleh, Bun?"

"Oh Elisa... Boleh, kok. Hati-hati, ya." Jawabnya.

Setelah mendapatkan izin ia pun pergi ke luar rumah yang ternyata Elisa sudah standby di sana.

"Wih cantik banget kamu pakai kerudung hitam sama gamis biru tua." Pujinya.

"Alhamdulillah, Terima kasih."

"Aku jadi mau pakai kerudung kayak kamu." ucap Elisa.

"Pakai saja kalau kamu mau." Anisha langsung menjawabnya.

"Memangnya non muslim boleh pakai kerudung?"


Anisha tersenyum mendengarnya, "Mau dia non muslim tidak ada larangan untuk berkerudung. Kalau kamu mau pakai saja, siapa tau kamu dapat hidayah."

"Ah bisa aja kamu. Makasih, ya, kamu sudah mau sahabatan denganku, padahal kepercayaan kita berbeda." kata Elisa.

"Berbeda keyakinan tidak berpengaruh pada persahabatan. Di agama ku mengajarkan untuk toleransi, menerima dan menghormati pada setiap perbedaan tapi tidak pada penyimpangan." jelas Anisha.

Mereka pun segera berangkat ke tempat yang sudah dituju. Sesampainya di sana, Elisa memesan minuman, cappucino dan americano untuk menemaninya mengerjakan tugas.

"Nis, katanya ada yang mengikutimu? Siapa? Sampai-sampai kamu harus tinggal di rumah bukan di pesantren." Elisa memulai obrolan.


Anisha terdiam sejenak lalu menjawabnya, "Iya. Entahlah apa mau orang itu, tapi aku-" ucapannya berhenti.

"Tapi aku... Apa? Apa Nis? Kok berhenti?" Elisa heran.

"Hampir saja aku mengatakan kejadian waktu itu. Aku harus menyembunyikannya." Batin Anisha.

Gadis itu menggeleng dan mengalihkan pembicaraannya. Jelas hal itu membuat Elisa curiga karena dia tau sikap Anisha sejak pertama kali bertemu.

"Ada yang disembunyikan Anisha dariku. Tapi apa?" batin Elisa.

"Kamu baik-baik saja, kan, Nisha?" tanya Elisa meminum kopi americanonya.

"Yes, aku baik." Anisha tersenyum.

Ketika sibuk dengan tugasnya, tiba-tiba ia mendengar suara yang sama sekali tidak ingin di dengarnya. Siapa itu? Oh ya tentu siapa lagi kalau bukan Delfano.

"Makasih Fan traktirannya."

"Iya baik bener." ucap teman-temannya.

Saat lelaki itu berjalan melewati mejanya mata mereka tak sengaja bertemu dan bertatap.

"Astaghfirullahalazim, itu benar dia." Anisha langsung menunduk.

Untungnya tak terjadi apa-apa dan kini laki-laki itu sudah pegi keluar kafe bersama teman-temannya. Nisha bernapas lega melihat itu.

"Kalian kenal siapa gadis itu?" tanya Delfano menunjuk.

"Yang mana?" temannya bingung mencari orang yang dimaksud.

"Gadis berkerudung hitam dan baju biru tua." Delfano memperjelas.

"Oh itu, dia Anisha yang dulu juara MTQ antar kampus." Jawab Theo.

"Jelas menang toh dia anak pesantren." Lion menyambung.

Mendengar jawaban temannya Delfano hanya mengangguk lalu membatin, "Jadi benar gadis yang aku temui waktu itu adalah Anisha. Di sini terlalu ramai untuk mengajaknya bicara.


***


Hari pun mulai sore dan mereka sudah selesai dengan tugasnya. Diantarkannya Anisha pulang lalu Elisa pun pamit pulang ke rumahnya.

"Sayang kamu yakin mau kembali ke pesantren? Kalau masih kurang sehat, lebih baik tinggal sedikit lama lagi di rumah." ucap Bunda dengan wajah gelisah.

"Nisha baik-baik saja. Besok Nisha mau ke pesantren." Balasnya.


***


Di sebuah ruangan luas dengan pernak-pernik mewah tampak seorang laki-laki duduk di kursi tempat kerjanya. Ia membaca dengan teliti biodata orang yang di carinya.

"Jadi gadis itu anak terakhir dari keluarga Misha, ya? Farel Hamdan Misha anak tunggal dan mereka memiliki toko butik." ucap Delfano matanya masih fokus di lembaran kertas itu.

"Benar, tuan. Ayah gadis itu bernama pak Husen yang sekarang bekerja di sebuah perusahaan. Dan dia...." Sekretaris itu menjelaskan sangat rinci biodata dan latar belakang Anisha. Entah dapat dari mana data itu hingga bisa selengkap itu.

Mendengar penjelasan rinci dari sekretarisnya, ia lantas mengambil sebuah kartu pelajar yang masih di simpannya.

Besok aku harus menemuinya. Bagaimana ya reaksinya melihat kartu penting itu ada di tanganku? Tunggu saja Anisha...


***


Selepas salat magrib Anisha diantar kembali ke pesantren dan disambut hangat oleh orang-orang di sana. Terutama Dinda dan Habibah yang sedari tadi terus tersenyum menyimpan rindu padanya. Keduanya langsung memeluk erat Anisha. "Akhirnya kamu kembali juga. Kita kangen banget tau." ucap Habibah.

"Kalian lebay ah, aku kan cuma seminggu di rumahku. Udah yuk kita setoran hapalan." ujar Anisha.

"What! Kamu sudah hapal, Nis? Gila keren asli." ucap Dinda. Begitu juga Habibah.

Sesaat sebelum pergi ke masjid, ia berpapasan dengan sepupunya dan kali ini lelaki itu mendekat seakan ingin mengatakan sesuatu. Dengan suara pelan Fathan berkata, "Kamu tau Nisha, sepandai apa pun kamu menyimpan bangkai, pada akhirnya bau itu akan tercium juga."

Jelas yang dimaksudkan Fathan adalah rahasianya. Mungkin laki-laki itu belum tau apa rahasianya hanya tau bahwa dirinya meyimpan sesuatu yang besar.

"A, aku tau." balas Anisha.

Kegiatan malam itu berjalan lancar dan kini waktunya untuk tidur. Sambil menatap langit-langit kamar Anisha membatin, "Apa Fathan mengetahui rahasiaku? Tidak mungkin, aku bahkan tidak cerita pada siapa-siapa."

Malam berlalu dan inilah hari pertama setelah libur kemarin. Dengan semangat gadis itu melangkahkan kakinya menuju kampus.

"Nishaaa...!" Panggil Elisa setengah beteriak.

"Gercep juga Lis kamu. Yaudah yuk masuk keknya kelas bentar lagi mulai." Ajak Nisha. Sahabatnya mengangguk dan segera menuju kelas.

Dari kejauhan sepasang mata memerhatikannya. "Memang dia orangnya, aku masih ingat wajah manisnya." Delfano tersenyum.

Kelas dimulai dengan pengumpulan tugas yang sangat sulit di semester tersebut. Tak lama dosen itu mengatakan bahwa tiga bulan lagi mereka akan melaksanakan kegiatan yaitu kuliah kerja nyata.

Raut senang terpancar di semua wajah mahasiswa di sana tak terkecuali Anisha dan Elisa.

"Tapi Nis, kayaknya nanti kita gak bakal sekelompok deh." Elisa sedih.

"Jangan gitu dulu, siapa tau kita bareng." Balasnya.

"Iya semoga." Elisa tersenyum.

Selesai kelas pertama Anisha pergi menuju kantin bersama Elisa. Namun ditengah jalan menuju kantin seseorang datang memberitahu bahwa Bu Linda tengah mencarinya yang sekarang sedang ada di lantai atas.


Dalam Dekapan Luka Onde histórias criam vida. Descubra agora