Bukankah ada beberapa hal yang tidak perlu diakhiri maaf?

2.1K 554 131
                                    

hai! hehe

---


Aku merasa sekarang posisiku benar-benar serba salah.

Di sisi lain, aku ingin menceritakan kegelisahanku selama ini—yang kali ini semakin memuncak setelah telepon Davka tadi. Tapi aku juga merasa sangat egois karena hari ini jelas bukan harinya Yozita. Aku dan Bara sudah membuat jadwal harian kami selama di Malang. Memang hanya secara garis besar, tetapi aku juga tidak ingin merusak apa yang sudah kami susun. Kalau aku bercerita tentang info terbaru dari Davka, aku yakin, Bara akan menunda kunjungan kami ke makam ibunya.

Aku jelas tidak ingin hal itu terjadi.

Aku tidak ingin egois.

Aku juga ingin berkenalan dengan ibunya, meski seperti kata Bara, aku tidak akan bisa mendengar ucapannya secara langsung. Setidaknya, aku bisa lebih 'dekat', bisa berbicara 'langsung', bukan hanya dengan mendengar cerita dari Bara.

Jadi, sekali lagi, aku menahan diriku untuk tidak selalu mengatakan apa yang kumau. Davka, urusan kita akan Kakak urus nanti setelah ini. Bukan karena Kakak menyepelekan perasaanmu atau apa yang kamu temukan, tetapi ini ... tidak semudah yang Kakak bayangkan.

"Berarti nanti, kalau aku dateng ke Jakarta, aku boleh masuk ke galerinya Mbak Ozi dong? Gallery-date kayaknya oke banget ya."

Aku tersenyum lebar. "Memang oke, banyak kok yang dateng couple gitu. Nanti kamu kabarin kalau kamu dan pacarmu ke Jakarta, kamu akan dapet akses spesial."

"Ah jangaaan. Masa mau ajak pacar pake orang dalem." Reza terkekeh sambil terus menyuapkan potongan sate ke mulutnya. Kata Bara, menu sate untuk makan siang ini jelas bukan idenya, melainkan ide Reza yang selalu punya segudang menu di kepala. "Aku mau ajak dia kayak orang biasanya. Beli tiket, masuk, dan nikmati."

"Well ... okay. Thank you."

"Nanti Mbak Ozi mau bikin pameran lho, Za. Just in case skripsimu masih belum ada progres, mendingan ikutan volunteer." Kepalanya menoleh ke arahku. "Kamu buka volunteer juga kalau nggak salah, kan, Sayang?"

"Betul!" Aku mengangguk antusias. Menyuapkan potongan lontong. "Reza mau ikutan?"

Laki-laki muda itu meringis. "Gimana, ya. Kok kalian malah seolah-olah emang skripsku bakalan nggak ada progres sih. Jangan lah, ya Allah, mau cepet beres."

Aku dan Bara sama-sama tertawa.

Aku mengibaskan tangan. "Bukan gitu maksudnya. Kan siapa tau."

"Lagian jauuuh. Berarti aku harus ke Jakarta dong?"

"Nginep di rumah Mas Bara?" tawarku, seolah punya hak penuh atas tempat tinggal Bara.

"Makasih banyak tawarannya ya, Mbak, Mas, tapi nggak dulu deh. Aku mau fokus sama skripsi pas lagi bisa." Dia tergelak. "Pas enggak, hmmmm, nemenin ayang."

Kulihat Bara hanya menggeleng-gelengkan kepala.

Obrolan di meja makan itu berhenti bertepatan dengan makanan kami yang selesai. Reza keluar rumah dan izin pulang malam karena nanti sekalian mau futsal. Pulang malam masih jauh lebih baik daripada tidak pulang seperti idenya di awal. Menurutnya, dia ingin memberiku dan Bara waktu dan privasi. Ia mengira aku tidak akan nyaman kalau dia tetap menginap di rumah ini. Padahal, akan jadi semakin tidak nyaman jika di sini hanya aku dan Bara.

Ya, takut sesuatu terjadi di luar kontrol.

Aku tidak mengatakan itu tentu saja. Aku bilang bahwa aku suka ada Reza di rumah ini karena lebih terasa ramai dan sambutan yang indah untuk kali pertama di Malang. Bara tentu saja mengiyakan dan akhirnya Reza juga menyetujuiku. Meskipun itu tadi, dia meminta izin untuk keluar rumah selagi aku dan Bara pergi ke makam.

cinta bukan karena privilegeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang