07

1.6K 332 72
                                    

Siapa yang tak tahu jika Pradipta, si pemilik wajah lengkap perawakan atraktif ini adalah pacar Jennie, si gadis manis dan mencuri banyak sekali perhatian dari awal masa ospek angkatannya dulu?

Mahasiswa seantero universitas, bahkan dosen pun tahu bila keduanya sepasang kekasih sejak dua tahun terakhir.

Tak pernah terdengar konflik apapun, justru sering mengumbar mesra entah secara langsung maupun sekedar unggahan di sosial media.

Banyak yang iri, jelas. Mendoakan hubungan mereka untuk segera kandas, ada. Tapi tak jarang, beberapa orang pun mendukung Jennie dan Dipta terang-terangnya.

"Boleh ya? Ya? Ya, Dipta ya?" Pinta Jennie, merayu pacar tampannya seraya menumpukan dagu di bahu kanan Pradipta, agar dia diberi ijin pergi menonton konser bersama kawan-kawannya.

Tatapan yang sebelumnya datar dan terkesan enggan, perlahan luluh. Memilih untuk mengelus surai Jennie yang duduk di samping, sedikit miring menghadapnya. Kelas baru saja selesai.

"Janji gak bakal kenapa-napa?"

Tubuh Jennie menegak, senyumnya manis terulas, "Janji!"

"Pulangnya juga gak bakal malem-malem?"

"Tapi aku kan udah gedeeee!"

"Gak berarti kamu bisa pulang larut. Jangan dikira aku gak tahu ya kamu sering pulang jam dua pagi, subuh malah. Diem-diem lagi."

"T-tapi kan aku pulang baik-baik aja."

Jennie melirik Dipta yang datar seolah tak mau dibantah. "O-oke, aku emang diem-diem. Soalnya pasti gak kamu ijinin. Tapi Diptaaa," Jemari Jennie meraih tangan besar lawan bicaranya, dimainkan pelan. "Aku bisa jaga diri, ada temen-temenku juga. Bolehin ya?"

Dipta menghela napas, dan netranya beralih sebentar sebelum kembali menatap Jennie. "Okay."

"YEAY!" Jennie berteriak girang, dan reflek memeluk erat tubuh Dipta yang kini ikut terkekeh.

"Aku mau siap-siap, aku pulang duluan ya? Dipta semangat kelas selanjutnya!"

Hampir saja Jennie beranjak, dan Dipta kembali menarik pergelangan tangannya, "Telepon, gimana pun keadaanmu, aku harus tau."

Aih, pemuda ini selalu manis di setiap perlakuannya. Jennie mengangguk cepat, "I love you." kemudian menuruni tangga untuk keluar kelas dengan antusias.

•••

Sore ini langit tampak mendung, lapangan kampus yang selalu terasa terik, kini seperti diselimuti kelabu tanpa sinar matahari yang mampu menembus tebalnya awan hitam yang berkumpul seru.

Archilla berada di parkiran sebelah utara kantor dekan, yang paling dekat dengan gerbang. Bermaksud memesan ojek online, karena dari seluruh temannya, dia yang memiliki jadwal kelas paling akhir. Ini sebabnya tak ada tebengan yang bisa dibuat untuk bergantung, di saat motornya sedang sibuk di servis.

Jarinya mengetuk layar smartphone cemas, takut hujan lebih dahulu turun, sedangkan beberapa driver memutuskan untuk menolak pesanannya. Oh ayolah, Archilla benar-benar benci sendirian di bawah hujan.

Tak berapa lama, dirinya dikejutkan oleh segerombolan laki-laki, sekitar lima orang yang dua diantaranya familiar di ingatan.

Archilla sedikit menggeser tubuhnya, dia tahu betul siapa pemuda yang sekarang berusaha berdiri lebih dekat ke arahnya.

"Belum pulang, dek?" Tanya Ian, kakak tingkat yang terkenal kerap melakukan ons dengan banyak mahasiswi dari berbagai angkatan.

Gila ya, ga takut kena HIV apa gimana? Ih biarin, bukan urusan gue. Batin Archilla yang memaksakan senyum agar terlihat senormal mungkin.

Ingin menghindar, takut dikira kurang ajar dengan senior. Jadi, mari berbasa-basi sebentar, lalu melarikan diri. Ide bagus!

"I-ini mau pulang kok, kak."

"Ada barengan? Atau mau gue anter?" Tanya Ian tersenyum lebar, kawan-kawannya nampak menikmati pertunjukkan.

Archilla kembali mengulas senyum canggung, "Eumm, gak usah kak, terimakasih. Aku udah bareng sama--

Ingin berbohong, kalimatnya malah menggantung.

Pundaknya tiba-tiba ditepuk dari arah kiri, disusul suara husky yang seolah mampu meluruhkan tangis awan yang kini rintiknya mengecup pipi bumi.

"Sorry nunggu lama."

Pradipta.

Lagi-lagi dia. Muncul di mana-mana, dan kerap kali Archilla dibuat mematung olehnya yang seperti jelangkung.

Sementara Dipta bersikap tenang, di mana netra tajam itu bergulir ke arah Ian dan kubunya; pura-pura tak paham situasi, pemuda ini bertanya, "Ada apa nih, bang?"

Ian terkekeh remeh, "Gak ada. Gue pikir Archilla gak ada yang nganter pulang, makanya gue tawarin pulang bareng."

"Dia bareng gue." Mutlak Dipta.

Ya, atmosfer lebih menyesakkam sekarang. Kedua pejantan tangguh itu layaknya tak mau mengalah melalui sorot mata masing-masing.

Pergelangan tangan Archilla yang tertutup outer rajut berwarna pastel cokelat berlengan panjang, digenggam Dipta pelan. "Kalau gak ada hal lain, gue permisi bang."

Jangan tanya bagaimana Archilla. Dia benar-benar blank.

Sebelum raga kedua adik tingkatnya beranjak, Ian lebih dahulu membuka suara atas harga dirinya yang terluka, "Pantes Jennie main sama yang lain, cowoknya juga sibuk jagain cewek lain."

Gelak tawa mengudara riuh.

Jelas, tentu jelas Dipta mendengarkan, Archilla pun tak melewatkan itu.

Tanpa melepas pegangannya pada lengan Archilla, Dipta kembali mendekat pada kakak tingkatnya, "Urusannya sama lo apa? Keputusan gue buat jagain cewek gue, keputusan Jennie buat sia-siain usaha gue. Lagian gak habis pikir, bisa-bisanya Jennie mau sama bangsat kaya lo." Dipta meludah di situ. Kemudian tersenyum mengejek pada Ian yang kepalang emosi.

Hampir saja ada aksi baku hantam, bila Archilla tak segera menyeret Dipta menjauh. Walau pikiran gadis itu masih memproses apapun yang masuk diterima oleh telinganya.

Ya tuhan.

•••

(っ´▽')っ

I love your boyfriendWhere stories live. Discover now