Dan Hendra tersenyum kecil. "Nggak papa, yang penting berusaha dulu buat sembuh."

Jihan pun mengangguk meyakinkan.

°°°°

Cklek

Pintu kamar terbuka, Erlan memasuki kamarnya, larut malam seperti ini dia baru saja pulang dari base camp karena ada urusan mendadak, harus meninggalkan Anin dan lagi. Dan Anin? Dia tetap stay at home, jiwa magernya yang membuat dia ngurung diri seharian di kamar.

"Lo nangis?"

Erlan memergoki istrinya yang seperti habis menangis dengan wajah sembab, memeluk guling putih.

"Lo jahat!" pekik Anin melempar guling ke arahnya.

Erlan yang tidak tahu akar kesalahannya di mana pun mengerutkan dahinya bingung. "Lo kenapa? Perasaan gue belum bikin lo bunting, Nin."

"Huaaaaa lo jahat banget sama gue kak!" rengek Anin semakin menangis histeris.

Erlan duduk di pinggir kasur. "Gue salah apa lagi hm?"

"Kenapa lo gak ngasih tau gue kalo bunda sama ayah udah pergi lagi ke AS hah?" Anin memukul dada bidang Erlan.

Erlan menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal sama sekali. "Nin, kalo gue kasih tau lo pasti lo ngerengek pengen ikut mereka ke AS, dan ini juga amanah dari bunda biar lo tetep ada di sini sama gue sayang."

"Alesan mulu kalo ngomong! Mana ada kaya gitu hiks!"

Erlan membawa Anin ke dalam dekapannya dengan sesekali mencium pucuk kepala Anin penuh sayang. "Gue mau lo tetep disini."

"Ngeselin tau gak! Kenapa lo gak terus terang aja sama gue?"

"Iya gue ngeselin, maaf. Tapi ini demi kebaikan lo." Erlan mengusap usap punggung Anin memberinya ketenangan.

Reflek Anin mencubit paha Erlan lumayan keras membuat sang empunya meringis. "Ashhh.. sakit Nin, kenapa di cubit?"

"Tangan lo gak sopan!" ketus Anin, merasakan tangan Erlan bergerak liar di punggungnya, meraba raba sesuatu.

"Gue gak sengaja." elak Erlan melepas pelukannya, terlalu lama meluk Anin juga tidak baik, takutnya nanti malah terjadi hal yang tidak di inginkan.

"Gue lagi sedih tau lo malah merusak suasana!"

"Hm, bunda udah nelpon lo?" tanya Erlan mengalihkan pembicaraan.

Anin mengangguk. "Udah, baru aja tadi selesai telponan sama bunda sama ayah juga."

"Apa katanya?"

"Katanya bunda sama ayah baik baik aja di sana, mereka udah beraktivitas seperti biasa lagi, ayah yang sibuk di kantor dan bunda yang sibuk ngurusin butik sama awasin ayah," jelas Anin.

"Dan gue terlantar sendirian di sini" lanjut Anin dengan nada sedih.

"Enggak, Nin! Di sini masih ada gue, Mama, sama Papa yang sayang buat jagain lo. Jadi jangan pernah ngerasa sendirian, kita itu satu keluarga." Erlan menyelipkan anak rambut ke belakang telinga Anin yang menghalangi wajah nya.

Anin mengerucutkan bibirnya. "Gue jadi sedih... Dulu setiap Ayah sama Bunda pergi gue selalu sendirian di rumah, kalau mereka pulang paling cuma buat cek bisnis yang ada di sini doang sampai gak ada waktu buat anaknya sendiri."

"Hm, tapi sekarang enggak kan? Disini masih ada gue yang siap temenin lo 24 jam. Lo gak akan sendirian lagi, sama persis sama apa yang di bilang Ayah pas awal pertemuan kita waktu itu, Ayah mau gue yang jagain lo, biar apa? Biar waktu gue habis cuma buat mastiin kalo cewek cantik yang ada di depan gue sekarang ini selalu dalam keadaan aman dan tanpa lecet sedikitpun. Ngerti?" tutur Erlan berhasil membuat Anin terdiam.

"Mungkin menurut lo gue terpaksa ngelakuin ini karena hanya sebuah perjodohan dan amanah dari orang tua lo. Tapi kenyatannya enggak, justru gue ngelakuin ini atas dasar keinginan gue sendiri Nin, lo tanggung jawab gue, lo tujuan hidup gue, dan lo bagian hidup gue sekarang. Sampai sini paham hm?"

Anin masih bengong, ia membatin, "gue gak salah denger kan? Ini kak Erlan jujur ngomong kaya gini dari hati, kerongkongan, jantung, paru paru, ginjal, pankreas, lambung, usus halus, usus besar us----"

"Lo gak perlu mikir keras buat cerna ucapan gue, bocah TK kaya lo mana ngerti sama omongan orang dewasa," sela Erlan, dia beranjak memasuki kamar mandi.

"Anjir kak gue belum ngomong apa apa sama lo!" teriak Anin melihat kepergiannya.

"Gak penting juga kan, gak usah di bahas lagi," ujar Erlan dan masih bisa di dengar sama Anin.

"Ih bukan gitu maksud gue!" ia berdecak merutuki dirinya sendiri.

"Kak lo jangan marah ya?" Anin berdiri di balik pintu kamar mandi. "Gue minta maaf. Maaf gue belum bisa bales kata kata lo tadi kak!"

"Gue beneran gak tahu harus jawab apa. Gue terlu gengsi buat ngomong. Maaf," lirih Anin.

Pintu terbuka, tatapan Anin terjatuh pada sosok laki-laki yang sudah melepas baju menyisakan boxer yang menghalangi aset berharganya itu.

"Lo belum mandi kan dari tadi siang? Ayo buruan mandi." Erlan menarik paksa Anin masuk kedalam dan mengunci pintunya.

Erlan memojokkan Anin ke dinding, membiarkan tubuh mereka yang basah basahan di bawah sower yang mengalir. "Cantik."

Anin mengusap wajahnya yang basah terkena air. "Dingin kak, gue gak bisa mandi air dingin malem malem gini."

"Sini, gak akan dingin kalau lo peluk gue." Erlan menyandarkan wajah Anin ke dadanya. Dari ujung kepala sampai kaki mereka basah, keduanya benar benar mandi bersama menikmati setiap tetesan yang berjatuhan.

"Gue gak masalah lo belum bisa bales kata kata gue tadi. Tapi yang jadi masalah, lo selalu ngerasa sendiri dan gak pernah nganggap gue ada. Gue benci itu, Nin."

"Maaf."

"Gue ngerti, pasti berat bagi lo buat nerima semua ini."

ERLANGGA | ENDWhere stories live. Discover now