1. Ketenaran

228 6 5
                                    

"Selama engkau populer, selama itu juga engkau tak merasakan kebebasan dan ketenangan. Dulu, jarang sekali penduduk bumi tahu siapa itu Uwais al-Qarni. Namun, begitu populernya beliau bagi penduduk langit. Hingga ketika wafat, mereka berbondong-bondong mengiringi jenazah beliau. Dan kini, penduduk bumi tak pernah melupakannya dalam sejarah."

***

"Pa, Kamelia itu udah dewasa. Udah waktunya nikah. Ayolah turunin ego Papa!"

"Nggak bisa Ma, Kamelia itu masih dalam fase membludaknya karir. Lagipula dia masih kuliah. Baru saja semester tiga."

Perdebatan tanpa ujung antara pak Dharma dan Bu Aster, kedua orang tua Kamelia az-Zahra, seorang gadis berusia dua puluh tahun membuatnya muak, tidak betah di rumah. Dengan ekspresi bosan, dia begitu saja melewati kedua orang tuanya tanpa pamit, hendak berangkat ke kampus.

Kamelia tinggal di Yogyakarta. Tak jauh dari kampusnya yaitu UGM. Dia selalu diantar oleh sopir pribadi ketika berangkat maupun pulang. Dia mengambil jurusan Psikologi. Bukan tanpa tujuan. Tapi, dalam kehidupannya, ia tak merasakan ketenangan. Entah itu konflik keluarga maupun status karir. Ia merasa kedua orangtuanya terlalu egois. Tidak pernah ingin mengerti apa yang menjadi keinginannya, cita-citanya. Dia tidak mau itu terulang ke anak turunnya kelak. Sebab itulah ia memilih jurusan tersebut.

"Kamel, salim dulu nak!" Mama Aster yang menyadari kepergiannya tanpa pamit, langsung mengejarnya. Kamelia tak menghiraukan. Ia begitu frustasi, tak tahan menahan gemuruhnya amarah dalam dada. Hingga ia lupa kalau berjabat tangan dapat melunturkan segala dosa. Apalagi dengan orang tua.

Ketika Kamelia keluar rumah, terpampang begitu banyak kameramen berjejer di depan rumahnya, namun dihadang oleh pak Karman, selaku sopir pribadinya. Demikian tidaklah membuatnya kaget.

Karena ini bukan yang pertama kalinya. Selain pelajar mahasiswi di UGM, dia tengah meniti karir sebagai penyanyi religi. Suaranya begitu indah apalagi kalau sedang membawakan lagu, dia begitu menghayati. Sebab itulah setahun terakhir ini karirnya begitu membludak. Subscriber YouTube dan followers Instagram yang berjuta-juta, membuatnya hampir dikenali seantero Indonesia.

Namun, anehnya tak ada ketenangan yang mengisi hatinya. Senyuman yang ia pancarkan hanyalah sandiwara di depan publik. Namun, anehnya semua terpikat olehnya, apalagi kaum Adam. Mungkin karena parasnya yang cantik jelita. Mungkin karena suaranya yang merdu. Mungkin karena ketenaran dan hartanya yang melimpah ruah.

Padahal mereka tidak tahu dibalik itu semua, Kamelia menyimpan duka kesendirian yang mendalam. Keluarga yang egois. Apa gunanya paras cantik, namun tak ada yang setia? Apa gunanya ketenaran sebab suara yang merdu, namun tak membawa kedamaian dalam hati? Apa gunanya harta yang berlimpah dan rumah bak istana, namun tak ada di dalamnya rasa saling mengerti satu sama lain? Apa gunanya semua itu?

Itulah yang dia rasakan, yang dia simpan dalam hati, sebuah uneg-uneg yang belum tahu harus ia curahkan kepada siapa.

Pak Karman berusaha membuatkan Kamelia jalan untuk melewati para wartawan. Mereka bak segerombolan semut yang tengah mengerubungi makanan. Sejuta pertanyaan terlontar dari mereka, namun tak dihiraukan. Bukannya ia egois, tapi bisakah waktu belajarnya tak diganggu oleh kamera? Karena ini adalah aktivitas privasi. Tak seharusnya kamera berada di depan matanya saat itu. Dan itu bukanlah yang pertama kalinya.

Ia begitu terganggu jiwanya karena ketenaran di usia muda. Yang seharusnya fokus mencari ilmu, malah terganggu karena kamera. Banyak temannya yang iri dengan pencapaiannya di usia yang masih muda. Banyak temannya yang menginginkan tenar seperti dirinya.

Derita Asmara Tiga Hati (DATH) TERBIT✓ Where stories live. Discover now