23

418 44 2
                                    

Hanya semalam Danu dirawat di Puskesmas dan siangnya sudah diperbolehkan pulang. Berhubung tak mempunyai kartu yang katanya harus dimiliki oleh orang miskin untuk berobat, dengan terpaksa Damar membongkar uang tabungan. Ditambah uang lomba Danu. Tentu saja dengan persetujuan yang empunya.

"Bener 'kan, Mas mau anterin ke rumah Ibu?" tanya Danu menagih janji pada Damar.

Mereka sudah di rumah dan duduk bersisian di kamar setelah Mbok Dharma pulang menjenguk.

"Iya, tapi Mas gak tahu naik angkutan apa ke sana." Apa yang dikatakan memang benar adanya. Mengingat dua kali ke kota bersama Pak Wahyudin dan belum hafal jalanan. Ada ketakutan yang menggelayuti pikiran, jangan sampai mereka tersesat dan tak tahu jalan pulang. Di kota yang penuh hiruk pikuknya siapa bisa menduga.

"Tapi aku mau ketemu Ibu."

Damar menoleh, melihat kerinduan dalam bola mata adiknya. "Nanti Mas tanyain dulu sama Mas Satria. Minggu saja perginya."

Senyum Danu merekah. "Makasih, Mas. Aku akan pegang janji."

Damar mengelus rambut Danu.

"Apa Ibu sehat, Mas?"

Damar mengangguk. Ya, ibunya sangat sehat. Jauh lebih segar juga berisi. Begitu berbeda saat bersama mereka.

"Apa Ibu ... sudah punya anak lagi, Mas?"

Sampai di sini, Damar terdiam. Apakah harus mengatakan jika yang membuat ibu mereka tak mau pulang adalah kehadiran anak baru itu. Ah, bukan. Suami barunya adalah alasan sebenarnya. Setidaknya itu yang dikatakan tempo hari.

Menunduk, dia memperhatikan lantai tanah. "Sepertinya begitu."

****

Hari berganti. Minggu sudah di depan mata. Seperti janji beberapa hari sebelumnya, mereka akan pergi ke kota. Menemui ibu tercinta.

Danu sudah bersiap dengan pakaian terbaiknya. Kaos berwarna biru dengan gambar salah satu kartun. Sembari menunggu Damar yang tengah mandi, dia menghitung uang yang selama ini dikumpulkan lalu memasukkan ke plastik. Diperhatikan lembaran uang berwarna hijau juga biru itu sebelum memasukkan ke saku celana cargo yang harus diberi ikat pinggang agar tak melorot. Ya, saat Damar membelikannya, ukurannya sedikit besar.

Damar menyibak kain pembatas kamar, mendapati Danu sudah bersiap.

Danu menoleh. "Wes Mas?" Dia sudah tak sabar berangkat, padahal jam baru menunjukkan pukul tujuh pagi.

Sama seperti Danu, Damar juga memakai kaos terbaiknya. Berwarna putih yang dipadupadankan dengan celana jeans. "Iya." Dia menjawab sekenanya.

Jika bukan demi senyum Danu, dia tak akan mau kembali ke tempat ibu mereka. Apalagi setelah yang dikatakan tempo hari. Rasa sakit itu masih tertinggal di dada. Namun, dia percaya adiknya bisa lebih berlapang dada. Terbukti sejak mengatakan akan menemui ibu mereka, tak ada air mata yang keluar. Justru kebahagiaan terpancar bersama dengan binar kerinduan. Sekarang dia bisa mensyukuri adiknya yang sering mendengarkan ceramah agama.

"Ayo, Mas. Nanti ndak kesiangan." Danu bangkit, menarik pergelangan tangan Damar yang segera menuruti keinginan.

Ini pertama kali bagi mereka pergi ke kota bersama. Sepanjang jalan menuju halte bus, mereka bergandengan tangan seolah tak ingin berpisah. Berbagai pertanyaan basa-basi yang menyapa dari para tetangga hanya dijawab dengan senyuman.

Lima belas menit mereka menunggu bus jurusan Parangtritis-Jogja datang.

"Mas mabuk ndak? Aku sudah bawa kresek ini," tanya Danu ketika melihat Damar sedari tadi diam, mengira akan mabuk seperti yang dikatakan teman-temannya. Padahal yang dirasakan adalah sensasi tegang. Tegang dengan berbagai kemungkinan yang bisa terjadi pada mereka.

My Beloved Brother (Danu dan Damar)  Spin Off Arga ; Repihan RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang