8

28 2 0
                                    

Tiba di waktu sore. Wiga pergi ke ruko demi permintaan mamanya. Dia meminta Adel untuk menemaninya. Karena gadis itu pula yang nanti akan Wiga suruh menarik uang bulanan ruko. Huh, malas sekali rasanya jika harus turun tangan sendiri. Dirinya sudah lelah, tidak ingin menambah beban dengan alasan yang diberikan mereka karena belum bisa membayar ruko nantinya.

"Beneran, Pak Wiga nggak mau ikut turun?" tanya Adel. Mereka baru saja sampai. Gadis itu juga sudah melepaskan saetbelt, sebelum turun dia perlu memastikan sekali lagi barangkali sang atasan berubah pikiran.

"Berapa kali saya bilang, saya nggak ada tenaga buat meladeni mereka semua."

"Loh, Pak Wiga nggak harus minta uangnya, biar saya saja nanti yang nagih. Tapi, mungkin saja Pak Wiga bisa lihat-lihat bagaimana perkembangan rukonya. Selama ini Pak Wiga juga jarang berkunjung ke sini."

"Ya alasannya apa saya harus ke sini?"

"Ruko ini milik Buk Mayang, suatu waktu pasti akan dialihkan pemiliknya baik ke Pak Wiga atau ke Dimas. Jadi menurut saya Pak Wiga perlu belajar dan terjun langsung dalam menangani ruko ini. Setidaknya Pak Wiga harus berbaur kalau bisa mengenal siapa saja yang menyewa, supaya memudahkan Pak Wiga sendiri nantinya apabila terjadi masalah di sini," terang Adel. Wiga meneguk sebotol air minumnya yang tadi ia bawa dari klinik.

"Ini ruko punya Mama saya. Biar saja Mama yang mengurusi, kalau nanti Dimas sudah besar biar dia yang menggantikan. Lagian menjadi psikiater sudah pekerjaan yang baik dan banyak pikiran, jangan ditambah lagi sama urusan bisnis yang sama sekali nggak saya minati," pikirnya.

"Sudah, kamu keluar sana! Saya mau tidur sebentar."

Wiga hendak menurunkan sandaran jok mobil, namun semuanya beralih begitu saja saat ekor matanya tidak sengaja melihat sosok wanita yang sedang tertawa lepas di luar. Tangan kanannya menyeka keringat di dahi, sedangkan tangan kirinya bertengger di pinggang. Kemeja maroon yang membalut tubuhnya ditutupi celemek. Rambut hitamnya juga dicepol asal-asalan. Tapi begitu auranya masih terlihat manis. Apalagi saat sedang mengawasi karyawannya yang keluar masuk sambil membawa barang-barang dari dalam pickup. Rasa lelah Wiga seketika menghilang. Dia langsung menghalangi Adel yang akan membuka pintu mobil.

"Del, tunggu!" Instruksi itu membuat Adel menoleh.

"Kenapa, Pak?"

"Kamu kenal sama perempuan itu?" tanya Wiga seraya menunjuk ke arah gadis yang tengah melambai-lambaikan tangannya di udara. Entah untuk siapa itu, Wiga tidak tahu dan yang jelas bukan untuk dirinya.

"Oh, itu Mbak Akira, Pak. Pemilik LiRa Bakery. Tadi dia datang ke klinik Pak Wiga, loh, sama Mbak Yuan. Pak Wiga ingat nggak?"

Wiga mengangguk.

"Tapi kenapa dia ada di sini?"

"Kan toko kuenya ada di sini, Pak."

"Maksud kamu dia juga menyewa ruko saya buat usaha toko kuenya ini?"

Adel mengangguk meskipun perasannya sedikit jengkel. Tadi saja tidak mau mengakui ruko ini sebagai bagian dari punyanya. Namun lihatlah. Barusan saja dia mengaku-ngaku. Tanpa Wiga sadari pada ucapannya, dia justru menopang dagunya di atas setir mobil dengan pandangan lurus ke depan. Otaknya mencerna segala informasi yang baru saja diketahui. LiRa Bakery cukup terkenal di Ibu Kota, dan semestinya toko selaris itu sudah mampu berdiri sendiri alias membangun dari tanahnya sendiri. Namun ternyata Akira masih menempatkan bisnisnya di ruko. Ya wajar saja, ruko milik mama Wiga memang sangat luas, bangunan baru, dan elit, namun harga sewanya  cukup fantastis. Dengan usaha sesukses itu Akira sangat mampu menyewanya.

Mendadak ide jahil muncul di kepala. Wiga bisa memanfaatkan keadaan ini untuk menggait Akira sebagai kliennya. Ya, tanpa bersusah payah mencari tahu alamat gadis itu dimana. Sekarang saja semesta kembali berpihak padanya.

Bukannya Aku Takut Jatuh Cinta!Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon