18

1K 164 41
                                    

maaf buat pengulangan kata, nguahaha.

sambil dengerin nih,
fourtwnty - menghitung hari 2


















Roda berputar kian cepat, bersanding genggaman tangan Pradipta yang mengontrol penuh gas di jemari kanan. Tatapannya tajam pada ramai jalanan, guna menyalip tanpa gentar, melewati pengendara lain.

Ian benar, ia peduli. Mungkin ia benci fakta tentang Jennie yang tidak setia; namun ia telah mengenal gadis itu lama.

Dirinya tiba, pada salah satu deret jalan di tengah hingar-bingar pusat kota. Bangunannya menjorok ke dalam dengan halaman depan sebagai lahan parkir. Lampu dinyalakan redup, hanya mencolok di beberapa bagian; seperti tulisan Your Escape and Take A Break Club.

Mesin motor mati. Kunci disimpan, dan helm ditanggalkan. Pradipta menyusun langkah tegas untuk masuk ke sana.

Ia pernah kemari, tidak sering, sekedar memenuhi undangan pesta dari kawan-kawannya. Meski begitu, presensinya yang jarang ini; tak gagal menarik minat seorang pria bertubuh kekar, tinggi, bertato yang berjaga di depan. "Lama gak keliatan?" Sapa pria dewasa itu.

Menerima tanda pengenal milik Pradipta, memenuhi aturan Club yang melarang keras pengunjung minor kemari.

Tawa ringan lolos dari bibir Dipta, "Udah bahagia, Pak." dan direspon gelak hangat yang sama.

Kemudian ia melanjutkan langkah.

Siaganya berlipat, jelas tahu tempat seperti apa yang ia pijak sekarang. Mendapati ruangan remang yang pelik dengan lampu pijar juga dentuman musik mengiringi semua orang yang menari di lantai dansa.

Pandangannya mengedar; sesekali tersenyum tipis manakala beberapa wanita tiba-tiba menghampiri, yang jelas ia tolak halus melalui gelengan kepala. Membuat mereka sedih karena tak bisa menggoda laki-laki asing yang sangat panas ini untuk mengobrolkan banyak hal semalaman.

Pradipta tak mempunyai banyak waktu, dan ketika ia berhasil menemukan keberadaan Jennie, ia segera menyusulnya.

Di depan mata, mantan kekasihnya sungguh mabuk sekarang. Dengan Ian, kakak tingkatnya, ada di sana; duduk bersama Jennie, menatap sang gadis penuh rasa khawatir.

Di meja itu, hanya ada mereka berdua. Seolah sengaja membunuh waktu dan penat dalam kepala bersama.

Dipta memilih persetan.

Sadar akan kedatangan sang adik tingkat, Ian memberi kode lewat kalimat tanpa suara agar Dipta membujuk Jennie untuk pulang.

Dipta mengalah, atas nama membantu sesama, "Jennie." Panggilnya lembut. Bisa di dengar, walau di tengah hingar bingar.

Reaksi sang pemilik nama langsung mengangkat kepalanya yang semula telungkup, mencari sosok Pradipta, lalu merengek dan menangis sedetik setelahnya. "Diptaaa." Jennie meraih jemari Dipta dalam tangannya yang gemetar.

"Jennie is sorry." Ia menggeleng keras, "Gak mau putuss!" tak peduli sekacau apa dirinya, karena ia pikir bisa gila apabila Pradipta sungguhan melepasnya.

Disitu, berbekal rasa peduli dan keteguhan hati yang di bangun tinggi; Dipta merendahkan posisi tubuhnya, mengelus kepala Jennie teramat lembut, "Jennie dimaafin. Sekarang pulang ya? Gak boleh main malem-malem."

Masih sesenggukan, Jennie mengangguk cepat, "P-pulang, hiks, s-sama Dipta?"

"Iya, sama Dipta."

"Mau p-peluk."

Mendengar permintaan itu, entah gadis ini sadar atau tidak, mengingat kebiasaannya bermanja; Pradipta lebih dulu menatap respon yang Ian tunjukkan.

Sebab tak ada laki-laki yang suka bila miliknya disentuh orang lain.

I love your boyfriendOnde as histórias ganham vida. Descobre agora