BIG SIN III - ThirtyEight

161 11 4
                                    

Multimedia: Khumaira Azzahra dan Mauria Mahardika Sadewa.

*-----*

               Zahra menggigit bibir bawah kaku saat melihat Dika mengunci pintu ruangan ketika dirinya masuk sesuai permintaan si tomboy tadi pagi. "Makan di sini saja. Makanan di luar tidak terlalu enak. Pembatu yang memasak sedang tidak masuk karena sakit, jadi di masak oleh karyawan. Biasanya, kalau karyawan yang masak, entah itu manis, asin, pahit atau pedas, pasti terasa di hasil masakannya. Kalau makan di kantin, aku takut nanti sakit kamu kambuh kalau makan masakan karyawan iseng itu"

Sambil menghempaskan napas lega karena Dika sudah bertingkah seperti biasanya terhadap Zahra, gadis cantik itu menyenderkan punggungnya yang sudah lelah karena duduk tegap secara terus-menerus "Makan dengan apa?" Zahra bisa mendengar derap langkah Dika mendekat, gadis tomboy itu kini tengah mengenakan setelan formal berwarna hitam dari atas sampai bawah, ia terlihat menawan dan tampan dalam satu waktu yang sama.

Dagu si tomboy bergerak ke kanan, menunjuk meja kecil yang berdekatan dengan lemari yang diisi dengan buku "Udang sungai" jawab si tomboy dengan senyum kecil "Tumben sekali ngasih jajanan mahal" balas Zahra seraya mendekat ke meja dan terduduk di kursi tinggi berbentuk bulat sebelum akhirnya membuka kotak yang terletak di sana.

Aroma sedap segera saja menggelitik indra penciuman Zahra saat ia mendapati daging udang bertumpuk di satu sisi dengan sambal serta nasi. Udangnya sudah dicincang rapi disertai dua jenis sambal yang disediakan secara terpisah, ada jeruk lemon juga di dekat kotak sambalnya dan itu sama-sama dihidangkan secara terpisah "CEO nggak boleh beli nasi padang, Khumaira" ujaran Dika berupa candaan, ia bahkan bisa mendengar kekehan kecil setelahnya "Nasi padang enak kok" balas Zahra seraya mempersiapkan satu kotak yang lain untuk kekasihnya.

Dika mengangguk "Iya, memang enak. Hanya saja kalau beli nasi padang jauh dari sini. Dan nggak bisa delivery order" kini, gadis tomboy itu menggulung lengan jas yang ia kenakan dan bersiap untuk menyuap "Atau jangan-jangan kamu mau nasi padang?" lanjut si tomboy curiga meskipun kini Zahra sudah menyuapkan udangnya "Ini enak. Tapi sambalnya pedes" si cantik sedikit mengernyit kecil "Mau minum" katanya yang langsung membuat Dika berdiri untuk berjalan ke kabinet bawah berukuran sedang.

Tanpa disangka, didalamnya ada kulkas berukuran kecil yang penuh dengan berbagai minuman "Air putih?" tanya Dika "Iya air putih aja" jawab Zahra sambil sesekali mengipasi mulutnya seolah itu akan berhasil untuk meredakan pedas yang ia rasa. "CEO mana yang baik hati bahkan sampai membawakan air minum untuk karyawannya? Mana cantik pula" Zahra terkekeh mendengar gadis itu menggerutu kecil, ia hanya menerima air mineral dalam botol kaca itu dan menenggaknya cepat karena pedas.

Setelah merasa lebih baik, Zahra mendekat pada kekasihnya dan mengecup pipi si tomboy "CEO bucin bernama Mauria Mahardika Sadewa" ujarnya disertai dengan tawa kecil sebelum akhirnya kembali memakan makan siangnya. "Ngomong-ngomong, aku sudah memutuskan untuk menjadi Ibu. Tapi nanti, setelah dua tahun pernikahan. Aku bahkan nggak ada persiapan buat pernikahan. Kenapa kamu merahasiakan segalanya?"

Sambil mengunyah, Dika menaruh sebagian dari daging udang miliknya pada nasi milik Zahra yang masih terlihat penuh "Makan yang baik. Pernikahan biar aku yang urus" ujarnya seraya mencampur nasi dengan udang seperti sebagaimana apa yang dilakukan Zahra tadi. "Berapa bulan lagi menuju pernikahan?" tanya Zahra di antara kunyahannya "Dua belas" jawab Dika singkat "Kalau Ayah kamu sudah merestui, aku bisa mempercepatnya menjadi minggu depan" candanya kemudian.

"Satu tahun lagi..." Zahra bergumam kecil setelah menyesap kembali air mineral yang masih tersisa setengahnya "Mbak Laras sekarang berusia dua puluh enam sementara Kayra berusaia dua puluh tujuh, tapi aku akan menikah di usia dua puluh empat. Apa tidak terlalu terburu-buru?" Dika berhenti mengunyah secara seketika saat ia mendengar nada ragu itu kembali terucap dari bibir manis milik kekasihnya.

Gadis tomboy itu sudah lelah meyakinkan Zahra bahwa menikah itu bukan tentang masalah usia tapi merupakan masalah siap atau tidaknya dua manusia yang saling mencintai. Laras dan Kayra memang memiliki rencana untuk menikah, namun tidak dalam jangka waktu yang dekat seperti Dika serta Zahra. Mereka bilang, keduanya masih ingin bersenang-senang tanpa ikatan dan mereka tidak ingin terburu-buru untuk mengambil keputusan.

Tapi Dika berbeda. Ia sudah sangat matang dengan pemikirannya untuk menyatukan dirinya dengan Zarha di dalam pernikahan. Toh, ia masih bisa bersenang-senang meskipun setelah menikah bukan?

Pernikahan bukanlah batasan untuk bersenang-senang dan Zahra tak pernah setuju dengan itu. Zahra mengatakan hal yang sama dengan Kayra, gadis itu masih enggan di ikat dengan perikatan yang serius seperti janji sehidup semati di atas pelaminan karena berpikir bahwa itu akan menyulitkan.

Sedikit mencebik, Dika kemudian beranjak dari meja untuk mangambil air minum yang lain "Kalau begitu, tentukan seberapa banyak waktu yang harus aku tunggu untuk meminangmu" ujarnya sedikit kecewa.

Zahra melirik perlahan pada Dika yang tengah membuka botol "Beri aku waktu dua tahun lagi" ujar Zahra membuat Dika menghempaskan napas panjang yang melelahkan "Kalau dalam kurun waktu yang sudah kamu tentukan kamu masih tak sanggup, apa aku harus tetap menunggumu?"

Kerutan di alis Zahra tercipta cepat "Apa maksudnya itu? Apa kamu sudah enggan menunggu?"

"Manusia punya titik lelah, Khumaira. Aku sudah menunggumu selama enam tahun terakhir. Kenapa kamu memperpanjang waktunya? Aku ingin memilikimu seutuhnya" gadis itu beranjak kembali ke meja kerja seraya meraih sesuatu dari dalam laci yang baru saja ia buka. Ia mengambil satu map berwarna hitam lantas menyodorkannya pada Zahra.

Masih dengan ekspresi keheranan, Zahra menerima map tersebut dan menemukan satu kertas dengan nama-nama perusahaan yang kemudian diakhiri dengan dua nama akhir mereka. Azzahra Mahardika. Tercetak tebal dengan hurup kapital. "Untukmu, dan anak kita" ujar si tomboy membuat Zahra terbelalak karenanya. Ada sepuluh nama perusahaan di sana. "Tunggu dulu" Zahra mengambil napas panjang "Kamu berencana menggabungkan nama kita agar perusahaan bukan hanya diwariskan kepadamu?"

"Iya"

"Mauria..." bisik Zahra tertahan "Kamu tak harus melakukan ini. Aku bahkan tidak mengerti banyak soal perbisnisan. Aku masih magang di perusahaan, aku tidak tahu cara menaikkan pendapatan dan memperoleh keuntungan untuk perusahaan. Aku bukan orang yang setara dengan kamu"

"Bukan orang yang setara?" ulang Dika dengan nada tidak percaya "Kita sama-sama manusia, Khumaira. Aku denganmu setara" nada si tomboy masih saja terdengar tidak percaya ketika ia berbicara "Aku ingin kita berada di kasta yang sama sampai rela membawa margamu masuk ke dalam marga keluargaku. Tapi.. melihat reaksimu seperti ini" ia sedikit menggantungkan kalimat untuk melirik pada kekasinya "Sepertinya kamu memang tidak ingin terikat denganku"

Zahra terbelalak sesaat. Pertakataan Dika yang menusuk hatinya barusan memang benar adanya. Dika sudah banyak berkorban serta berjuang untuk dirinya, tapi kenapa Zahra masih saja ragu terhadap segala hal yang sudah Dika lakukan kepadanya? Ada apa dengan dirinya? Apa yang salah dengannya?

Dalam lubuk hati Zahra, ada sedikit perasaan ragu untuk menikahi Dika. Ia mengharapkan keluarga normal seperti yang lainnya. Ia mulai meragu.

"Kalau memang kamu masih meragu, kemarin aku bertemu Ayahmu dan dia sudah memberi restu"

Tunggu dulu.

APA?

*-----*

Riska Pramita Tobing.

BIG SIN III Where stories live. Discover now