10

1.6K 319 25
                                    

"Pak Pandhu bilang, minimal hipotesis dulu yang dikumpulin lusa. Minggu depan baru rincian dalam bentuk laporan." Beritahu Archilla pada dua kawannya, yang berpapasan di parkiran utama univertas pagi ini.

Letaknya cukup jauh dari gedung Fakultas Psikolog, memang sengaja parkir di sini; daripada sedikit menarik perhatian dengan melewati jalan beton di samping lapangan, lebih baik berjalan kaki saja ke sana.

Membahas tugas dari salah satu dosen dan pengamatan yang perlu diadakan, guna mendapat hasil. Ketiganya sibuk berbicara satu sama lain; bila perihal tugas seperti ini, Archilla suka sekali menimbrung, diluar itu dia tak mau tahu, dalam artian selama masing-masing pihak tak memiliki sangkut paut dalam keperluan atau masalah yang sama.

Suara langkah kaki dari berpuluh orang yang keluar dari area parkir secara bersamaan, menjadi simfoni sendiri untuk menyambut pagi dan kelas pertama yang dimulai sekitar setengah jam lagi.

Tak semuanya memiliki jadwal jam mata kuliah yang sama. Beberapa ada yang sengaja datang lebih awal; menghadiri rapat, mengerjakan tugas, atau melarikan diri dari muaknya realita di dalam rumah.

"Lo udah dapet materi mau bahas apa?" Tanya Kinar, menyibak rambut panjangnya ke belakang, kala melewati kumpulan mahasiswa teknik yang melangkah di sisi kiri.

"Gue belum, bingung mau gimana sih, belum paham gue sebenarnya harus ngapain." Jawab Mayang, seadanya.

Archilla hendak turut menjawab, namun menjadi urung saat lidahnya tiba-tiba kelu; setelah mendapati Pradipta yang melepaskan kaitan helm dari kepala Jennie penuh perhatian. Juga bagaimana Jennie tersenyum lebar.

Menjadikannya memutar memori pada tiga kata yang pemuda itu kirimkan untuknya di hari Jumat malam, minggu lalu.

Yes, I am.

Seharusnya Archilla tak perlu sesenang itu, tak perlu menganggap serius kelimat pemuda itu, tak perlu merangkai khayalan indah yang suatu saat bisa dia lakukan dengan Pradipta.

Karena nyatanya, dia tak pernah memiliki hak sama sekali untuk sakit hati, atau merasa tak adil dengan semua ini. Sebab dari awal, Pradipta hanya milik Jennie.

Archilla mengalihkan pandangan, tepat manakala Dipta menyadari keberadaannya.

•••

"Lo tadi bilang pulang jam lima, gue chat juga off, ya gue pikir lo udah balik." Ucap Jeka, mengapit handphone di antara bahu kanan dan telinga.

Kedua tangan dengan kulit putih bersih itu tengah sibuk mengotak-atik mesin juga badan motor yang sejak dua jam yang lalu belum selesai di modif.

Jeka sering melakukan hal seperti ini, tak heran bila motornya nampak lebih menantang daripada tampilan orisinilnya.

Di sana hanya ada Dipta yang duduk di sofa; ya, cukup diam dan senyap, menanti motornya selesai digarap. Sedikit menaruh minat pada obrolan yang dilakukan Jeka dengan seseorang dalam telepon.

"Kan gue dah bilang kemarin, service nya di Bang Ikram aja, lo sih ngeyel segala gak mau ngerepotin. Mati lagi kan tuh." Cerocos Jeka tak berhenti.

Sepertinya lawan bicara Jeka tetap mendebat, sampai membuat pemuda itu menghembuskan nafas pelan. "Gue lagi repot Archi cantik. Gue minta tolong Jackson aja ya?"

"Terus gimana? Gojek? Mumpung masih isya, masih rame lah jalanan."

Jeka memutar tubuh, mencari alat diantara alat lain yang berserakan di lantai. Netranya sempat melirik pada Dipta yang menatapnya penasaran; kawannya bertanya tanpa suara, "Kenapa?"

I love your boyfriendDonde viven las historias. Descúbrelo ahora