08

1.5K 332 63
                                    

Semula, Dipta menurut saja kemana langkah gadis ini membawanya. Genggaman tangan mungil itu erat sekali pada jari panjangnya, selayak anak kecil yang ingin menunjukkan gerobak es krim pada ayahnya. Tetapi, semakin dibiarkan, Archilla semakin menjauh dari area parkir. Bahkan hampir mencapai gerbang universitas.

"Lo mau ngajak gue kemana, Chilla?" Tanya Dipta.

Sang gadis tak berniat untuk menengok, "Pulang!", masih menyeret Dipta yang kini memberat sebab pemuda itu sengaja menahan gerak tubuhnya.

Sesungguhnya Archilla tak terpikir, akan pulang dengan apa mereka; yang jelas, ia tak ingin siapapun terluka.

Entah mengapa Dipta tersenyum, "Gue bawa motor."

Tepat setelah pemberitahuan sekaligus penyadaran untuk Archilla itu, jemari keduanya terlepas. Barulah ia menengok pada Dipta, matanya menatap kilat netra Dipta, lalu bergulir ke bawah cepat.

"Oke." Hanya itu dari Archilla.

Ia hendak pergi, dan tangan Dipta lebih dahulu menahannya untuk tinggal lebih lama. "Gak pulang bareng gue?"

Sial. Dipta merutuki kata hati untuk mengudarakan kalimat ini. Ia benci, karena kata hati selalu membodohi.

Biar, anggap saja, ia setengah sadar.

Lagipula, mengapa ia menaruh peduli manakala menyaksikan bagaimana Archilla digoda tadi? Ia bisa saja pura-pura tak melihat, dan meninggalkan gadis itu sendiri.

Namun tidak, ia mengenal betul siapa kakak tingkat yang sempat ia ludahi baru saja. Bila Dipta tak bisa mencegah Jennie, maka biarkan dia menolong gadis di hadapannya ini.

Archilla mengernyit, ada jeda sekitar tujuh detik bagi keduanya berbalas tatap tanpa mengeluarkan kalimat apapun.

Sang gadis tak paham, hingga merasakan nyeri di dadanya. Netranya mulai basah, bukan karena rinai hujan yang turut menyentuh pipi; dan Dipta menyaksikan itu semua.

Sedikit bergetar, ranumnya bersuara, "Jangan gini, Dipta."

Archilla melepas pelan tangan Dipta yang masih meraih lengannya, "J-jangan."

"Kalau lo ada masalah sama Jennie, bicarain baik-baik. J-jangan diem aja, nanggung semua sendiri, seolah gak terjadi apapun."

Bibir Archilla turut bergetar, kelopaknya berkedip berulang kali, menahan air matanya yang nyaris jatuh, "Gue emang p-peduli Dipta, sama lo. Tapi tolong, jangan bikin gue berharap lebih disaat lo bahkan belum mampu mastiin perasaan lo. Lo boleh capek, ngeluh ke gue. Tapi gue gak terima, kalau sekedar jadi pengalihan rasa bersalah lo karena gak bisa jagain Jennie baik-baik."

Dipta mematung. Mencerna segala kalimat yang Archilla berusaha jelaskan padanya. Tentang kekhawatiran gadis itu, dan bagaimana Archilla ingin dia melakukan suatu hal lebih untuk hubungannya yang di ujung tanduk. Bahkan gadis itu tak mengungkit, atau bertanya sedikitpun perihal apa yang telah Jennie lakukan, dan kenapa Dipta memilih bertahan. Archilla cukup menyuarakan batasan bagi Dipta, agar pemuda itu tak menariknya dalam harapan rumit; terlalu peduli pada hubungannya dengan Jennie, sekalipun Archilla tetap mendamba Pradipta untuk dijadikan kekasih.

Kembali Archilla ingin pergi, dan lagi-lagi langkahnya tertahan. Kali ini, jari kelingking tangan kirinya yang digenggam erat kelima jari panjang Dipta.

Sikapnya yang seperti anak kecil, berbanding terbalik dengan bagaimana pemuda itu menatap tajam Archilla.

"Di saat orang yang gue jagain justru nyia-nyiain. Lo bisa sepeduli itu tanpa pernah sekalipun gue perjuangin?" Dada Dipta bergemuruh, vokalnya memberat, dan emosional, "Seharusnya gue yang bilang; jangan gini, Archilla."

"Lo, perasaan lo, dan cara lo peduli, bikin gue bingung. Kepikiran gak lo, kalau gue bahkan harus ngumpulin keberanian buat ngajak lo pulang bareng tadi?"

Netra Archilla membulat.

Hanya sebentar, lalu tangis sang gadis luruh. "G-gue, gue gak pahammm." Racaunya keras, merengek di akhir.

"Tetep aja! Lo masih pacarnya Jennie! G-gue maaf kalau bikin lo bingung, tapi gue juga gak mau ambil kesempatan di saat lo lagi gak baik-baik aja."

Dan Archilla berhasil meninggalkan Dipta bediri sendirian di sana.

•••

Di sudut kafe yang ia kunjungi, sekitar pukul sebelas lebih tiga puluh satu menit; Dipta abai akan kegaduhan kawan-kawannya.

Lebih tertarik pada putung rokok ke delapan yang sudah dia hisap sejak dua jam yang lalu; tak ada yang berani bertanya, walau heran karena tak biasanya Dipta seperti ini. Mereka semua tahu, Dipta bukan perokok aktif.

Satu-satunya alasan, Archilla tak mengirim pesan apapun padanya, tak seperti yang sudah-sudah.

Kacau, dia pasti sudah tidak waras. Sebab lebih menunggu pesan Archilla, daripada Jennie yang mungkin sedang bersenang-senang.

"Bangsat." Umpatnya, mengambil rokok selanjutnya dengan tergesa, "Korek gue mana anjing?!" Tanyanya agak berteriak.

Jeka yang paling dekat posisinya, tertawa, "Depan mata lo, goblok." Diambilnya, lalu membantingnya bercanda di depan Dipta. "Lo ngapa dah Dip?"

Menyulut batang rokok itu dengan korek, Dipta memilih bungkam, dan mengalihkan perhatian pada smartphone nya yang lama didiamkan.

story whatsapp • archilla

Ya, setidaknya senyum Dipta mampu lolos setelah melihat hal ini

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ya, setidaknya senyum Dipta mampu lolos setelah melihat hal ini.

Sedangkan Archilla,

AAAAAAAAAAAANDJDUDHDJSBSNBDHSISBSNNDNDUUDSNSKKJJSJS DILIHAT DIPTA TOLOLLLL KENAPA SEGALA DI SAVE SIH NOMOR GUEEEEE NDJDJDIDJKBZH HAPUS POKOKNYA HAPUS STATUSSSS!!!

•••

(っ´▽')っ

masih kurang panjang?

I love your boyfriendWhere stories live. Discover now