16| Harapan menyakitkan

Mulai dari awal
                                    

”Bang Abi, bang Abi. Kok malah bengong aja pagi-pagi. Nanti kesambet tahu rasa loh...” celetuk Endaru yang menepuk lengan abangnya.

”Bang, bang. Apa bener, kalau jadi mata keranjang itu bisa bantu bawa belanjaan?” sontak pertanyaan Endaru berhasil membuat semua orang tertawa mendengarnya.

”Lo kenapa sih, Dar. Pagi-pagi udah sangklak,” celetuk Daniswara yang duduk di sebelahnya.

”Yaelah, pagi-pagi kudu banyak ketawa. Jangan muram mulu kayak bang Catur, mukanya always datar kayak kripik kaca. Mending kalo kripik kaca masih enak, lah kalo bang Catur, sepet liat——” Endaru langsung tercengkir kuda. Dia membekap mulutnya dan mengudarakan dua jarinya sebagai tanda damai.

Bisa bahaya ini kalau Endaru di cincang sama Caturangga.

”Udah, udah. Makannya habisin, nanti kesiangan.” Abimanyu memberi intruksi.

”Btw, mumpung aku disini. Gimana kalau besok minggu kita pergi ke Dufan? Hitung-hitung refreshing biar gak suntuk di rumah terus. Kayaknya kita udah jarang banget kesono ya? Apalagi anak Adiwangsa full team gini.” Bagaska buka suara. Semua orang di meja makan langsung antusias kecuali Caturangga.

”Bukan jarang, bang. Tapi emang gak pernah semenjak kita kayak gini. Dulu waktu kita masih jaya, harga tiket Dufan itu bukan apa-apa. Kalo sekarang, mana mampu dia bayarin kita.” Caturangga menenggak airnya.

Caturangga benar-benar membuat para adiknya jatuh dari langit ke tujuh. Padahal mereka sudah membayangkan untuk menaiki beberapa wahana bersama. Tapi karena penuturan pria itu, adik-adiknya langsung berpikir dua kali.

”Kalau kalian mau, Abang gapapa. Gak masalah, Abang punya simpenan.” Abimanyu langsung buka suara, sesekali tak masalah. Lagipula, benar yang di katakan Caturangga. Mereka ini sudah jarang berpergian untuk menghibur diri karena masalah biaya.

”Tenang-tenang, kalian gak usah khawatir. Abang ada duit buat traktir tiket kalian, kebetulan Abang baru gajian dari kerja part time Abang. Don't worry, duba-dubanya abang.” Bagaskara kembali membangkitkan senyum di wajah adik-adiknya.

”Oh ya, habis kita dari Dufan. Nanti kita foto studio ya, kayaknya di rumah ini belom ada foto kita bersama ya? Soalnya waktu itu Abang keburu berangkat ke Yogyakarta.” Semua adiknya langsung mengacungkan jempolnya tak terkecuali Caturangga.

”Gue udah kelar, kalo gitu gue pamit berangkat sekolah duluan.” Caturangga beranjak dari bangku. Dia meninggalkan ruang makan usai kelar lebih dulu.

Sementara yang lain serentak memperhatikannya seraya menatap satu sama lain.

”Udah berapa lama, bang?” tanya Bagaskara seraya merapikan meja makan sementara Abimanyu mencuci piring dan gelas yang kotor

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

”Udah berapa lama, bang?” tanya Bagaskara seraya merapikan meja makan sementara Abimanyu mencuci piring dan gelas yang kotor.

”Diem-diem, nahan rasa sakit sendirian tanpa ada satupun adiknya yang tahu?” seketika Abimanyu berhenti mencuci piring, tangannya stagnan.

”Jujur, waktu Caturangga kasih tau aku. Aku kaget, aku marah, aku rasanya mau tonjok Abang sama puas. Tapi di sisi lain aku tau, kalau aku tetep nekat tonjok Abang, Abang bakal kesakitan dua kali lipat.” Bagaskara meremas kain lap di meja makan, wajahnya tampak menahan emosi tapi dia masih berusaha memendamnya.

Abimanyu mematikan air keran yang mengalir, pria itu membalikkan tubuhnya lalu memperhatikan sang adik yang tertunduk lesu seperti menahan tangisannya.

”Kenapa? Kalau mau nangis, nangis aja. Abang tungguin sampai selesai.” Abimanyu memberikan ruang untuk Bagaskara, pria itu pergi ke ruang tengah. Dia tahu, pada akhirnya satu persatu adiknya akan tahu. Dan inilah yang ia takutkan. Ia takut, adiknya tidak akan fokus belajar karena memikirkan dirinya yang sekarat.

Beberapa menit berlalu, Abimanyu masih menunggu Bagaskara yang menangis di dapur dengan posisi yang tak berubah.

Tapi, meskipun begitu. Semuanya tidak akan berubah. Bagaskara sudah tahu satu fakta yang menyakitkan begitupun dengan Caturangga.

”Kayaknya kamu masih perlu waktu untuk nenangin diri kamu sendiri, kita lanjut nanti siang pas Abang istirahat.” Abimanyu beranjak dari sofa, dia pergi ke kamarnya untuk mengambil barang bawaannya.

Brak!

Bagaskara menggebrak meja makan dengan kasar sehingga mengundang atensi Abimanyu yang ingin ke kamar.

”Dan di saat Abang sekarat pun, Abang masih mikirin kerjaan Abang ketimbang kesehatan Abang?!” Bagaskara naik pitam. Wajahnya memerah dan matanya sembab.

Abimanyu menatap lurus sang adik. ”Apa yang kamu harapkan dari barang yang gak akan bisa di perbaiki?” Abimanyu tersenyum getir. Dia berusaha menunjukkan sikap tenangnya meski sebenarnya ada sesuatu yang menyakiti dadanya.

”Lo pikir, lo barang?” Bagaskara terkekeh geli. Dia kemudian membuang kain lapnya secara asal dan berjalan menghampiri Abimanyu yang berdiri di ambang pintu kamarnya.

”LO BILANG DI PERBAIKI?! LO PIKIR LO BARANG!” Bagaskara emosi, dia mencengkram kerah seragam abangnya dengan napas memburu.

”ENGGAK! LO ITU ABANG GUE, LO ITU KELUARGA GUE!” teriak Bagaskara di wajah Abimanyu.

”Apa susahnya sih, buat bilang sakit atau capek sama dunia yang Abang hadepin saat ini? Alih-alih bilang Abang baik-baik aja, Abang itu harusnya ngeluh sama kita biar kita tahu seberapa berat beban anak pertama yang mikul tanggung jawab penuh untuk adik-adiknya. Tapi abang—— Argh!” Bagaskara mendorong Abimanyu kasar. Pria itu mengacak-acak rambutnya frustasi hingga kembali menitihkan air matanya.

”Bilang bang, jujur aja. Apa susahnya ngeluh sakit dan capek sama kita? Kenapa Abang harus pura-pura kuat mulu? Sampai-sampai Abang sakit parah pun, Abang gak ada ngeluh sedikit pun. Abang ini bukan robot!” Bagaskara naik pitam. Pria itu benar-benar tidak mampu mengontrol emosinya lagi. Dia sudah tidak sanggup menahannya. Alangkah lebih baik jika dia mengungkapkan semua keluh kesahnya sekarang juga daripada tidak sama sekali. Itu akan jauh lebih baik.

”Kalaupun bisa, Abang gak mau. Akan lebih berguna Abang pakai waktu itu buat cari uang, karena permasalah Abang di sini. Abang itu, lagi kejar-kejaran sama ajal abang. Makanya Abang kerja giat, biar Abang bisa ngumpulin uang secepat mungkin. Biar kalian gak kesusahan juga pas Abang gak ada. Kamu paham kan?” Abimanyu mengusap pundak adiknya.

”Tapi, Gas. Abang boleh minta sesuatu sama kamu sebagai anak tertua kedua?”  Bagaskara mengangkat kepalanya, dia kemudian menatap sang kakak.

”Abang mau, dimakamin di sebelah Papa sama Mama. Bisa kan? Abang takut sendirian...” Pada detik itu juga, tangis Bagaskara kembali pecah usai mendengar ultimatum abangnya.

Sial. Sial. Sial. Kenapa jadi begini?! Siapa bilang abangnya boleh pergi begitu saja?!




 Kenapa jadi begini?! Siapa bilang abangnya boleh pergi begitu saja?!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Abi, kamu itu terlalu baik, tapi kalau mati buru-buru. Bocil-bocil di rumah mu siapa yang jaga?

No Time To DieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang