Liam memberikan plastik putih berisi martabak manis yang tadi dia pesan.

"Makasih" ucap Aesa kemudian berdiri, "Pulang, yuk".

"Buru-buru banget" ujar Aditya yang baru saja akan duduk di bangku dekat ranjang yang tadi dia tinggalkan.

"Udah malem, Mas" balas Aesa, "Kasian Liam".

Aditya tersenyum mendengarnya, "Biar Mas antar sampai lobby".

Setelah berpamitan dengan Bu Hana, mereka mengikuti langkah Aditya yang berbaik hati mengantar.

"Kira-kira kapan Bu Hana bisa pulang ke rumah?" tanya Aesa.

"Sebenarnya hari ini Mas sudah urus surat dan administrasinya, jadi kemungkinan besok Ibu sudah bisa pulang" jawab Aditya.

Aesa berencana pergi ke rumah Bu Hana besok, bersama Liam tentunya. Keduanya meninggalkan area rumah sakit dan kembali ke jalan raya untuk pulang ke rumah masing-masing.

Liam mengantarkan Aesa kembali ke rumahnya lebih dulu, di tengah perjalanan gadis itu hanya diam dan tidak banyak mengoceh seperti saat sore tadi.

Bisa Liam rasakan tangan Aesa bukan lagi berpegang namun mencengkram kuat jaketnya, apa gadis ini takut?.

"Lo udah bilang kalau mau ke rumah?" tanya Liam.

Aesa hanya menggeleng, Liam bisa melihatnya dari spion motor walau penglihatannya kini mulai sedikit kabur. Beberapa kali Liam mengusap matanya untuk kembali menajamkan pandangan.

"Lo nanti langsung pulang aja ya, istirahat" pesan Aesa pada Liam.

Pemuda itu mengurangi jalu motornya saat memasuki jalan menuju ke rumah Aesa. Bangunan dua lantai sederhana itu terlihat sepi dan hanya lampu teras yang menyala, motor Liam berhenti di depan gerbang setinggi dada itu.

Aesa turun dari motor kemudian melambai pada Liam, tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut pemuda itu membuat Aesa tak enak hati.

Ia buka gerbang yang sudah lama tidak dia sentuh itu, tidak bohong Aesa jika dia merindukan rumah ini.

Dengan penuh keberanian ia mengangkat tangan kemudian mengetuk pintu beberapa kali. Suara seorang wanita dari dalam sana membuat Aesa semakin gugup, setelah pintu terbuka mereka sama-sama terdiam menatap satu sama lain.

Di ambang pintu berdiri Elisa dengan mata yang berkaca-kaca, dia tarik anak gadisnya itu ke dalam pelukan.

Aesa memejamkan matanya nyaman dalam pelukan sang Ibunda membuat air matanya turun begitu saja.

"Siapa?".

Pelukan mereka terlepas saat seorang pria datang, Aesa benar-benar ketakutan saat ini sampai perlahan mulai melangkah mundur.

"Ada apa kamu ke sini?" tanya Satrio pada anaknya.

"Es dateng buat jenguk Bu Hana" jawab Aesa berusaha untuk tidak takut.

"Gimana kalau kita ngobrol sambil duduk aja? Bunda buatin teh hangat" saran Elisa, dia membawa anak serta suaminya untuk duduk di sofa ruang tamu.

Aesa melepas tas dan jaketnya, Satrio hanya diam tidak membuka suara hanya untuk sekedar bertanya kabar.

"Sudah Ayah duga kamu memang gak akan betah tinggal di sana" celetuk Satrio, "Makanya kamu jangan sok bener, gini kan jadinya".

Elisa kembali membawa dua gelas teh hangat yang masih mengeluarkan asap tipis, dia duduk di ujung sofa panjang dekat sofa yang Aesa duduki.

"Es baik?" tanya Elisa. Aesa mengangguk, "Baik, Bun" jawabnya, "Es rindu Bunda".

Satrio beranjak dari tempat duduknya pergi kembali ke dalam kamar. Aesa menunduk kembali memainkan jari-jarinya, dia berpikir saran dari Bu Hana untuk meminta maaf pada Ayahnya pasti tidak akan berhasil.

My Lovely Ghost | SELESAIWhere stories live. Discover now