14. CIMORY ALMOND

302 109 40
                                    

Pagi yang ceria di bulan Oktober, dengan suasana kota Jakarta yang jalanannya selalu macet, dengan kota Jakarta yang pemandangan utamanya adalah gedung-gedung tinggi, dan dengan kota Jakarta yang yang selalu ramai tanpa kenal kata sepi.

Sapuan sinar sang surya menerpa semua yang ada di bumi metropolitan ini, seolah memberi tanda bahwa hari ini bukan waktunya untuk bermalas-malasan. Karena biasanya, jika hujan turun, kebanyakan orang enggan melakukan sesuatu yang produktif.

Tetapi, hari senin dan langit yang cerah, bukankah itu perpaduan yang menjengkelkan?

Iya, memang hari senin adalah hari yang diklaim sebagai hari paling sibuk, paling membuat malas, dan paling terasa melelahkan. Biasanya dihari senin akan lebih banyak kegiatan dibanding hari-hari lainnya.

Namun, hal itu sama sekali tidak mengubah raut wajah gadis yang baru saja turun dari angkutan umum berwarna biru itu. Hari ini wajahnya nampak cerah, secerah matahari pagi ini.

Meskipun masih terlihat datar dan dingin, tetapi tidak ada gurat kesedihan yang dipancarkan oleh wajahnya, berbeda dengan beberapa hari lalu.

Kara, gadis yang masih setia memakai cardigan itu, kini terlihat melewati lobi sekolah yang cukup ramai dengan anggota OSIS yang sedang mempersiapkan rutinitas senin pagi di sekolah atau yang sering kita kenal dengan upacara bendera.

Kara melirik jam dinding yang terpasang disana, masih ada 10 menit lagi dan upacara akan di mulai.

"Kara.."

Suara itu membuat Kara memutar tubuhnya, ia mendapati Elen yang tengah berlari kecil ke arahnya.

Kara merasa sedikit aneh, tumben sekali temannya itu berangkat di waktu yang sama dengan dirinya. Memang, untuk ukuran Elen yang biasa berangkat pagi, jauh sebelum pelajaran dimulai, jam-jam seperti ini sudah termasuk siang untuknya.

"Tumben siang?" Tanya Kara ketika temannya itu sudah berada didekatnya.

"Kak Biru tiba-tiba gak enak badan, dan baru ngabarin gue tadi pagi." Jawab Elen sembari mengatur nafasnya. Mungkin memang terkesan berlebihan, gadis itu mengatur nafasnya seperti orang yang baru saja lari maraton.

Kara mengangguk beberapa kali, ia sudah tidak asing dengan nama itu, ia juga kerap mendapati Elen di jemput oleh laki-laki bernama Biru itu. Tetapi satu hal yang selalu membuatnya janggal, hubungan Elen dengan laki laki bernama Biru itu, ia masih belum tahu seperti apa.

Kini kedua gadis itu berjalan menyusuri koridor, mereka akan menaruh tas dulu di kelas sebelum ikut berbaris untuk mengikuti upacara.

"El.." panggil Kara.

Elen hanya menoleh santai.

"Gue kepo deh," Kara menggantung kalimatnya.

"Kepo apa?" Tanya Elen polos.

"Lo sama-- Kak Biru-- pacaran yaa?" Tanya Kara hati hati dan sedikit tak enak. Menurutnya ini memang lancang, tetapi karena penasaran, ya--mau bagaimana lagi?

Sementara yang ditanya hanya menunjukkan kekehannya.

"Enggak, Ra.. Kak Biru itu temen gue dari kecil, dan Papa ngasih kepercayaan ke dia buat jagain gue," Papar Elen singkat. "Padahal gue bisa jaga diri gue sendiri." Sambungnya.

Kara mengangguk paham, ada hal lain yang ia rasakan saat Elen menyebut kata 'Papa'. Gadis itu tersenyum samar, ia jadi ingat bagaimana dekatnya dirinya dengan Ayahnya dulu.

Iya, seperti kata orang, bahwa cinta pertama anak perempuan adalah Ayahnya. Sosok laki laki hebat yang tak akan pernah tergantikan sepanjang masa, sosok superhero yang nyata, dan sosok laki laki dengan cinta tanpa tapi tanpa karena. Dan itu sama-sama dimiliki oleh Elen dan juga 'Kara dulu'.

KARAMEL MOZARELATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang