26

376 39 0
                                    

Ucapan Danu tentu mengusik pikiran Danar. Bagaimana tidak? Setelah sekian lama dia membiasakan diri dengan keadaan, lagi-lagi sejumput keinginan untuk kembali sekolah itu hadir. Perandaian apakah jika dulu dia tetap mengambil beasiswa, dirinya dan Danu bisa tetap hidup sampai sekarang? Namun, dengan segera dia menepis. Apa yang sudah dipilihnya, tak boleh ada penyesalan.

Baru asyik duduk melamun, salah satu teman yang sekarang sudah duduk di bangku SMA datang untuk mencuci motor. Memakai seragam abu-abu yang dulu pernah diimpikan.

"Kowe kerja nang kene saiki?" tanya remaja lelaki begitu turun dari motor matic berwarna putih dengan ekspresi terkejut.

"Iya, Wan." Damar mendekat, meminta motor yang akan dibersihkan. Sedang Indra masih sibuk dengan gamenya setelah mendongak sesaat. Dia tahu sekarang giliran rekannya, jadi bisa bersantai beberapa menit ke depan dengan ponselnya.

Iwan duduk di kursi yang berada dekat tempat pencucian, tetapi Damar memintanya menjauh agar tak terkena cipratan. "Aku pengen ngobrol sama kamu, Mar."

"Kalau kamu minta bantuan buat kerjain soal, aku dah gak bisa Wan." Damar tertawa kecil begitu menarik motor saat distandar ganda.

Hubungan antara Damar dengan Iwan dulu lumayan akrab karena teman sebangku saat duduk di bangku SMP. Hanya saja nasib menjauhkan hubungan mereka.

Damar terpaksa putus sekolah, sedang Iwan berhasil lulus dan melanjutkan ke jenjang SMA. Tak pernah bertemu lagi sejak memutuskan keluar, hanya terkadang berpapasan di jalan. Itu pun tanpa percakapan. Karena mereka sudah memiliki dunia masing-masing.

"Gara-gara kamu keluar, nilai ujian akhirku jadi kurang maksimal, Mar."

"Bilang saja gak ada yang dimintai contekan. Masih ada Ningsih 'kan? Seingatku dia juara dua." Damar mengambil selang dan bersiap bekerja.

"Heh, dia beda kelas ya. Kamu pura-pura amnesia segala."

Damar kembali tertawa. Ya, dia lupa dengan segala hal yang sudah ditinggalkan dua tahun silam.

"Kenapa kamu dulu gak ambil tawaran beasiswa, Mar?"

"Kamu tahu sendiri, Wan. Aku harus kerja, menggantikan Bapak. Kalau aku sekolah, siapa yang cari uang?" Damar memperhatikan sesaat motor temannya. Tak begitu kotor lalu mengapa harus dicuci? Sangat mengherankan.

"Setidaknya kamu tamat SMP, Mar."

"Ijazah SMP juga gak laku, Wan. Gak ada bedanya. Ini kamu punya banyak uang apa gimana? Motor gak kotor kok dicuci." Meski begitu, Damar tetap mengerjakan tugasnya.

"Kan aku sudah bilang cuma mau ngobrol sama kamu, eh malah kamu cuci."

Damar menengok ke arah lelaki kurus dengan rambut sedikit kriting yang justru tertawa kecil. "Jadi? Ini dicuci apa gak?"

"Cuci aja lagi."

Damar tersenyum sinis merasa dikerjai oleh temannya. Meski begitu tangannya terus bergerak membersihkan bagian motor.

"Terakhir kabarmu kerja di pasar, ikut Pak Wahyudin."

"Iya, kalau pagi kerja di pasar, siang di sini." Damar menjelaskan.

"Wih, karyawan tetap ini."

"Tetap gundulmu."

Lalu mereka tertawa. Di sisi lain, Indra ikut menguping cerita yang baru kali ini diungkapkan. Bahkan sangat mengherankan melihat Damar yang begitu ceria berbincang dengan teman sekolahnya. Jauh berbeda dengan hari-hari biasa. Sejenak saja, dia melihat rekannya tengah melepas beban. Menjadi remaja pada umumnya.

Dari dalam ruangan, Satria juga memperhatikan yang terjadi pada Damar.

"Sudah nih motornya. Dijamin Ayu bakalan klepek-klepek." Damar yang sudah mengeringkan motor, menepuk bagian jok.

My Beloved Brother (Danu dan Damar)  Spin Off Arga ; Repihan RasaDove le storie prendono vita. Scoprilo ora