Bab 37 Perhatiannya

409 43 1
                                    

Paginya mereka berkumpul di depan rumah kepala desa untuk mendengarkan beberapa tentang desa tersebut.

“Saya perkenalan ulang, ya. Saya Ranu kepala desa di sini. Panggil saja Pak Ranu. Ada beberapa hal yang harus kalian tahu.”

“Apa saja, ya, Pak?” tanya Agus.

“Pertama, sebisa mungkin jangan mandi setelah jam 5 sore. Kedua, di desa ini ada air terjun dan kalian jangan berenang di sana cukup ambil air saja itu pun harus dengan gayung atau apa pun, jangan langsung dengan tangan. Ketiga, jangan buang sampah sembarangan. Di desa ini sudah tersedia tong sampah di setiap jalan.” jelas Pak Ranu.

Semua larangan itu memang masuk akal setelah dipikir-pikir. Pantas saja desa tersebut amat bersih dan indah di pandang karena semua warga di sana sadar akan kebersihan dan patuh pada aturan.

Hari pertama di desa, mereka diajak keliling desa untuk melihat-lihat keadaan siapa tau bisa menjadi proker mereka. Tak hanya itu, mereka juga diantar mendatangi para sesepuh desa, tokoh agama dan tokoh masyarakat.

“Saya kagum pada desa ini, Pak. Selokan yang biasanya kotor dan bau di sini malah disulap menjadi tempat indah.” ucap Gading melihat di selokan bersih dan jernih.

“Iya, ya. Setiap tepi jalan ada tong sampah dan sama sekali tidak ada sampah berserakan.” Tambah Sierra.

Kondisi desa itu terbilang cukup baik hanya ada beberapa yang butuh perbaikan dan itu bisa menjadi proker mereka.

Duh kok pusing banget, ya? Gak, gak. Harus bertahan baru setengah jalan keliling desa

Perlahan langkah Anisha melambat dan itu disadari oleh Delfano yang sesekali memerhatikannya. Lelaki itu melangkah mendekati Elisa.

“Kalau kamu peduli dengan sahabatmu, perhatikan dia.” Bisiknya lalu kembali menyamakan langkahnya dengan teman-teman cowoknya.

“Astaga saking terpesonanya aku sama desa ini sampai lupa Anisha kan sedang... Eh eh Nis!” Elisa segera menghampiri sahabatnya yang sudah oleng.

“Kamu tidak apa-apa? Mau istirahat dulu?” tanya Elisa.

“Tidak apa-apa, Elisa. Yuk kejar yang lain.” jawabnya.

“Tapi, tadi kamu hampir jatuh.” Ucap Elisa.

“Udah gak apa-apa. Yuk!” ajaknya tersenyum.

Mereka pun tiba di air terjun yang dimaksud kepala desa. Memang airnya sangat jernih dan asri karena itu lah ada larangan untuk tidak berenang di sana. Saking beningnya mereka bisa melihat ke dasar air.

“MashaAllah bagus banget.” ucap Anisha.

Selain tempat itu mereka juga mengunjungi spot lain yang tak kalah lebih indah. Baru satu hari mereka di sana rasanya cukup melelahkan tapi seru.


***


“Makan ini.” ucap Delfano menyodorkan mangkuk berisi potongan buah-buahan.

“Tapi... Aku tidak mau makan buah.” Tolak Anisha.

“Nisha... Makan buah baik untuk kesehatan kamu. Hei, baru tadi pagi sama semalem kamu minum teh manis. Jangan kebanyakan minum teh, ya. Gak baik.” jelasnya dengan lembut.

Anisha mengangguk pelan lalu memakan buah itu. Seketika Elisa dan yang lainnya datang membawa sekresek jajanan.

“Kita beli seblak ekstra pedas di warung depan.” kata Sierra memindahkan makanan itu ke atas meja.

“Kamu mau, Nis?” tawar Geladis.

“Tidak, aku tidak mau makan pedas.” jawabnya.

“Hei ayolah cuma sedikit aja enak, kok.” Geladis terus memaksanya.

“Kalau dia gak mau gak usah dipaksa.” kata Fano membuatnya terdiam.

“Iya deh.” Balas Geladis.

“Eh Fan kamu gak ikut yang lain?” tanya Sierra heran.

“Ini baru mau berangkat.” Jawabnya lalu melangkah pergi.

Mereka kembali melanjutkan makan. Sedangkan teman cowok mereka sedang sibuk observasi di beberapa bidang dan mereka izin istirahat dulu sebelum lanjut ke yang lain.

“Nis, memangnya kamu tidak bosan makan buah terus?” tanya Sierra.

“Bosen sih, tapi...”

“Sini yuk gabung, kita juga beliin seblak buat kamu.” Balas Sierra.

Awalnya gadis itu menolak tetapi setelah melihat teman-temannya makan, membuatnya tergoda untuk ikut memakannya. Alhasil Anisha mengiyakan tawaran itu.

“Yakin Nis gak apa-apa?” Elisa cukup khawatir.

“Iya gak apa-apa.” Jawabnya.

Baru sesuap ia makan seblak tersebut. Anisha langsung batuk-batuk tak kuat dengan rasa pedas makanan itu. Setelah minum pun masih terasa pedasnya hingga membuatnya mual-mual.

“Gak kuat aku.”

Anisha berlari menuju kamar mandi. Sontak membuat yang lain ikut khawatir dan hendak menyusul Anisha.

“Eh sudah aku saja, kalian lanjut makan gak apa-apa.” kata Elisa.

Di dalam kamar mandi, Anisha tak henti-hentinya mual dan muntah karena makanan itu.

“Seharusnya aku tidak makan tadi. Duh perutku sakit...!” rintihnya.

“Aku harus telepon dia.” Elisa segera mengambil ponselnya.

Tak lama kemudian, lelaki itu datang dengan tergesa-gesa.

“Gimana Anisha?” tanyanya gelisah.

“Masih di dalam, mual-mual dia abis makan seblak itu.” Jawabnya.

“Astaga... Kan sudahku bilang jangan makan yang pedas. Kenapa kamu diam saja?” kesalnya.

Tak lama kemudian Anisha keluar dengan wajah pucat. Delfano langsung menyodorkan gelas berisi teh jahe untuk meredakan mual-mual itu.

“Masih mual?” tanya Fano.

“Gak, udah.” jawab Anisha tak ingin minum teh itu lagi.

Karena kondisinya itu Elisa mengantar sahabatnya untuk istirahat di kamar. Sedangkan Fano sibuk membuat sesuatu.

“Eh Elisa, antarkan ini pada Anisha.” ucapnya menyerahkan segelas air.

“Air apa ini? Jangan macam-macam kamu, ya.” kata Elisa curiga.

“Itu air Lemon.” jawabnya.

Di dalam kamar. Anisha hanya bisa terbaring lemas menatap langit-langit kamar. Ia benar-benar sedih dan takut menjadi beban di kelompoknya.

“Kenapa sih cuma mau makan saja susah gak bebas. Ini gak boleh itu gak boleh. Aku tau itu gak baik buat kesehatan. Tapi... Aku mau itu.”

Air matanya tumpah membanjiri pipinya. Ia begitu kesal dan takut dengan semua yang dialaminya.

Bunda... Nisha pengen peluk Bunda...

2 Minggu berlalu. Sedikit demi sedikit semua proker mereka telah terlaksana. Mulai dari konsep Adiwiyata di sekolah yang diterima oleh warga sekolah. Pembangunan gapura baru, mengajar anak-anak sekolah dan pengajian di masjid.

“Rajin juga kamu Wan. Betah amat di depan laptop.” kata Geladis.

“Oh tentu, nyicil buat laporan.” jawabnya.

“Bagus. Eh kata Pak Ranu tadi kita boleh lukis tembok yang di pinggir jalan itu.” ujar Geladis.

“Beneran? Aman dah kita ke sana gas! Kamu pasti suka, kan, Nis? Bidang kita itu.” kata Elisa diangguki sahabatnya.

Siang itu mereka pergi ke lokasi dan melihat tembok polos sepanjang 15 meter. Dengan semangat mereka melapisi tembok itu dengan cat yang sudah dibeli hari-hari sebelumnya.

“Semangat guys panjang banget ini temboknya!” ucap Geladis menyemangati.

“Gila parah sih ini. Sudah aku cat berkali-kali warnanya tetap kurang nyala. Eh Gus, coba cari cat yang berkualitas. Ini kena hujan aja hilang.” ungkap Awan.

“Benar juga. Yaudah sebentar.” jawabnya.

“Weh dokumentasi fotoin kita dong!” kata Elisa sembari mengecat.

Gading yang pandai fotografi langsung mendokumentasikan kegiatan tersebut. Lama sekali mereka mengecat latar tembok tersebut sebelum dilukis.

“Emang mau ngelukis apa?” tanya Sierra pada Anisha dan Elisa.

“Intinya yang bikin enak dipandang.” jawab Anisha.

“Kalau gak pemandangan pasti bunga, kan?” tambah Elisa.

“Eh tapi udah izin, kan?”

“Tenang aja, Ra. Pak Ranu dan warga desa sudah menyetujuinya.” jawab Anisha.

Siang itu matahari benar-benar memancarkan sinarnya, panas sekali. Tiba-tiba rasa pusing menyerang Anisha, teriknya matahari membuat pandangannya kabur.

Jangan pingsan please... tapi, duh kepalaku

Dalam Dekapan Luka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang