Bab 12 Festival Kampus ✨️

731 56 6
                                    

Sepanjang malam Anisha terus memikirkan kejadian tadi. Ia sangat takut bila rahasianya bocor. Dalam renungannya ia membuat keputusan yang mendadak. “Pokoknya aku harus pindah, aku sangat malu dengan kondisi ku seperti ini. Aku tidak mau mengotori nama pesantren.”

Gadis itu segera tidur untuk persiapan besok festival di kampusnya. “Semoga acara besok lancar....”

Esoknya setelah sarapan ia pamit pada Umi lalu bergegas berangkat ngampus. Sebagai panitia festival itu ia tak boleh terlambat jadi terpaksa meninggalkan dua sahabatnya.

“Kiri, Pak. Ini uangnya, ya.” ucapnya sambil menyerahkan uang.

Sopir itu menerimanya. “Terima kasih, mbak.”

Baru memasuki gerbang depan hiasan pernak pernik memenuhi setiap sudut kampus. Festival untuk memperingati hari ulang tahun Universitas itu diadakan begitu meriah tahun ini.

“Anishaaa...!” panggil Elisa dari kejauhan.

“Cepet juga kamu datang.” ucap Anisha menepuk pundak sahabatnya.

Elisa langsung menggandeng tangan sahabatnya. “Yaudah, yuk, cepat bantu persiapan panggung di aula.”

Beda dengan tahun sebelumnya yang tidak ada perayaan apa pun ketika hari berdirinya kampus itu. Tahun ini perayaan itu begitu meriah karena dihadiri penyanyi terkenal masa itu.

“Jay, Jay gimana sound system?” tanya Ravel sambil melihat data di buku itu.

“Aman!” balasnya.

“Oke, semuanya kumpul. Semua persiapan selesai dan semoga festival hari ini berjalan lancar.” ucap Ravel lalu memimpin doa agar acaranya berjalan sesuai rencana.

Setelah persiapan semuanya pergi ke stand masing-masing karena diadakan juga bazar makanan dan yang paling laku akan mendapatkan reward dari kampus.

Tangan Anisha ditarik oleh seseorang membuatnya refleks menepis tangan itu. Anisha mendongak melihat Ravel lah pelakunya.

“Maaf, sudah menarikmu tiba-tiba. Ini minumlah wajahmu tampak lelah.”

“Aku kira siapa. Terima kasih, Ravel.” Anisha menerima botol minum itu. Gadis itu merasa hanya dirinya yang diperlakukan beda oleh Ravel. Entahlah Anisha hanya menebak bahwa ada sesuatu yang disembunyikan Ravel darinya.

“Kalau butuh bantuan, cari aku saja. A-aku ke depan dulu, ya.” ucap Ravel pamit.

Festival pun dimulai dengan baik. Karena acaranya bersifat umum jadi semua orang dari luar bisa datang ke sana bahkan mahasiswa dari Universitas lain pun boleh datang. Kios-kios di sana juga membuat makanan dari berbagai negara.

“Jangan lupa saksikan drama siang nanti di Aula!” teriak seseorang sambil membagikan poster.

Semua mata tertuju pada laki-laki itu, ya siapa lagi kalau bukan Ravel. Suasana pagi itu sangat ramai dan padat.

“Elisa!” panggil Anisha berlari mendekat.

“Eh Nis, kamu tidak jajan? Apa lagi puasa?” tanya Elisa sambil memakan takoyaki.

Anisha menggeleng, “Aku tidak puasa. Aku bingung mau beli apa.”

“Kita ke kios seni rupa aja, yuk! Mereka jual ramen.” ujarnya.

Sesampainya di sana mereka memesan makanan tersebut lalu lanjut kulineran lagi hingga tak terasa sudah banyak kresek di genggaman tangannya.

“Eh Nis, aku tinggal gak apa-apa? Soalnya pacarku udah datang,”

“Iya, tidak apa-apa. Sana kamu bucin sepuasnya, hahaha....” jawab Anisha tertawa.

Anisha memerhatikan belanjaannya, ia merasa ada sesuatu yang kurang. “Ini tidak ada minuman, beli dulu deh takut enek.”

Ketika sampai di kios tersebut ia melihat daftar menunya. “Kak, tolong satu cappucino-nya, ya.” kata Anisha.

“Kak, cappucino-nya satu, ya.” Lanjut Ravel.

Keduanya melirik dan terlonjak kaget menyadari mereka memesan minuman yang sama.

“Eh Nisha ternyata, kok bisa samaan ya selera kita? Hahaha...” ucap Ravel tertawa.

“Iya, ya? Oiya artis yang diundang sudah datang belum?” tanya gadis itu.

Lelaki itu mengangguk pelan, “Ya! Mereka sudah datang.”

“Ini mbak, mas, minumannya sudah jadi.”

“Oiya Iya, ini uangnya sekalian sama punya Mbak ini, ya.” ucap Ravel menyerahkan uang itu.

“Terima kasih, Mas.” kata si penjual.

“Eh Rav gak usah, aku gak enak.” kata Anisha mengambil minumannya.

“Gak apa-apa, sekali-kali.” jawabnya.

Mereka berdua pun berjalan mencari tempat duduk untuk memakan makanan yang sudah dibeli. Rasa trauma akan kejadian waktu itu mulai mereda dan ia bisa berinteraksi lagi dengan laki-laki walau tidak semuanya.

Contohnya Ravel, ia bisa setenang itu berada di dekatnya karena merasa aura lelaki itu tidak menakutkan. Sekilas ia menatap wajah laki-laki itu. Tak lama mereka menemukan tempat duduk lalu duduk di kursi panjang itu jelas dengan jarak satu meter.

“Gak kerasa, ya, sebentar lagi skripsi lalu sidang dan lulus.” Ravel memulai obrolan.

“Iya, benar. Eh gak semudah itu ya pasti banyak lika-liku lain. Ya semoga bisa lulus cepat.” kata Anisha.

“Oiya kamu–” ucapannya terhenti melihat Anisha menutup mulutnya seakan menahan sesuatu.

“Maaf,” desisnya pelan, matanya memancarkan rasa yang tidak mengenakan. “Aku... mual,” Lanjutnya.

Ravel tak tega melihat kondisi temannya ditambah wajah itu semakin pucat. “Nis, kita ke unit kesehatan, ya? Aku khawatir. Kamu sakit apa?”
Anisha menggeleng mengartikan tidak. Namun lelaki itu sudah terlanjur khawatir dibuatnya. “Kamu tunggu sini, aku ambil air hangat dulu.” ucapnya bergegas pergi.

Anisha terus mengelus perutnya berharap rasa mual itu mereda. Sambil terus berdoa agar tubuhnya kuat sampai acara itu selesai.

Di sisi lain, Ravel yang tergesa-gesa untuk mengambil air hangat di hadang oleh temannya. “Ayolah Vel, kita butuh banget kamu!”

“Tapi Anisha–”

“Ah udah lah ini penting banget!” ucap mereka.

Tak sengaja percakapan itu didengar oleh seseorang. “Anisha? Kenapa dengannya?” Gumam lelaki itu.


***


Anisha masih menunggu lelaki itu kembali. Dalam pandangannya dia seperti di tengah laut yang penuh gelombang menciptakan rasa tak enak di kepalanya. Seketika sebuah kaki berdiri di hadapannya, ia mengangkat wajahnya dan terkejut melihat seseorang itu.

“Fathan?” Gadis itu berdiri menatapnya.

“Kamu ... Mual?” tanya Fathan khawatir.

Anisha mengangguk, ia kemudian bingung dengan kehadiran sepupunya. “Kenapa kamu bisa ada di sini?”

“Kamu lupa, ya? Festival ini kan diadakan secara umum, siapa saja boleh datang.” jelasnya.
Anisha baru teringat, ia hanya tertawa kecil mengiyakan ucapan Fathan.

Lelaki itu menyerahkan segelas air lemon pada Anisha. “Minumlah, mungkin ini bisa meredakan rasa mualmu. Dan ingat, kurangi minuman yang mengandung kafein dan pedas, pedulikan yang ada di dalam dirimu.” Pesan Fathan.

“Maaf. Terima kasih, ya.” ucapnya mengambil gelas tersebut.

Tiba-tiba seseorang menepis tangannya dan membuat gelas itu jatuh dan pecah. Seseorang itu berdiri berhadapan dengan Fathan dengan tatapan tajamnya.

“Kamu bodoh Anisha? Siapa tau minuman itu ada racunnya.” kata Delfano.

“Fano! Kamu–”

“Racun? Mana mungkin saya meracuni sepupu saya sendiri.” ucap Fathan memotong ucapan Anisha.

Delfano terdiam mendengarnya. Lalu menatap gadis di belakangnya. “Sepupu?”

“Anisha ayo!” ajak Fathan menyuruhnya pergi.
Ketika akan pergi tangannya di cengkeram oleh Delfano. “Mau ke mana?”

“Lepaskan tanganmu! Kalian bukan mahram.” ucap Fathan sedikit penekanan dalam kalimatnya.

Lelaki itu langsung melepaskannya. “Kamu juga bukan mahramnya, kan? Kalian hanya sepupu.” Balas Delfano.

“Tapi saya tidak sepertimu. Anisha ayo!” ucap Fathan melangkah pergi. Disusul langkah gadis itu.

Melihat sepupunya membelanya ia merasa lega, namun juga heran mengapa sepupunya itu sangat peduli padanya.

“Dibilang karena kami sepupu sepertinya bukan. Dia bahkan sampai ikut merahasiakan kondisi tubuhku, kenapa kamu melakukan itu, Fathan?” Batinnya.

Anisha menatap punggung laki-laki itu masih dengan pertanyaan yang sama. Di sisi lain Fathan bertempur dengan pikirannya mengingat pesan seseorang waktu itu.

“Fathan, tolong jaga Anisha sampai aku kembali.”
Pesan dari Farel yang selalu diingatnya.

“Kalau Kak Farel tau keadaan adiknya saat ini, dia pasti marah besar.” Batinnya.

“Fathan.”

“Hm?” sahutnya menatap gadis itu.

“Sebenarnya laki-laki tadi ... Orang yang bertanggung jawab atas kejadian malam itu.” ungkapnya.

Raut Fathan seketika berubah, hatinya sedikit kesal baru mengetahui laki-laki itu. “Kalau aku tau dari tadi sudah ku hajar laki-laki itu!”

“Apa dia tau kamu hamil?” tanyanya.

“Tidak.” Jawabnya menunduk.

“Anisha, cepat atau lambat semua kebohonganmu akan terbongkar dan kamu harus siap dengan konsekuensinya.” Pesan Fathan.

Dalam Dekapan Luka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang