Bab 19 Titik Kecil

712 60 2
                                    

Waktu berlalu. Selepas mata kuliah terkahir selesai mereka segera menuju rumah sakit dengan mobil pribadi Elisa.

“Nis, bukan maksudku ingin menghina. Aku tidak pernah melihatmu pergi bersama keluargamu dengan mobilmu. Bukankah sekarang perusahaanmu sedang berjaya?” Elisa memulai percakapan.

“Mobil memang ada tapi jarang dipakai. Aku hanya ingin sederhana saja. Oiya rumah sakitnya masih jauh, ya?” tanya Anisha.

“Oh iya berapa menit lagi Rin?”

“Kurang lebih 30 menit lagi, Nona.” jawab sopirnya.

Mendengar itu ia refleks menengok ke kaca belakang, tampak sosok laki-laki berjaket hitam mengendarai motor sport hitamnya, senada dengan helmnya.

“Dia benar-benar mengikuti kami.” ucap Anisha pelan.

30 menit berlalu mereka sampai di rumah sakit. Setelah memarkirkan kendaraan mereka bergegas masuk untuk mendaftar. Semua proses itu dibantu Elisa hingga mereka diarahkan menuju ruang tunggu.

“Tidak usah tegang, Nis. Kan ada aku.” Ucap Elisa menggenggam erat tangan gadis itu.

Bagaimana tidak tegang? Di sekeliling ruang tunggu itu dipenuhi ibu-ibu hamil yang tengah mengandung besar. Ia sempat berpikir apakah nanti dirinya akan seperti itu?

“Mbak nya mau periksa, ya?” Tiba-tiba orang disamping Elisa mengajak bicara.

“Tidak. Saya hanya mengantar... Sepupu saya, iya sepupu.” Jawabnya tersenyum.

“Oh mbak ini. Berapa bulan kandungannya?” tanya wanita tua itu.

“Du-dua bulan.” jawab Anisha.

“Wah sehat-sehat, ya. Saya juga lagi nganter anak saya. Eh itu Suaminya, mbak?” tanya wanita itu lagi.

Nih ibu-ibu banyak nanya deh, astaga kesel banget aku!

Elisa yang tak tahan ingin menjawabnya dengan tegas. Sayangnya ia tak sempat.

“Iya. Saya suaminya.” Delfano menerobos ucapan Elisa.

“Heh kamu...”

“Udah Lis, ini tempat umum. Malu ih jangan marah-marah.” ucap Anisha berbisik di telinga Elisa.

“Tapi kan dia bukan suamimu, Nis.” Elisa tak terima.

“Kalau mereka berpikir yang tidak-tidak gimana? Sudah tak apa untuk kali ini saja.”

Penjelasan Anisha membuat amarahnya sedikit reda.

“Nikah muda, ya? Kelihatan banget masih muda Mas, Mbak nya.” ucap Ibu itu.

Elisa yang sudah kesal membalasnya dengan senyum kecut. “Ibu, sepertinya anak ibu butuh minum deh. Dia terlihat pucat sekali.”

“Ah begitu, maaf sudah banyak tanya.”

Wanita tua itu langsung mengajak anaknya pergi mencari minum.

“Sabar, Lis.” ucapnya menepuk-nepuk pundak Elisa.

Sesaat ia melirik ke arah Delfano yang sama tengah menatapnya lalu memberikannya senyuman.

“Lis, kita nomor berapa? Kok lama banget.”

“Nomor 15 kalau tidak salah. Ini baru nomor 7. Memang kenapa? Kamu lapar?” tanyanya pada Anisha.

Gadis itu mengangguk pelan. “Iya, aku mau roti cokelat.”

“Akan ku belikan.” kata Delfano yang tak sengaja mendengar percakapan itu.

“Tidak usah. Aku saja yang membelinya, nanti kamu malah beli yang sudah kadaluarsa.” ucap Elisa melangkah pergi.

Semoga Elisa cepat kembali, aku tidak enak berdua bersamanya

Anisha menatap Delfano yang fokus ke ponselnya.

Waktu terus berjalan hingga tak terasa nomor antrean sudah mendekati angka 15. Namun, Elisa belum juga kembali.

“Kenapa Elisa belum datang? Duh... Mana pengen pipis lagih. Udah gak tahan.” Batinnya.

Melihat raut gelisah itu, Delfano berjalan lalu duduk di kursi bekas Elisa.

“Kenapa, hm?” tanyanya.

“Aku, aku mau ke toilet.”

“Ayo aku antar.”

“Tapi–”

“Kamu mau banjir di sini?” tanya Delfano.

“Tidak usah. Aku bisa sendiri.” Jawabnya.

“Memang tau letaknya di mana?” Pertanyaan itu membuat Anisha terdiam. “Ayo cepat!” ucap Delfano.

“Baiklah.” Jawabnya kemudian berdiri dan melangkah mengikuti laki-laki itu.

Beberapa menit berlalu. Elisa sampai di tempat tadi dan terkejut melihat 2 kursi itu kosong. Ia benar-benar panik dan khawatir karena sahabatnya tidak ada.

“Ke mana Anisha pergi? Pasti tuh cowok biangnya. Awas kamu, ya, Fan.”

Ketika berbalik ia tersentak melihat sahabatnya berdiri di dekatnya. Juga laki-laki berjaket hitam berdiri di belakang Anisha.

“Kamu habis dari mana? Aku khawatir tau.”

“Maaf, aku tadi kebelet jadi ke toilet dulu.” Jelasnya.

“Dia?”

“Tenang, Lis. Dia cuma nganter. Oiya kok kamu lama banget?” herannya.

“Asal kamu tau, ya, Nis. Tuh minimarket rame banget di kasir. Mana ada ibu-ibu yang nyelonong motong barisan. Sumpah aku kesel banget.” Jawabnya.

Belum sempat ia membalas, nomornya sudah dipanggil dan Anisha bergegas masuk.

“Eh Fano, sana masuk.” ucap Elisa pada Delfano.

“Kamu...”

“Sudah sana masuk!” tegasnya.

Rasa tegang langsung menyelimutinya ketika berhadapan dengan dokter kandungan. Tak henti-hentinya ia berzikir dihatinya.

“Dengan Mbak Anisha, ya?”

“Iya, dok.” Jawabnya tersenyum.

“Ini suaminya? Maaf sebelumnya, saya seperti pernah lihat ya wajahnya gak asing. Mas nya mirip anak dari perusahaan Arsyanendra yang Pianist muda itu. Maaf, siapa toh nama mas nya?” ucap dokter itu.

Keduanya langsung membeku mendengar itu. Bukan pernah liat tapi memang itulah anak dari perusahaan Arsyanendra.

Kenapa dokter ini tau, ya? Rasanya aku jarang tersorot kamera

“Nama saya ... Sahril. Saya fans berat tuan muda perusahaan itu. Jadi, saya mengikuti gaya rambut beliau.” Jelas Delfano dengan tenang.

“Owalah begitu...”

Syukur deh dokternya percaya ucapan Fano. Selagi dia tidak tau namanya mungkin aman-aman saja. Lucu juga Delfano sampai menyamarkan nama aslinya

Anisha bernapas lega mendengar jawaban dokter itu.

Setelah mengobrol cukup panjang kini saatnya Anisha di USG untuk melihat keadaan janinnya. Ketika alat itu sudah mulai di gunakan ke perut Anisha dan layar monitor menampakkannya, ia melirik ke arah Delfano.

Ia menatapnya seakan memberikannya isyarat.

Lihatlah, itu anakmu

Entah tersampaikan atau tidak laki-laki itu langsung menatap layar yang tak jauh dari dirinya.

“Titik ini, Bu. Janinnya sehat, ya, alhamdulillah.” ucapnya.

Entah ingin bahagia atau sedih melihat titik kecil itu. Yang dipikirkannya saat itu adalah orang tuanya, bagaimana bila mereka melihat kejadian ini.

Akankah mereka bersedih?

Selepas pemeriksaan itu mereka keluar dari rumah sakit lalu duduk sebentar di kursi panjang dekat pintu keluar.

“Ini fotonya? Wah gila keren banget. Nanti kalau sudah lahir aku dipanggil apa, ya? Aunty? Hahaha,”

Anisha tersenyum melihat Elisa tertawa puas sambil memegang foto hasil USG nya. Sebelum pulang mereka menyantap roti yang sudah dibelikan Elisa tadi.

“Kamu pulang saja. Aku yang akan mengantar Anisha pulang. ” ucap Delfano.

Jelas hal itu ditolak mentah-mentah oleh Elisa. “Kamu mau macam-macam, ya?”

“Apakah pikiranmu hanya dipenuhi hal buruk? Pergilah, tidak kasihan melihat asistenmu menunggu?” ucap Delfano.

“Awas, ya, Fan. Mata ku ada di mana-mana. Kalau kamu berani berbuat apa-apa pada Anisha, aku tidak akan tinggal diam!” Ancamnya. Kemudian gadis itu pergi.

“Sahabatmu sangat peduli, ya?” ucap Delfano memutar tutup botol lalu menyerahkannya pada Anisha.

“Iya. Fan, apa aku boleh bertanya sesuatu?”

“Katakan.” Balasnya.

“Kapan kamu akan menikahiku?” tanyanya.

“Sudahku jelaskan, kan? Hari ini aku siap datang ke rumahmu. Hari ini juga aku bisa menikahimu.” Jawabnya.

“Tapi... Itu terlalu cepat, aku takut hal ini akan bocor ke publik dan bagaimana tanggapan mereka tentang keluargamu.”

Lelaki itu terdiam sejenak seakan memikirkan jawaban yang pas untuknya. “Setelah kegiatan KKN. Kita menikah!”

“Tapi–”

“Tidak ada tapi. Saat itu juga aku akan meminta maaf pada orang tuamu.” ucapnya.

Andai kamu tau Fan, ada satu laki-laki lagi selain ayah yang mungkin akan murka padamu. Kak Farel, semoga belum datang saat hari itu

BERSAMBUNG....
________________________
Thank you yang masih setia baca cerita amatir ini hehe. Oiya karena ini Re-publish kemungkinan ada komentar yang tidak sesuai Bab. Mohon maaf bila ada kesalahan dalam cerita ini ya😊

Dalam Dekapan Luka Where stories live. Discover now