Ignite ; Tanpa sang pendamping

669 147 19
                                    

"pilihannya hanya aku hidup kemudian mati, atau memilih lebih dulu mati."

"berhentilah egois, Rao! Kamu punya tanggung jawab!"

"Sekarang aku tau, Miel. Alasan kenapa aku nggak punya Mate."

"Ini semua takdir, kehilangan Aiur juga adalah takdir! Dan takdir tidak bisa kita rubah!"






























"Aiur?!"

Pandangan Yedam yang mengabur perlahan terfokus kembali. Yang pertama ditangkap oleh pandangannya adalah dinding tenda berwarna coklat dan pintu tenda yang terbuka sedikit, menunjukkan api unggun dan sosok Doyoung yang tengah sibuk membakar sesuatu.

Yedam menghela nafas, mimpi lagi. Mimpi-mimpi mengerikan yang sungguh ingin membuat Yedam mati saja jika itu jalan satu-satunya ia bisa menghilangkan mimpi-mimpi buruk yang sialnya malah manjadi kenyataan itu.

"Oi? Kamu sudah bangun?" Suara Doyoung membuyarkan lamunan Yedam. "Aku membakar ikan." Doyoung mengangkat ikan yang tertancap dan setengah gosong di sebilah kayu.

Yedam menoleh ke arah tasnya. Mengambil sebuah botol berisi cairan berwarna hijau kusam, membuka tutupnya kemudian meminumnya setenggak, ia meringis merasakan getir pahit dan asam yang menyerang kerongkongannya.

Tidak berhenti sampai disana, Yedam mengambil satu botol kaca berisi cairan berwarna ungu pudar. Menyemprotkannya ke seluruh badan, kemudian mengemas kembali kedua botol itu masuk ke dalam tas nya.

Setelah selesai, Yedam keluar dari tenda duduk disebuah bilah kayu besar yang kelihatannya sudah disiapkan Doyoung diseberang tempat duduknya.

"Makan lah." Doyoung memberikan satu ekor ikan yang matang sempurna, disambut oleh Yedam yang sejujurnya juga kelaparan. "Bagaimana punggung mu?"

Yedam menggeleng. "Nyeri. Apa kamu memeriksanya?"

"Harus. Memastikan bahwa kamu masih hidup." Jawab Doyoung terdengar acuh.

Yedam mulai menggigit ikannya, memakan dengan tenang. Berharap Doyoung tidak mengatakan hal-hal aneh yang membuat perdebatan dimulai.

Nyeri dipunggung Yedam sudah sangat menyebalkan, kalau sampai Doyoung memulai perdebatan, Yedam akan sangat tersiksa sekarang.

"Aku mulai berfikir untuk mengirim mu kembali."

"Apa maksudmu?" Tanya Yedam bingung.

Doyoung melirik sekilas. "Kamu nggak membantuku. Kamu hanya memancing pelahap maut mendatangi kita. Mereka pikir kamu-lah yang punya Great Apple."

"Mengirimku kembali nggak lebih baik ketimbang kita menyusul Aiur dan Ben." Yedam menatap tenang percikan api yang tampak mengamuk melahap dahan-dahan didepannya. "Aku tau dimana rumah Nenek Olle. Dan kamu tidak."

"Apa yang membuatmu yakin kalau kamu bisa mengantarku ke sana?"

Yedam mengalihkan pandangan. "Aku pernah ke sana. Ayahku sempat menitipkan aku disana beberapa saat, sebelum kami pindah ke kotamu."

"Benarkah?" Tanya Doyoung ragu.

"Aku nggak bisa membiarkanmu pergi sendiri." Yedam kembali menatap Doyoung, hanya beberapa saat karena Yedam tidak sanggup menatap tatapan tajam orang dihadapannya itu. "Hanya perlu ke timur. Setidaknya kalau mereka sudah sampai, saat mereka pulang kita pasti berpapasan dijalan."

Mendengar ucapan Yedam, Doyoung hanya terdiam. Sesekali melanjutkan makannya hingga selesai tanpa mengucapkan kalimat apapun lagi.

Dengan diamnya Doyoung, Yedam menyimpulkan bahwa Doyoung tetap akan melanjutkan perjalanan bersama dirinya. Meskipun ia sendiri khawatir dengan apa yang terjadi kepada Jihoon saat ini, namun mereka semakin dekat. Semakin juga Yedam takut.








































IGNITE | binhoon ft. dodamWhere stories live. Discover now