Bertemu Calon - 27 - Guncangan Kembali Nyata

Mulai dari awal
                                    

Setelah melalui hari-hari mendebarkan, Mas Radi mengajakku untuk bertemu dengan wanita yang mungkin akan dinikahinya itu.

Namanya Mutia. Parasnya sangat cantik luar biasa. Aku mengatakan sangat dan luar biasa karena memang begitu adanya. Aku akan lebih tenang jika Mutia berparas biasa saja atau mungkin tidak begitu cantik. Sebagai istri yang selalu merasa tidak begitu menawan, aku cukup mati-matian merawat wajah agar terlihat segar dan bersih dengan skincare meski jarang dirias. Namun, kali ini aku kalah telak!

Wanita itu bahkan belum pernah menikah dan baru berumur 28 tahun. Aku benar-benar kaget dan berulang kali meneliti apa benar aku tidak salah menghitung umurnya. Kenapa perempuan semuda itu mau menerima ta'aruf Mas Radi yang sudah lewat 45 tahun?

Wajah Mutia bulat dan mungil. Hidungnya cukup mancung dan bibirnya bervolume dengan belahan di bagian bawahnya. Lesung pipit menghias di kedua pipi jika dia bicara dan tersenyum. Irisnya tidak berwarna gelap. Justru cokelat cerah. Dengan kulit putih dan halus, membuat Mutia seperti boneka porselen. Allah benar-benar memberikan kelebihan rupa dan fisik pada perempuan itu. Tubuhnya tinggi semampai. Sedikit lebih tinggi dariku.

Pilihan bajunya pun modis. Jilbab putih panjangnya diulur menutup dada, tapi tidak terlalu panjang. Hiasan bros dagu berwarna merah jambu senada dengan warna lipstiknya. Kalau Mutia memakai seragam SMA, mungkin banyak orang akan percaya.

Rasanya, aku makin patah arang.

"Mutia ingin punya anak tujuh. Pas tujuh. Angka keberuntungan buat saya." Perempuan itu tersenyum kala kami datang ke rumahnya. Aneh sekali masih ada orang yang percaya pada angka keberuntungan. Aku lebih khawatir kalau itu jatuhnya syirik kelak. Namun, Mas Radi pun tampak tak begitu peduli.

Ya, hari ini, aku diajak Mas Radi ke rumah orang tua Mutia. Tentu saja, Ummi dan kelima anakku juga dibawa serta. Keempat anakku asik bermain di taman belakang bersama asisten rumah tangga keluarga Mutia. Mirza kini duduk tenang di pangkuanku.

Dibandingkan dandanan Mutia, aku seperti itik buruk rupa. Aku memang memakai gamis terbaikku, tapi usia tidak bisa menipu. Secantik-cantiknya aku di usia 44 tahun, tentu kalah telak dengan wanita berusia 28 tahun. Aku mengeratkan gerahamku berusaha menahan sesak.

"Kenapa harus dia? Umurnya hampir dua kali umurmu, Nak!" Kali ini Bu Ratna, ibunya Mutia bicara terus terang tanpa berusaha memperhalus apa pun. Seandainya saja aku bisa bicara setegas itu. Untuk bisa bicara dengan Mas Radi saja butuh perjuangan besar. Itu pun selalu berujung kegagalan.

Mutia terlihat santai. Gesturnya benar-benar anggun dan memesona. Aku pun penasaran kenapa dia bisa setuju menikah. Rumah keluarga mereka cukup besar. Memang tidak sebesar rumahku, tapi ini jelas golongan menengah ke atas. Kurasa, jika Mutia mau, dia bisa mendapat pria bujangan mana pun yang sepantar dengannya.

Bu Ratna pun terlihat begitu terawat. Ada beberapa deret perhiasan emas berjajar di tangan kanannya. Baik berupa cincin maupun gelang. Aku tak melihat ayah Mutia. Mungkin sudah yatim. Entahlah. Namun, jika diperhatikan lagi, Bu Ratna sama sekali tak terlihat kekurangan. Mungkin sisa harta suami atau anak-anaknya mampu mendukung secara finansial.

"Mutia ingin punya suami mapan untuk menafkahi tujuh anak kami kelak. Minimal gajinya harus lima puluh lima juta untuk bisa menyekolahkan di tempat layak." Gadis itu tampak dipenuhi dengan semangat membara.

Aku salut pada semua ketegasan yang dimiliki. Mungkin jika aku memiliki sedikit saja keberanian dan ketegasan itu, masalah poligami ini bisa jadi tidak perlu ada.

Bu Ratna tampak tak senang. Dia mendelik ke arah putri bungsunya itu. "Nak Radi sudah punya lima anak yang harus dinafkahi. Artinya dia harus menafkahi dua belas anak kelak!"

END Rahim untuk SuamikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang