Ignite ; Perangkap Ingatan

261 53 10
                                    

Gemericik air yang mengarungi bebatuan itu membuat senyap-senyap kedua mata Jihoon terbuka. Suara-suara alam yang menyapu bersih telinganya, memanjakan tubuh tegang dan kepalanya yang terasa berdenyut tepat ketika berusaha bangun dari baringnya. Jihoon memandangi sekitar dengan pandangan takjub sekaligus kebingungan.

Jihoon terbaring tepat disebelah sungai itu lagi, sungai yang sama seperti malam-malam sebelumnya. Di tepi seberang, seorang perempuan dengan dress putih tulang tengah memandangi nya. Wajah cantik yang sangat Jihoon kagumi belakangan ini, namun entah kenapa wajah jelita nya nampak sayu dan penuh kesedihan setiap kali menatap Jihoon.

Selama yang Jihoon ketahui, semuanya akan tetap begitu hingga beberapa saat. Jihoon sadar betul jika dirinya sedang bermimpi dan sayangnya Jihoon tidak mampu berbuat apapun selain membalas tatapan wanita yang akan menitihkan air matanya tersebut. Baik Jihoon maupun wanita itu hanya ada ada keheningan dan suara gemercik air yang mengalir.

Jihoon ingin sekali bertanya siapa dirinya, mengapa dirinya yang jelita itu menangis dan hanya berdiri disana memandangi Jihoon tanpa mengatakan apapun?

Anak itu tidak ingat awal mula mimpi mengenai wanita ini muncul. Rasanya sangat familiar dan dekat, namun kenyataannya wanita itu hanyalah bunga tidur yang acap kali mampir di kepala Jihoon.

Setelah menunggu, kali ini mimpi Jihoon berubah. Tidak seperti biasa wanita tersebut melambai ke arah Jihoon, masih dengan air mata berderai dipipi bersemu nya. Perlahan, Jihoon merasa tubuhnya berat dan disela waktu Jihoon kehilangan kesadaran, dirinya sadar jika wanita itu memegang sesuatu ditangannya.

Sebuah Apel.


































Benar jika dikatakan Jihoon muak dengan rasa penasarannya terhadap Jun dan keegoisan sang serigala yang seumur hidup hanya bersembunyi didalam dirinya tersebut. Namun kini yang lebih membuat Jihoon muak adalah rasa sakit disekujur tubuhnya, sakit yang teramat sangat sampai untuk membuka mata saja Jihoon sampai berteriak.

Suara Doyoung adalah yang pertama Jihoon dengar. Sang adik memasuki kamar dengan wajah khawatir melihat Jihoon meringis kesakitan diatas tempat tidur. Setelah beberapa detik, Jihoon membuka mat dan kembali dikejutkan dengan nuansa kekayuan jaman dulu yang khas.

Ruangan reyot dengan bau perapian yang hangat membuat Jihoon panik karena tidak tahu dimana ia berada saat ini.

"Tenang... Kita ditempat yang aman." Doyoung berujar yakin dengan tatapan serius membuat kepanikan Jihoon sedikit berkurang.

Jihoon sadar setelah bermenit-menit kalau ada goresan panjang di pipi kiri Doyoung. "Ada apa sama pipimu?"

"Nggak penting. Yang penting sekarang kita aman."

"Aman dari apa?" Jihoon bertanya bingung. "Rumah siapa ini, Rao?"

Doyoung menoleh, seorang nenek-nenek tua dengan kalung-kalung tulang yang tidak asing dimata Jihoon masuk membawa semangkuk sup hangat yang seketika membangkitkan rasa lapar Jihoon, astaga dia lapar sampai tidak sengaja menelan ludah.

"Beri dia makan." Doyoung menerima mangkuk tersebut. Menatap lagi kembarannya yang masih memasang wajah tidak senang dan ketakutan. "Dia tidak boleh keluar sementara waktu. Kau mengerti?"

Doyoung si angkuh itu mengangguk patuh. "Kamu harus makan." Katanya kepada Jihoon.

"Bisa jelasin dulu nggak sih? Kita dimana dan kenapa badanku sakit semua? Dimana Damiel dan Ben? Dan ada apa sama pipimu!?" Tanya Jihoon menggebu-gebu.

"Akan aku jelaskan nanti. Pertama, kamu makan lebih dulu. Perut kosong selama tiga hari."

Aneh sekali mendengar Doyoung berkata dengan nada khawatir dan penuh kelembutan begitu. Jihoon tidak lain dan tidak bukan terheran-heran, namun perut keroncongannya juga mendukung penundaan penjelasan agar dirinya terisi lebih dulu.





























IGNITE | binhoon ft. dodamWhere stories live. Discover now