44. KETIKA HATI MULAI SEPAKAT

184 83 60
                                    

Dua minggu berlalu begitu cepat, dan kini Kara dihadapkan dengan ujian semester ganjil yang akan dimulai beberapa menit lagi.

Segelas susu coklat hangat dan satu buah roti Aoka rasa nanas menjadi menu sarapan sekaligus temannya belajar di kantin pagi ini. Hari ini dia berangkat lebih awal- sekitar 45 menit sebelum jam pertama ujian dimulai. Kara ingin merilekskan dirinya, menghirup aroma tenang dari anggrek merpati yang sedang mekar, sembari mengulang materi yang semalam dia pelajari.

"Misi, Neng,"

Suara itu mengundang atensi Kara untuk menoleh, lalu mendapati Mang Ojak yang membawa lap serta pembersih meja. Kara tersenyum singkat, kemudian mempersilahkan Mang Ojak untuk melakukan tugasnya.

"Neng Kara rajin bener dah,"

Kara yang baru saja menggigit rotinya itu buru-buru mengunyah kemudian menelannya. "Ujian, Mang,"

"Oh iya ya. Maaf, neng, saya lupa kalau hari ini ada ujian.."

Lagi, Kara mengulas senyumnya. "Doain lancar ya, Mang.."

Mang Ojak mengalihkan atensinya pada Kara, "atuuhh.. itu mah tanpa doa saya juga pasti lancar, Neng Kara kan pinter," katanya, lalu kembali membersihkan meja dengan lap yang ia bawa tadi.

"Tapi nggak papa kan, kalau saya minta doa ke Mang Ojak?" Tanya Kara, netranya menatap Mang Ojak dengan permohonan yang sungguh-sungguh. "Soalnya saya udah gak punya orang tua yang bisa doain saya, Mang,"

Tertegun. Mang Ojak kembali menghentikan aktifitasnya. Mendengar kalimat terakhir Kara, hatinya terasa seperti diremat dengan perlahan. Mang Ojak kemudian menoleh pada Kara, kemudian mengangguk sembari mengulas senyum.

"Semoga ujiannya lancar ya, Neng.." tulus Mang Ojak, "kalau Neng Kara mau, saya bisa doain setiap hari, biar ujiannya lancar terus."

Kara membalas senyum Mang Ojak, "makasih ya, Mang.."

Mang Ojak menghela nafasnya, mengusir sesak yang sempat merayap di dadanya. Senyum teduhnya masih ia pertahankan, harap-harap bisa menyalurkan energi positif kepada gadis itu.

Meskipun hanya menjadi penjual di kantin, tetapi Mang Ojak cukup tahu latar belakang beberapa murid SMARAPU, apalagi jika murid itu memiliki eksistensi yang lebih, seperti Kara. Kadang Mang Ojak ikut bangga atas semua pencapaiannya, kadang juga ikut iba apabila mengingat latar belakang kehidupan gadis itu.

Tak ingin berlama-lama tenggelam, Mang Ojak pun mencoba mengalihkan suasana, "Ya sudah kalau gitu saya lanjut clean-clean the table dulu ya, Neng.." seperti biasa, english vocabulary-nya tak ketinggalan.

Kara hanya terkekeh, lalu mengangguk, mempersilahkan Mang Ojak untuk menyambung aktifitasnya.

Susu coklat yang sudah mendekati dingin itu ia minum lagi, tak sampai habis, hanya satu seruputan saja. Lalu gadis itu kembali membuka bukunya.

"Jadi, nama lo Kara?"

Belum ada 5 menit fokus pada buku, kini sebuah suara kembali merebut atensi milik gadis itu. Kara sedikit mendongak, lalu netranya menangkap presensi seorang laki-laki dengan dandanan yang kurang rapi berdiri di depannya.

Arga. Laki-laki songong yang beberapa waktu lalu terlibat keributan kecil dengannya itu berdiri dengan tangan sebagai tumpuan di atas meja. Kali ini dia nampak santai, tidak ada kobar emosi atau dendam pada kedua matanya.

Kara menghela nafas, lalu kembali mengalihkan pandangannya pada buku. "Ada perlu apa?" Tanyanya, dingin.

Merasa diacuhkan, laki-laki itu merebut buku yang menjadi fokus Kara saat ini. Menutupnya, lalu dia jadikan sebagai alas untuk tangannya yang bersandar di meja.

KARAMEL MOZARELATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang