Karena itu Asya juga menganggap dirinya tidak normal. Sangking di manja dan di sayangi, Asya bahkan tidak tau caranya keluar rumah sendirian. Tidak tau bagaimana cara memesan minuman, tidak tau cara menyetop kendaraan umum. Semua hal selalu di handle oleh Mamanya dan Asya terima beres. Hidupnya selalu mudah sejak dulu.

Paling parah, Asya tidak tau cara mengajak orang berinteraksi. Karena selama ini Asya hanya berbicara dengan orang rumah dan tentunya Guru private yang pastinya seorang perempuan juga. Laki-laki? Asya hanya tau Papa tirinya, tukang kebun, supir, dan tentunya Alga. Itupun butuh waktu beberapa bulan agar lancar berbicara dengan mereka.

Mamanya baru menjalin pernikahan satu tahun dengan Zayan, Papa tirinya sekaligus Papa kandung Alga.

Namun takdir menjemput mereka begitu cepat, meninggalkan Asya dan Alga berdua. Di paksa dewasa dan tumbuh bersama di umur yang terlalu belia. Alga bahkan harus turun tangan mengurus perusahaan di usianya yang baru menginjak 18 tahun.

Sekarang Asya hanya punya Alga. Begitupun sebaliknya. Papa kandung Asya sudah lama meninggal, sama halnya dengan Mama kandung Alga. Keluarga lain? Tentu mereka punya, namun hubungannya terlalu jauh. Tidak mungkin bergantung pada mereka.

"Duh, gerah."

Asya memutuskan keluar kamar untuk mengurangi rasa gugup dan mules aneh di perutnya. Asya melangkah menyusuri lantai dua, bolak-balik tidak jelas demi menenangkan diri.

Sampai kemudian Asya sedikit terbatuk saat asap memasuki kerongkongannya. Asya baru sadar jika dia berada di dekat pintu kamar Alga. Asya menatap lurus, melihat punggung tegap yang membelakanginya. Pintu balkon kamar Alga terbuka, Alga berdiri di sana dengan asap samar di sekitarnya.

"Kak Alga belum tidur juga?" Asya berbicara, suaranya yang tiba-tiba terdengar mengejutkan Alga. Entah kapan, gadis itu sudah ada di sebelahnya.

Alga menurunkan rokok yang terselip di bibirnya, menginjak benda itu dengan sendal rumahnya hingga padam.

"Jangan lama-lama di luar, nanti sakit," ucap Asya memperingati. "Kak Alga gak boleh sakit, nanti aku gak punya siapa-siapa lagi."

Alga tidak merespon sedikitpun.

Sampai kemudian suaranya terdengar. "Gue mau tidur," Alga menunduk, menatap Asya yang keningnya penuh dengan keringat. "Lo balik ke kamar lo aja."

"Aku gak bisa tidur," Asya menghela nafas. "Aku takut, kalau waktu MOS nanti gak dapet temen gimana? Aku kan kaya orang pea, nanti di anggap aneh."

"Pea?" Alga mengerutkan keningnya.

"Iya, pendek akal," Asya mengangguk lugu. "Kata orang di TV itu sebutan buat orang aneh. Aku kan aneh."

"Aneh?" kerutan di dahi Alga semakin dalam.

"15 tahun gak pernah keluar rumah, itu apa kalau bukan aneh?"

Alga berdecak. "Besok gue bakar TV di rumah, biar lo gak nontonin orang-orang brengsek itu."

"Ih, Kak Alga ih," Asya ikut berdecak, soalnya dia tau Alga tidak main-main. "Aku gak punya hape, gak bisa nonton TV, terus hiburan aku apa?"

Alga berjalan memasuki kamarnya tanpa merespon, Asya dengan cepat mengekori sang kakak. Bahkan Asya masih berdiri kaku saat Alga sudah duduk di ranjangnya, cowok itu ingin mematikan lampu. Namun Asya belum juga beranjak.

"Apa? Lo mau tidur sama gue?" ketus Alga.

"Seriusan boleh?!" kedua mata Asya berbinar-binar.

"Gak, tidur di kamar lo sendiri!"

Asya menurunkan bahunya. "Yaudah, selamat malem Kak Alga."

"Nanti," suara Alga membuat langkah Asya terhenti. Laki-laki dengan kaos putih polos itu melemparkan sesuatu yang untungnya bisa Asya tangkap. "Itu buat sebulan, jadi jangan dateng ke kamar gue lagi meskipun buat alasan uang."

Asya mengangguk, menatap lurus dompet berwarna cokelat di tangannya. Padahal, Asya tidak butuh uang. Asya butuh Alga.

Saat Asya sudah berada di ujung pintu dan hampir keluar, Alga kembali bersuara.

"Kalau gak lembur di Kantor, nanti kita sepedahan. Tapi bentar aja buat hiburan lo."

"AKU SAYANG KAK ALGA!" Asya berteriak haru dari pintu lalu berlari ke kamarnya dengan bahagia. Dia sudah lama ingin belajar naik sepeda!

Setelah kepergian Asya, Alga mengulas sunggingan tipis di bibirnya. "Gue juga."


*****

MELEYOTTTT NULISNYA.


ALGASYA ; STEP BROTHER Where stories live. Discover now