Memangnya dalam cinta boleh saling menuntut?

1.8K 589 72
                                    

huhu, entah kenapa wattpad sekarang sepi betool, apa karena aku juga ga serajin dulu ya apdetnya? atau emang manusia di sini udah pada sadar dan gamau baca novel lagi? WKWKWK. soo, masih ada ga yaa sekitar 500 orang untuk 500 votes di part ini?

kangen bacain banyak komen kayak dulu hiksss.

---





"Ozi, aku beneran minta maaf, tapi aku butuh ini."

Ucapan maaf entah yang keberapa kali Noah ucapkan sejak dia tiba di rumah Bara. Aku pun sudah meyakinkannya dengan segala kalimat yang kumampu, tetapi sepertinya dia masih tetap merasa bersalah.

Sampai akhirnya aku mengangkat kedua tangan, menatap Bara untuk mengatakan bahwa aku sudah menyerah; tanpa kata.

Laki-laki pintar itu tertawa, terlihat memahami tugasnya dengan baik. Ia melangkah lebar sambil kedua tangannya di saku, sebelum akhirnya digunakan untuk menepuk pundak sahabatnya—sesungguhnya aku tidak tahu jenis hubungan mereka seperti apa.

Seperti aku dan Mbak Andin?

Ya apa pun itu, aku cukup yakin mereka saling menyayangi dan aku berharap aku tidak merusak rasa itu. Percayalah, tidak ada rasa bangga sama sekali saat kamu jadi alasan dua laki-laki yang bersahabat menjadi musuh—itu pun kalau omongan Bara memang masuk akal.

"Like you said, Noah orang yang baik dan sweet." Bara mengernyitkan keningnya sambil mengedikkan bahu. "Jadi, kondisi kayak gini akan bikin dia ngerasa bersalah, seberapa banyak pun kita yakinin. So, jangan ngerasa bersalah, ya? Dia akan reda sendiri nanti kalau dia lakuin sesuatu. Kirim gift atau apa gitu."

"Ke kamu pun?"

"Aku harap bisa kasih jawaban 'no'."

Aku tak mampu menahan tawa.

Menggelikan tetapi aku tidak bisa menolaknya sebagai sesuatu yang manis. Noah sungguh laki-laki yang baik dan manis. Oh, mereka berdua sama.

Melihat Bara melanjutkan langkah ke dapur, aku buru-buru menyusulnya. Kami—maksudku, dia siap untuk melanjutkan kegiatan yang sempat tertunda. Bagianku adalah membersihkan asparagus sementara dia sedang sangat fokus memberi bumbu untuk steak-nya.

Aku tidak terlalu paham dalam memasak, jadi mari kita lihat apa yang berhasil Pak Dosen siapkan untuk date kami kali ini.

"Kamu suka masak?"

Aku memasang senyum masam. "Not really. Aku sebenernya kurang suka sama aroma yang nempel di badan."

"Oh justru itu sensasi paling seksinya." Dia mengedipkan sebelah mata. "Aroma yang nempel di pakaian habis masak, terus makan bareng pasangan masih dengan baju yang beraroma itu, liat senyum puas yang artinya makanannya OKE. Rasanya luar biasa, lho, Zi."

Aku tertawa. "Aku siap kasih senyum dan kalimat apresiasi kok."

Bara membalas tawa. "Aku tahu." Kemudian ia kembali menatap daging di atas pan di depannya dengan penjepit di tangannya. "Kamu tau, teknik pan-seared ini sebenernya gampang buat dikuasai." Ia tersenyum lebar. "Tekstur dagingnya nanti jadi perfect."

"Itu apa?" tanyaku sedikit terkejut melihat dia yang mengambil termometer.

Bara tersenyum lebar. "Betul. Instant-read-thermometer. Ini dimasukin horizontally ke dalam daging yang tebel ini, jadi kita nggak perlu pegang-pegang, you know."

Aku menganggukkan kepala. "Keliatan passionate."

"Well, cooking with love is my passion."

cinta bukan karena privilegeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang