Lebih daripada sebuah kejutan

3.1K 481 48
                                    

Ketika sedang merasa sangat frustrasi, bahkan bingung menghitung masalahmu berdasarkan tingkat kesulitannya, biasanya hal-hal yang dianggap akan menyelesaikan justru menambah deretan masalah.

Sepertinya, aku juga menjadi salah satunya.

Aku bahkan tidak ingat apa yang aku pikirkan di detik aku mengajak Bara untuk menemui Zahra. Yang aku tahu, selain karena hari terakhir kami di sini, itu juga akan menjadi kesempatanku untuk mengurai masalah di Malang ini. Aku tidak punya keberanian atau keyakinan akan bisa membereskan semua, tetapi aku merasa aku perlu mencoba semampuku.

Saat aku bertanya pada diri sendiri, selesai yang seperti apa yang aku inginkan, aku sebenarnya pun tidak tahu. Apakah selesai di sini yang aku mau adalah aku dan Bara usai, lalu aku membantu Bara bisa menerima Zahra? Atau aku mengemis pada Zahra supaya mengikhlaskan Bara untukku?

Atau apa?

"Kita masih bisa puter balik kalau kamu berubah pikiran, Zi."

Aku kembali tersadar dari lamunan, menolehkan kepala, memberinya senyuman lembut. "Aku mau kok."

Dia tak menjawabnya lagi, menganggukkan kepala, kemudian kembali fokus pada jalanan. Aku yakin sekali, kepala Bara sama penuhnya dengan kepalaku sekarang, mungkin dia jauh lebih buruk karena menanggung semua ini sendirian, sekian lama. Berkali-kali aku mencoba menempatkan diriku ada di posisinya, berkali-kali juga aku merasa tisak sanggup.

Aku tidak sanggup ada di posisinya, menanggung masalahnya sekian lama.

Begitu rumit.

Aku mungkin bisa bilang dengan mudahnya agar dia bisa menolong dirinya sendiri, membiarkan Zahra yang sudah dewasa itu untuk mengurus perasaan dan masalahnya. Meminta Bara untuk tenang Karena Zahra bukan tanggung jawabnya. Tapi, satu kalimatnya terngiang terus-menerus; gimana kalau kita jadi alasan seseorang bunuh diri? Gimana kalau kita tiba-tiba jadi pembunuh? Aku masih ingat Bara memang salah Karena telah membohongiku, entah kenapa dia merasa hal sebesar ini tak dia ceritakan padaku, tetapi ... aku juga tahu dia pasti kesulitan.

Mobil kami memasuki sebuah gerbang setelah aku membaca nama dari panti asuhan di depan. Ada dua mobil yang kulihat, entah tamu atau memang mobil pengurus. Yang jelas, halamannya cukup luas, aku melihat ada aktivitas anak-anak bersama orang dewasa, senyumku seketika terbit. Tidak heran mengapa Bara bilang Zahra aman di sini, mungkin bahkan nyaman. Bisa hidup dengan orang-orang ini, memberi sesuatu yang kita miliki, rasanya pasti sangat membahagikan.

Bahkan setelah mesin mobil mati, aku masih belum beranjak. Aku tahu Bara pun masih di tempatnya, sampai akhirnya, aku merasa ia menyentuh lenganku, yang membuatku menoleh.

"Kamu ya—"

AKu mengangguk. Kuraih tangannya, kemudian kukecup dua kali sebelum aku memberinya senyuman paling tulus yang kupunya. "Ayo, Mas."

"Tapi kamu nggak perlu ngelakuin ini, kamu tahu, kan, Zi?"

"Iya."

"Kita bisa langsung pulang ke Malang, atau aku pesenin tiket terpisah Kalau kamu ngerasa kurang nya—"

"Tapi aku mau."

"Okay" lirihnya. Setelah kata 'okay' itu, dia tak kunjung mengajakku keluar mobil, melainkan sibuk dengan ponselnya beberapa saat. Mungkin menghubungi pihak panti atau apa, aku tidak terlalu paham. Setelah selesai, dia akhirnya turun, dan aku tidak menunggunya untuk membukakan pintuku, karena aku mau melakukannya sendiri.

"Di sini keliatannya nyaman, Mas." Aku meliriknya.

Dia tersenyum, memandang ke kumpulan orang yang tadi kusebut. "Ya. Selain jenguk Zahra, aku juga memang suka ke sini, rasanya nyaman."

Para pengurus juga terlihat sangat memperhatikan lingkungan. Mungkin tidak bisa disebut mewah, tetapi lingkungannya sangat sejuk, banyak pohon dan tumbuh meski ada lapangan yang sepertinya serba guna.

Aku melihat ada seorang bapak-bapak berjalan cepat menghampiri kami, dengan senyuman sangat lebar. "Apa kabar, Mas Bara?" Mereka bersalaman, kemudian gantian denganku.

"Baik, Pak, alhamdulillah. Oya, ini Ozi, Pak Henri."

"Salam kenal, Mbak Ozi."

"Ini Pak Henri, Zi, salah satu pengurusnya."

Aku mengangguk. "Ozi, Pak. Pantinya bagus, sejuk banyak tumbuhan."

Ia tersenyum lebar. "Terima kasih. Ini hasil kerja sama banyak pihak, termasuk Mas Bara yang yang ikut nanem-nanem dari dulu."

"Oya?"

"Iya. Mas Bara ini selain baik juga rajin bantu-bantu, cekatan. Makanya anak-anak juga suka, cocok sama Zahra. Eee, kita mau langsung ketemu sama Bu Ainun?"

Aku tak bisa menahan kebingunganku, dan seketika menatap Bara yang justru dia terihat sama bingungnya. Tapi aku tidak ingin mendahuluinya, dia yang lebih paham di sini, jadi aku membiarkan dia yang berbicara.

"Emm, kita mau langsung ketemu Zahra aja, Pak. Bu Ainun biasanya masih kerja, jadi nanti takut ganggu."

Aku tidak punya gambaran apa-apa tentang Bu Ainun di sini, jadi aku memilih diam.

"Lho, enggak, tadi memang Udah nunggu Mbak Ozi sama Mas Bara."

"Nunggu saya?" Tanyaku makin kebingungan dan tak bisa lagi menunggu hanya diam.

"Ya, kata Zahra Mbak Ozi ke sini mau ngobrolin soal donasi ke panti?"

"Oh!" Aku tersenyum canggung, tapi berusaha kubuat sebaik mungkin. Saat Bara hendak menjawab yang kemungkinan besar adalah meralat dan akan bikin Pak Henri semakin canggung, jadi aku lebih dulu menggenggam tangannya, meremas erat dengan harapan dia paham maksudku untuk membiarkanku berbicara. "Bener, Pak. Itu salah satu tujuan kami dateng ke sini. Tapi Kalau boleh, ngobrol sama Bu Ainunnya setelah kami ketemu Zahra gimana?"

"Oh boleh banget, Mbak Ozi, Mas Bara. Maaf, maaf, pasti udah kangen banget sama Zahra, ya? Pak Akbar sih udah dari tadi ke sini, jadi nanti, kalian bisa langsung bareng-bareng aja ngomong sama Bu Ainun."

Pak Akbar?

Aku berusaha menghembuskan napas sepelan mungkin, aku belum boleh kalut bahkan sebelum mengetahui hal pasti.

Semua hanya dugaan di sini.

"Pak Akbar siapa, ya, Pak? Tamu Zahra kah?" Aku dan Bara saling tatap, dia juga sepertinya sama-sama bertanya-tanya apakah Akbar di sini—

"Pak Akbar papanya Mbak Ozi?" Jawabnya terlihat bingung menatapku dan Bara bergantian. "Makanya tadi saya kira Mbak Ozi sama Mas Bara nyusul ke sini dan mau langsung ketemu Bu Ainun. Eee, saya—"

"Oh bener, Pak." Aku tersenyum lebar. "Kami nyusul Papa saya. Boleh dianter ke sana?"

"Boleh, mari saya antar."

Papa ...

Apa yang Papa lakuin di sini, menemui Zahra, perempuan yang statusnya adalah tunangan Bara, lelaki yang aku mau?

Aku menoleh ketika menyadari tangan Bara masih kugenggam dan kulitnya terasa dingin. Apa dia sama gugupnya denganku kali ini? Apa dia juga sama tidak tahu menahu tentang keberadaan Papa di sini? Apa di kepalanya juga penuh tebak-tebakan?



---

UHUYYYY, SUDAH 29 BAB INI SESUAI DUGAAN AWAAAALLL, AKU BELUM BERNIAT BUAT BUKUIIN LAGI NIIIH, BELUM ADA GAIRAH KE SANA WKWK. BAB 30 DAN BEBERAPA BAB TAMBAHANNYA NANTI BISA KELEN BACA DI KARYAKARSA YA. YEP BERBAYAR UNTUK BAB-BAB ITU, YANG GRATIS 29 BAB DI SINI.

capslock banget ya? iya, akhirnya bisa publish nih bab setelah drama sinyal, ujan mulu yaampoooon:(

P.s Bab 30 nanti aku post di KK hari Sabtu atau Minggu, ingetin aku yaww. 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 10, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

cinta bukan karena privilegeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang