BIG SIN III - Six

283 18 0
                                    

Multimedia: Khumaira Azzahra dan Mauria Mahardika Sadewa.

*-----*

          AAAAAAAHHHHHHH!!!! Rasanya senang sekali! Akhirnya Zahra bisa kembali pulang ke kampung halamannya setelah sekian lama tak singgah. Sudah bertahun-tahun lamanya ia tak menginjak tanah tempat ia dilahirkan.

Zahra tak pernah pulang kemari. Kalau saja liburan semester saat sekolah dan atau liburan lainnya, Zahra hanya bisa pulang ke rumah dinas Ibunya. Memang tak begitu jauh dari sini, tapi ia tak pernah benar-benar menginjakkan kaki lagi di sini hingga sekarang.

Rumah panggungnya yang terbuat dari kayu tampak terawat dan bersih karena Ibunya selalu pulang kemari di hari minggu. Tanaman hias seperti mawar dan anggrek tampak sedikit kumuh karena belum disiram. Tapi tanaman-tanaman lainnya seperti cabai, tomat, jahe, kencur dan sebagainya tampak tumbuh dengan baik.

Zahra tak bisa berhenti tersenyum sedari tadi. Ia tak mengenakan cadar seperti biasanya sehingga Dika yang memaksa harus ikut ke kampung halaman Zahra jadi ikut menorehkan senyum karenanya.

Meskipun gadis cantik itu tampak kehilangan pipinya yang tembam, senyumnya tak pernah pudar semenjak ia diturunkan dari mobil travel yang dipikirkan di dekat masjid.

Rumah milik Zahra tak begitu jauh dari masjid yang tampak sedang diperbaiki. Tak ada jalan masuk lain selain jalan utama yang berujung lapangan luas yang dikelilingi oleh rumah warga yang bentuknya hampir serupa.

Zahra melangkah perlahan menyusuri jalan setapak di sekitaran rumahnya sambil memutarkan baju panjang miliknya sehingga itu bergelombang terbawa angin.

Bak bocah saja. Pikir Dika sambil memasukkan beberapa bingkisan bawaannya dari kota.

Saat memasuki rumah, ada aroma cengkeh yang tercium cukup dekat. Nyatanya ada beberapa botol mineral yang digantung dan dijadikan pot tanaman di dekat dapur yang masih menggunakan tungku.

Ada dipan berukuran cukup besar yang penuh dengan karung berisi padi serta alat-alat persawahan. Rak piring sederhana yang penuh dengan berbagai macam alat makan kuno, wajan-wajan menggantung di dekat tungku api yang mengeluarkan bau asap, dan ada beberapa kayu yang disimpan di belakang tungku untuk bahan bakar.

Dika merasa aneh sekaligus nyaman di satu waktu yang sama. Tak ada sofa di rumah ini, hanya ada karpet tipis berwarna hijau yang biasa ia temukan di mushola. Lantainya terbuat dari kayu yang bahkan bisa menerawang ke kolong rumah.

Sambil keheranan saat melihat ada lampu menggantung di bawah kolong rumah milik Zahra, Dika mengerutkan kening "Itu buat apa ya, bu?"

Wanita yang baru saja masuk rumah terkekeh kecil "Buat kandang ayam loh nak. Praktis. Pupuknya bisa dipakai buat kebun kecil Ibu. Ayamnya juga anget kalau disimpen di bawah rumah" jelasnya disertai senyum kecil.

Dika yang tidak tahu-menahu soal ini hanya terkekeh "Di sini nggak ada signal ponsel ya bu?"

"Iya nak. Di sini ndak ada signal. Tower masih susah di sini. Kalau mau pakai hp ya jawabannya harus naik dulu bukit biar ada signal meskipun sedikit"

Lagi-lagi Dika terkekeh. Ini semua sangat baru dan aneh baginya.





*--BIG SIN III 2023 By Riska Pramita Tobing--*





          Saat matahari sudah hampir tenggelam di ufuk barat, terdengar anak-anak kecil yang bersolawat di masjid. Ada mobil bak berisi sayuran yang tampak dikelilingi oleh banyak Ibu-ibu termasuk Ibu Zahra di sana.

Padahal jika saja dipikir-pikir, Dika membawa banyak penganan dari kota. Kenapa beliau masih saja memilih beberapa sayuran yang disediakan di mobil tersebut?

"Kamu nggak mandi?" Dika melirik pada Zahra yang hanya dibalut oleh handuk tipis. Pemandangan itu membuat si tomboy sedikit terkekeh karenanya. Biasanya gadis itu malu saat hanya mengenakan handuk meskipun ia sudah berkali-kali ditelanjangi oleh Dika.

"Mandinya dimana? Aku nggak ngelihat ada kamar mandi" jawab Dika seadanya.

Zahra menunjuk dengan jarinya yang runcing ke belakang rumah. "Di luar rumah. Belakang dapur" katanya seraya masuk ke kamar.

Dika tak menggubris dan justru ikut masuk ke kamar. Sangat sederhana tapi tampak rapi dan cantik. Kasurnya saja tergeletak di bawah dan hanya diberi alas dengan karpet. Satu lemari kayu yang tampak tua dihiasi dengan berbagai foto masa kecil Zahra tersimpan di dekat jendela yang menghadap pada gunung di kejauhan.

Tampak bocah kecil mengenakan celana pendek dan baju pendek dengan rambut yang sama-sama pendek. Dika bahkan tak percaya kalau gadisnya lebih tomboy dibanding dirinya saat dia kecil.

"Apa senyum-senyum?"

Dika menoleh ke arah suara hanya untuk mendapati bahwa Zahra sedang mengenakan minyak kayu putih dan setengah telanjang. Rasanya sedikit sakit saat melihat tubuh berisi milik kekasihnya agak kehilangan bobot.

Ada ruam keunguan di lengan kanan si cantik bekas pengambilan darah beberapa saat lalu, dan tangannya masih terlihat ditempeli oleh plester untuk menutupi luka bekas jarum infusan. "Maaf" ujar Dika tiba-tiba membuat Zahra yang baru saja selesai membaluri seluruh tubuhnya dengan minyak kayu putih mengerutkan kening dan mendekat.

Tercium aroma bayi yang segar dari tubuh Zahra yang hanya di tutupi celana dalam "Maaf kenapa?" secara perlahan, gadis itu mengangkat dagu milik Dika dan membiarkan ia menatap matanya.

"Aku pasti sangat egois" lirih Dika dengan suara bergetar seolah ia tengah menahan tangis.

Jemari lentik milik Zahra yang menakup pipi tirus milik kekasihnya bergerak perlahan untuk mengusap "Egois apa, hmm? Kamu bicara apa sayang?"

Tanpa bisa menahan diri, Dika mengalirkan air mata. Gadis itu segera mengubur wajahnya pada lekuk leher milik Zahra sambil terisak sakit "Aku pasti sibuk sekali belakangan ini sampai lupa untuk menjaga kesehatan kamu. Aku minta maaf"

Dika bisa merasakan usapan kecil di punggungnya yang naik turun seirama dengan isakan tangis "Kamu berusaha cukup keras untuk kita berdua. Tidak ada yang egois di sini. Mungkin aku yang teledor. Sudah jangan menangis. Aku belum pakai baju. Dingin"

Meskipun Dika berusaha untuk tersenyum karena ujaran kekasihnya yang terdengar lucu, air mata gadis tomboy itu tak henti turun ke pipi. Ia membiarkan hatinya melemah begitu saja saat ia melihat gadisnya tak terurus seperti ini.

Zahra bergerak perlahan untuk memisahkan diri dari dalam dekapan. Ia kemudian berdiri dan mengenakan sisa pakaiannya yang sudah ia siapkan.

Gadis itu tampak cantik dalam balutan kebaya sederhana dan songket bercorak bunga sebagai pengganti rok. Hanya saja, ia terlihat kurus dan pucat. Itu yang membuat Dika kehilangan kontrol sampai menangis.

"Mau ikut ke surau? Aku mau ngaji"  unjar Zahra pada Dika yang langsung mengangguk mengiyakan.

"Yasudah. Mandilah. Kutunggu"

Dengan itu, Dika berdiri dan segera bergegas mandi. Tak membutuhkan waktu lama bagi Dika untuk mandi di gubuk yang bahkan tak beratap.

Air mengalir dari gunung melalui bambu yang digunakan sebagai pengganti pipa. Ada satu wadah berukuran sedang dari plastik sebagai bak mandi, gayung yang terbuat dari batok kelapa, lantas lantai yang dibuat dari bambu yang dipotong kecil-kecil itu melayang di atas kolam ikan.

Rasanya segar dan dingin. Kulit Dika bahkan terasa kencang seketika. Apakah ini rahasia cantik Zahra dan Ibunya?

Dika terkekeh saja saat mendapatkan pemikiran itu secara tiba-tiba.

*-----*
Riska Pramita Tobing.

BIG SIN III Where stories live. Discover now